Banyak yang sudah Shaleta tahu tentang tugasnya. Meski terkadang masih ada kesulitan. Sekretaris bukan akuntansi yang merupakan bidangnya. Tanpa berbekal pengalaman, Shaleta hanya mencoba peruntungannya ketika nekat melamar di posisi sekretaris.
Waktu menunjukan pukul dua belas lebih sepuluh menit. Shaleta meregangkan tubuhnya setelah berkutat dengan bermacam-macam dokumen.
Drrrrt ...drrrrt ...
Shaleta merogoh saku blazernya mencari ponselnya ketika benda persegi itu bergetar panjang.
Alika is calling...
Shaleta tersenyum ketika nama Alika yang terpampang di layar poselnya. Langsung menggeser tombol hijau. “Ha--”
“Kalau gak pake lama berapa? Buruan, Ta! Jam berapa, nih? Gue tinggalin juga, nih!” omel Alika di seberang telepon.
Tut!
“Halo, Al? Alika Naila Putri?!” Shaleta menjauhkan ponsel dari telinganya. Berdecak keras. Shaleta menatap ponselnya kesal. Dengan gerakan kasar Shaleta berdiri dari posisi duduknya. Shaleta menyembulkan kepalanya di balik pintu ruangan Air. “Air?”
“Hmm,”
“Aku cuma mau pamit, mau makan siang dulu.”
Air langsung mengangkat kepalanya. “Sama.”
Kening Shaleta mengerut. “Air mau makan siang juga?”
Air menggeleng. “Kamu mau makan siang sama siapa?”
“Ohh... sama teman aku. Anak sini juga, kok.”
“Cowok?”
Shaleta menggeleng. “Bukan. Teman aku cewek, kok. Kenapa emangnya?”
Air menggeleng sekilas. Matanya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Waktu kamu-- empat puluh tujuh menit mulai dari sekarang.”
Mulut Shaleta menganga. Matanya menatap Air tidak percaya.
“Empat puluh lima menit, Shasa.” Peringat Air sambil mengetuk-ngetuk kaca jam mahalnya.
Shaleta mengatupkan kembali mulutnya. “Ish! Dasar perhitungan! Air jangan lupa makan siang. Okay, bye Air!” Shaleta langsung saja menarik kepalanya dan menutup pintu.
Air senyum-senyum sendiri. Perhatian banget, sih...
Ting!
Lift berdenting. Shaleta langsung keluar dari kotak besi bergerak itu. Berjalan setengah berlari menghampiri Alika yang terlihat sedang berdiri di depan meja resepsionis. “Lama, ya Al?” tanya Shaleta sambil merangkul lengan Alika.
“Kelihatannya aja gimana, Ta.” jawab Alika sambil melirik malas ke arah Shaleta.
“Sorry...” Shaleta menatap Alika dengan puppy eyesnya. “Gue izin sama Pak Air dulu tadi.”
Alika memutar kedua bola matanya malas.
Shaleta terkekeh pelan seraya menolehkan kepalanya. “Eh! Sama Dara juga, ya?”
Dara hanya mengangguk.
“Iya, udah. Ayok. Cepetan!”
“Lo yang lama, ya Ta!”
“Iya, iya. Tapi waktu gue sedikit banget, Al. Pak Air hitung waktu istirahat gue soalnya.”
“Serius?”
“Duarius, Ra.” kata Shaleta sambil mengangkat dua jari tangan kanannya.
Wahhh! Alika dan Dara kompak bertepuk tangan kencang dengan gerakan slow motion.
Shaleta, Alika dan Dara berjalan beriringan menuju tenda yang berdiri di seberang jalan kantor. Ketiganya menempati meja yang langsung menghadap pada jalan.
“Gado-gado tiga Mang Ujang! Es tehnya tiga!” teriak Alika melengking.
“Alika, astaga! Gue tahu, lo laper pakai banget. Tapi gak usah teriak sekenceng itu juga, dong Al. Malu tahu dilihatin.” omel Shaleta yang hanya ditanggapi Alika santai.
