MEET YOU (AGAIN) | 03

1282 Kata
Shaleta memasuki gedung kantor. Langsung tersenyum pada Dara, resepsionis yang sudah berkenalan dengannya kemarin. “Pagi Dara.” “Pagi Leta. Rajin benar Ibu sekretaris baru kita ini.” Shaleta tersenyum kecil. Dia tipe orang yang tidak mudah akrab dengan orang yang baru saja dia kenal. Tapi mungkin dengan Dara akan beda ceritanya. Shaleta bisa langsung menemukan kenyamanan mejalin pertemanan dengan gadis itu. “Ke atas dulu, gue.” Shaleta menunjuk kearah atas dengan telunjuknya. “See you.” Shaleta melambaikan tangannya. “Happy working, Ta!” Shaleta berbalik sekilas. “You too!” Shaleta mengedarkan pandangannya. Lantai yang dikhususkan untuk CEO dan karyawan yang langsung bekerja di bawah CEO seperti dirinya itu masih kosong. Shaleta duduk di sofa yang sudah berada di sana. Langsung bangun dari duduknya dan sedikit merapikan pakaiannya ketika melihat pintu lift perlahan terbuka.  “Selamat pagi.” sapa Shaleta dengan senyum manis di bibirnya. Air yang masih kesal berlalu begitu saja. Tak menghiraukan Shaleta yang menyapanya, bahkan Air tak mau repot menoleh untuk melihat gadis itu. Mata Shaleta tidak lepas menatap punggung Air yang menjauh dengan perasaan tidak percaya. Sombong banget, astaga! Air jadi ngeselin, sih! Di ruangannya, Air berkacak pinggang seraya menghela nafas kasar. s**t! Kenapa dia sok-sokan cuek segala, sih tadi! Kalau Shasa-nya kesal bagaimana? So stupid! “Pagi juga Kak Shasa.” balas Via yang merasa tidak enak dengan situasi yang diciptakan Air. Kedua alis Shaleta menaut. Menggeser posisi berdirinya menghadap Via. “Maaf. Ibu panggil saya apa? Kak Shasa?” Via tertawa kecil mendengar Shaleta memanggilnya dengan embel-embel 'Ibu'. “Via aja, deh Kak. Iya, tadi Via panggil Kak Shasa. Kak Air panggil kakak, Shasa, bukan?” “Kak Air?” lirih Shaleta yang masih cukup bisa didengar oleh Via. “Iya, Kak Air, Kak. Air Nakhla Adinata. Aku Via. Salvia Xena Adinata.” Shaleta manggut-manggut paham jika Air dan Via adalah sepasang adik kakak kandung. “Nama panggilan kakak, Shaleta atau Leta, sih sebenernya. Tapi gak tahu juga kenapa Pak Air sendiri-sendiri panggil kakak, Shasa dari dulu.” “Dari dulu?” beo Via dengan kedua alisnya yang menaut. “Jadi benar, Kak Shasa itu teman SMA Kak Air?” Saat Via tanya kenapa Shaleta langsung diterima bekerja. Air menjawab dengan singkat. Karena Shaleta teman SMA-nya. “Kalau kakak kamu udah bilang begitu, ya berarti benar kakak itu temannya.” Mulut Via membulat membentuk huruf O. Tak lupa kepalanya manggut-manggut. “Jadi cuma Kak Air aja yang panggil kakak, Shasa? Kok, kayak panggilan sayang gituh, ya gak, sih Kak kedengerannya?” Shaleta hanya mengedikan bahunya. Pura-pura tidak tahu menahu dengan ucapan Via. “Maafin Kak Air, ya Kak. Udah dari semalam uring-uringan gak jelas banget gituh. Kakak harus ekstra sabar. Ngadepin kak Air itu, gak sesimple ngadepin anak kecil lagi nangis yang dikasih permen atau es krim bisa langsung diam.” Shaleta terkekeh geli mendengar ucapan Via. Apa separah itu Air Nakhla Adinata yang sekarang? Via tanpa sadar mulai bercerita. “Kak Air gak gituh, kan dulu Kak?” tanya Via yang langsung dijawab oleh Shaleta dengan gelengan pelan. “Sikapnya berubah waktu dia mau masuk kuliah. Sedikit aja yang Via tahu. Kak Air, sampai detik ini masih nunggu cewek temen SMA-nya yang tiba-tiba menghilang, tanpa ada kabar. Via yakin, kak Air tahu alasan kenapa cewek itu menghilang. Dan alasan itu ada, pasti karena ulah kak Air sendiri.” Shaleta termangu. Cewek? Cewek siapa? Yang mana lagi? Via menepuk bahu Shaleta pelan. “Kak Shasa kenapa? Kok, bengong?” Tepukan Via mengembalikan kesadaran Shaleta. ”Eh! Eng-gak, gak apa-apa. Kakak gak apa-apa Via.” “Kak Shasa serius gak apa-apa?” Shaleta mengangguk. “Duarius.” “Kak Air ada cerita sama kakak gak?” Shaleta menggeleng. “Kami gak sedekat itu untuk saling cerita Via.” Kedua alis Via terangkat. Bohong banget! Kakaknya itu tidak mungkin sekurang kerjaan itu, sampai mau