“Nih Neng, gado-gadonya.”
“Makasih Maaang.” ucap mereka bertiga secara bersamaan.
“So... gimana jadi sekretaris Pak Air, Ta?”
“Hari pertama masuk gue langsung dijutekin. Hari ini waktu istirahat gue dihitung. Gimana, tuh menurut lo Ra?” Shaleta memasukan sesendok penuh gado-gado ke dalam mulutnya.
“Lo ada salah, kali Ta?” tanya Alika sambil membuka plastik bungkus kerupuk.
Shaleta mengedikan bahunya. “Gue mendadak b**o kalau lagi gak bisa artiin omongan singkat-singkat doi.”
Dara tergelak. “Itu normal, kok Ta. Bukan cuma lo doang, Ta... yang ngerasa kayak gituh. Semuanya juga ngerasain apa yang lo rasain. Dan selama gue kerja, gak pernah doi ada balas senyuman gue.”
“Nah. Itu--” Alika menunjuk Shaleta menggunakan sendoknya. “Itu salah satu alasan yang bikin gak ada yang bertahan lama jadi sekretaris doi.”
“Parah banget... Eh, tapi, waktu gue interview doi panjangan, kok ngomongnya. Ya, walau jatuhnya ngeselin, sih. Senyum-- ada tipis-tipis, lah.”
Uhuk! Alika dan Dara langsung terbatuk-batuk, tersedak makanannya masing-masing.
“Bercanda lo serem, asli Ta. Horor banget.” kata Alika setelah reda dari batuknya.
“Garing parah, sumpah Ta.”
Shaleta langsung menelan semua gado-gado yang tadi sudah dia kunyah. “Muka gue gak kelihatan lagi serius, ya emangnya?” tanya Shaleta menunjuk wajahnya sendiri seraya menatap Alika dan Dara bergantian.
Suasana menjadi hening. Alika dan Dara memperhatikan raut wajah Shaleta sejenak. Keduanya reflek mengangguk.
“Pak Air ada kepribadian ganda, kali ya?”
“Heh!” Alika memukul tangan Shaleta pelan. Lalu meletakan telunjuknya di bibir. “Mulut lo, Ta, astaga! Disaring, woy! Kalau ada yang dengar terus ngadu ke Pak Air habis lo. Gak lucu, banget baru masuk langsung dipecat.”
Shaleta langsung menutup mulutnya.
“By the way, kalian berdua keliatannya dekat banget?”
“Alika sahabat gue dari kecil, Ra. Tetanggaan sebelah rumah gituh.”
Dara ber-oh ria. ”Kalau gue, dulu taman satu kelompok ospek fakultas sama Alika. Terus dekat sampai sekarang.”
“Yang tanya siapa?”
Dara mengangkat sendoknya tinggi, seolah siap melayangkan ke kepala Alika membuat temannya itu langsung beringsut.
“Awas, ah! Mainnya kasar ya, lo.”
“Lo emang harus dikasarin, Al.”
Shaleta hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkan Alika dan Dara. Tangan kirinya terulur meraih gelas es tehnya yang tinggal setengah. Langsung Shaleta tandasnya.
-meetyou(again)-
Air, udah makan?
Pesan yang Shaleta kirimkan pada Air sudah mendapatkan tanda centang dua. Shaleta meletakan ponselnya di atas meja. Tatapannya tidak lepas dari pintu ruangan kantor bos-nya itu. Tidak lama dari itu sebuah pesan masuk.
Belum.
Shaleta mendengus kesal. Ish! Rugi kuota kayaknya kalau balesnya panjangan. Shaleta segera membalas pesan Air.
Aku belikan gado-gado tadi, Air mau?
Di ruangannya, Air cengar-cengir sendiri membaca pesan dari Shaleta yang baru saja masuk ke ponselnya. Air menggerakan jemarinya mengetik balasan untuk Shaleta.
Boleh.
Shaleta menghela nafas lelah. Beranjak menuju pantry. Shaleta memindahkan gado-gado ke atas piring, lalu bergegas ke ruangan kantor Air. “Air?” panggil Shaleta sambil mendorong pintu dengan bahunya. Tampak kesusahan karena membawa baki di tangannya. “Air, makan dulu.”
Air mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang dia baca ketika mendengar suara Shaleta. Tak sadar, senyumnya terbit. Air langsung beranjak menghampiri gadis yang sudah duduk di sofa dalam ruangan kantornya itu.
Shaleta tertawa kecil melihat Air yang makan dengan lahap. “Pelan-pelan aja makannya Air.” kata Shaleta sambil mengusap sudut bibir Air yang terkena sisa makanan.
Air terkesiap. Jarinya reflek ikut mengusap sudut bibirnya.
”Air doyan, apa lapar?”
Air menghembuskan nafas panjang mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedang menggila, efek dari sentuhan Shaleta. “Lapar.”
”Kenapa belum makan? Udah siang banget, lho ini. Air sibuk banget, ya?”
“Kamu seharusnya tahu.”
Shaleta mencebikan bibirnya. Beranjak berdiri hendak meninggalkan Air. Namun belum sempat melangkah tanganya sudah dicekal oleh Air terlebih dulu.
Via berdiri bersandar di bingkai pintu dengan kedua tangan dilipat di depan dadanya memperhatikan Shaleta dan Air yang tidak menyadari keberadaannya. Via geleng-geleng kepala. ”Ekhem!”
“Astaga!” Shaleta menjerit kaget. “Via! Kamu bikin kakak keget aja, deh.”
Air menatap Via sengit. Lalu, menarik tangan Shaleta pelan hingga gadis itu kembali duduk di sampingnya.
Via tersenyum menahan tawa. Kini, di depannya Air sedang mengibarkan bendera perang. “Yang lagi pacaran, mah bebas.”
“Gak ada yang pacaran, ya Via.”
“Terus, biar apa gande--”
“Ada apa?”
Via mendudukan dirinya di sofa, berhadapan dengan Air dan Shaleta. Menatap keduanya bergantian. Via berdehem pelan sebelum memusatkan perhatiannya pada Air. “Ponsel Kak Air hilang? Mati? Atau rusak? Kenapa mama telepon gak ada diangkat? Kan, jadi Via yang diteleponin terus sama mama. Ngerepotin banget, deh!”
“Intinya, Salvia.”
Via bersandar pada sandaran sofa. “Kata mama...” Via berdehem pelan. “...’Via, bilangin, ya ke kakak kamu yang jomblo itu, lusa dia harus mau lunch sama Brenda anak teman arisan mama itu’ gituh.”
Air berdecak kesal. Mamanya itu, benar-benar... BENAR.
“Brenda?”
Air dan Via langsung menoleh menatap Shaleta. Air menatap Shaleta was-was. Sementara Via menegakan duduknya dan berdehem pelan.
“Brenda, itu--” Via melirik Air yang tengah menatapnya dengan sorot mengancam. “Cewek yang mau mama jodohin sama Kak Air, Kak Shasa.”
Air membanting sedok dan garpu yang sedang dia gunakan untuk makan di atas piring. Hilang sudah selera makannya.
“Ohh.” Shaleta mengangguk-anggukan kepalanya.
Air menujuk pintu ruangannya dengan telunjuknya.“Keluar Salvia!”
Tanpa perlu berfikir dua kali, Via buru-buru keluar dari ruangan Air.
“Sha--”
“Sudah selesai makannya, Pak?”
Air mengangguk pelan.
“Shasa...”
Shaleta tak menjawab. Hanya kedua tangannya saja yang bergerak membereskan bekas alat makan Air.
“Sha--”
“Saya permisi, Pak.” Shaleta berdiri dan langsung saja keluar tanpa menunggu respon Air.
“s**t!”
Tbc.