repot-repot memberi nama panggilan khusus. Apalagi kalau yang katanya tidak dekat. “Masa, sih Kak?” “Iya. Ini, kakak kapan kerjanya? Malah jadi ngomongin Pak Air. Kakak, Via, lho itu.” Via nyengir kuda memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Kalau yang itu mejanya siapa, Via?” tanya Shaleta menunjuk meja kosong yang ada di depannya. “Ohh, itu... itu meja asistennya kak Air, Kak. Lagi off orangnya. Kalau Via gak salah hitung, bentar masuk, sih kayaknya.” Shaleta manggut-manggut. Meja kerjanya ada di luar ruangan Air, berhadapan-hadapan dengan meja asisten laki-laki itu. “Hari ini, Via ada meeting. Jadi Via cuma bisa jelasin sedikit tentang pekerjaan kakak. Selebihnya kakak bisa baca-baca dulu.” Shaleta menyimak penjelasan Via. Tugasnya hanya mengurus schedule, mengerjakan keperluan administrasi dan tinggal di kantor. Ada asisten yang mengikuti kemana pun Air pergi. “Inget, ya Kak. Kak Shasa harus eks-tra sa-bar. Kadang-kadang kelakuan kak Air itu emang ngeselin parah.” “Duh! Kok, jadi serem, ya. Kakak mendadak ngeri, nih Via.” Shaleta menatap Via dengan raut polosnya. Via tergelak. “Kok, ucul banget, sih Kak. Kak Shasa ngapain  ngerasa ngeri gituh? Kak Air udah jinak, kok. Gak akan gigit.” Shaleta membalas dengan senyum tipis dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Sekarang, Kak Shasa bacain dulu schedule kak Air hari ini. Via harus balik ke ruangan Via sendiri. Kak Shasa jangan sungkan kalau mau tanyain sesuatu. Ruangan Via, persis ada di bawah lantai ini. Divisi keuangan.” “Oke.” Shaleta beranjak dari kursinya setelah Via sudah hilang di balik pintu lift. Menatap pintu di depannya dengan nanar. Shaleta menarik nafas dalam dan dikeluarkan lewat mulut. Mengangkat tangan kanannya, mengetuk pintu dua kali sebelum membukanya, lalu masuk. “Permisi.” Air langsung menghentikan pekerjaannya. Mengakat wajahnya menatap lurus Shaleta yang sedang berjalan menghampirinya membuat gadis itu jadi sedikit salah tingkah. Air tertawa kecil dalam hati. Shaleta berdiri kaku di depan meja kerja Air. Menatap laki-laki itu sejenak lalu berdehem pelan sambil mengangkat tab yang tadi sempat diserahkan oleh Via sebelum gadis itu pergi. “Say--” “Aku aja.” potong Air cepat. Air memajukan badannya sedikit dan melipat kedua tangannya di atas meja. “Hah?” Shaleta melongo. Menatap Air bingung. “Pakai aku, jangan saya.” Shaleta menganggukan dan berdehem pelan. “Aku diminta Via untuk membacakan schedule Bap--” “Air, Shasa.” Shaleta meniup poninya dengan raut kesal yang tidak bisa dia sembunyikan. Ini ribet banget, astaga! Mau baca schedule saja banyak sekali potongannya. “Bagaimana, Pak?” Air tersenyum kecil melihat raut kekesalan di wajah Shaleta. “Cukup, Air. Gak perlu pake embel-embel 'pak'.” “Ohh...” gumam Shaleta pelan seraya manggut-manggut. “Hari ini, setelah makan siang Air ada meeting dengan divisi keuangan. Lalu setelahnya-- kosong.” Shaleta mengangkat wajahnya. “Kamu ada pacar?” Kedua alis Shaleta menaut. “Hmm?” Tiba-tiba saja Air beranjak berdiri. Shaleta yang bingung hanya terdiam memperhatikan Air yang berjalan menghampirinya. “Eh!” Shaleta terkesiap ketika Air menarik tab dipelukannya dan meletakan di atas meja kerja laki-laki itu. “Kenapa Air?” tanya Shaleta bingung ketika kedua tangannya ditarik pelan dan jarinya diperiksa satu per satu. Alih-alih menjawab Air malah menghela nafasnya lega. “Aman.” gumam Air lirih. “Aman? Aman apaan, sih?” tanya Shaleta semakin bingung. Air sejenak menatap manik mata cokelat Shaleta dalam. Berdehem pelan sambil melepaskan kedua tangan gadis itu. “Duduk.” Air mengedikan dagunya ke arah sofa yang ada di belakang Shaleta. “Ngapain duduk? Kerjaan aku gimana nanti?” “Kerjaan kamu sekarang itu, temani aku kerja.” “Hah?” “Kamu mau jalan sendiri ke sofa.?Atau mau aku gendong?” Shaleta menatap Air ngeri. Bergerak cepat duduk di sofa. Tak menghiraukan Air yang sedang menertawakan tingkahnya. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN