Shaleta melepaskan stilettonya, lalu meletakkan di rak sepatu yang berada dekat pintu masuk. Memasuki rumah setelah mengucapkan salam. Shaleta berjalan dengan gontai menuju ruang tengah. Hanya ada Gita di sana. Kakak iparnya itu sedang cekikian menonton acara komedi di salah satu stasiun televisi swasta.
“Leta, pulang ...” Shaleta menjatuhkan dirinya di atas sofa di samping Gita dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Menoleh menatap kakak iparnya itu. “Ya ampun, Kak Gita. Ngemil mulu perasaan, deh.”
“Duh ... namanya juga lagi hamil, Leta. Makannya, kan gak cuma buat kakak, tapi buat berdua sama nih--” Gita menunjuk perutnya yang buncit. “Baby, Ta“
Shaleta membulatkan bibirnya membentuk huruf O sambil manggut-manggut. “Bang Ravel mana, Kak Git?”
“Belum pulang. Gimana tadi interview, Leta?”
“Lancar, Kak. Leta langsung tanda tangan kontrak tadi.”
Gita membelalakan matanya. “Demi? Kok, bisa gituh? Leta gak ada pakai KKN, kan?”
“Enggak, astaga! KKN apaan sih, Kak?”
Gita menggeleng. “Ya ... terus, apa?”
Shaleta mengedikan bahunya tidak tahu. “Kak ...”
“Hmm,” gumam Gita yang sudah kembali fokus dengan tontonannya.
“Leta mau nempatin apartemen Kak Gita boleh gak?”
Kedua alis Gita menaut nyaris menyatu. Perlahan menoleh menatap Shaleta heran. “Lho, kenapa? Kok, Leta tiba-tiba aja mau tinggal di apartemen gitu?”
“Gak apa-apa, Kak. Biar lebih dekat aja sama kantor Leta nanti. Misal Leta mau jalan kaki ke kantor juga gak jauh-jauh banget. Gak capek.”
“Kalau kakak, boleh-boleh aja, sih. Dari pada kelamaan kosong juga. Nanti malah jadi angker apartemen kakak. Tapi coba Leta pikir-pikir lagi, deh.” saran Gita mencoba merubah keinginan Shaleta. Gita menepuk lengan adik iparnya itu pelan. “Nah, kalau hati yang kelamaan kosong jadinya bakal kaya gimana coba, Ta?”
Shaleta menghela napas pelan dengan mata yang terpejam.
“Mau sampai kapan Leta kayak gitu?”
“Kak, please! Jangan bahas-bahas soal itu lagi, oke?”
Gita mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Iya, udah oke. Sorry, deh. Gak usah teriak-teriak juga.“ Gita melirik Shaleta. “Leta udah minta izin sama abang emangnya?”
“Belum. Nanti abang pulang, Leta coba minta izin, Kak.”
Gita mengangguk paham.
“Makasih ya, Kak Git.” Shaleta memeluk Gita erat. “Maafin Leta, Leta teriakin Kak Gita tadi.”
Gita menepuk-nepuk bahu Shaleta pelan. “It's okay, Leta. Kakak juga minta maaf. Kamu pasti capek. Istirahat dulu, gih.”
Shaleta mengangguk. Lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya.
“Leta?”
“Eh. Abang udah pulang?” tanya Shaleta retoris seraya menjauhkan punggungnya dari headbord.
“Belum. Ini arwahnya abang!” sewot Ravel membuat Shaleta tergelak puas. Ravel berjalan menghampiri Shaleta dan duduk di tepi ranjang menghadap pada adik perempuannya itu. “Benar, Leta mau tinggal di apartemennya Kak Gita? Leta sendirian, lho nanti. Leta gak masalah? Gak takut emangnya? Abang gak masalah kalau setiap hari harus antar jemput Leta kerja.”
Shaleta mengangguk. “Boleh gak, Bang?”
Ravel mengusap kepala Shaleta sayang. “Iya, udah. Kalau emang Leta mau, gak masalah dan gak takut sendirian, Leta boleh pindah ke apartemen Kak Gita. Tapi weekend harus pulang, ya. Cafe abang butuh tenaga Leta.”
Shaleta terkekeh pelan. “Cafe yang butuh tenaga Leta, atau sebenernya Abang yang takut kangen Leta tapi gengsi mau ngomongnya?” Shaleta memainkan kedua alisnya naik turun.
“Iyain, biar cepat. Nanti Io yang anterin Leta, ya. Abang masih ada janji ketemu sama orang soalnya.”
Shaleta mengangguk.
“Ario Aldi Putra buruan, astaga!” Shaleta berteriak memanggil adik laki-lakinya itu dari teras rumah.
“Sabar sih, Kak. Elah!”
Shaleta memutar kedua bola matanya malas. “Io cepetan, ah!”
“Ngapain cepat-cepat, sih? Santailah, Kak.”
“Ario ... ayo. Cepat. Udah tahu kakaknya gak sabaran gitu. Leta juga, gak usah teriak-teriak kaya di hutan. Malu didengar sama tetangga.” tegur Gita pelan.
Shaleta meringis dan langsung menghambur memeluk Gita. “Leta pamit ya, Kak Git.”
“Iya. Hati-hati ya, Leta. Jangan telat makannya. Ingat sama magh Leta. Obatnya jangan lupa, masukin di dalam tas buat jaga-jaga kalau magh Leta tiba-tiba kambuh. Kalau ada apa-apa langsung kabarin orang rumah, oke?”
“Iya, Kak Gita, iya.” Shaleta beralih memeluk Ravel dengan erat. “Leta pamit ya, Bang.”
Ravel mencium puncak kepala Shaleta. Ada perasaan khawatir ketika dia mengizinkan adiknya itu, tinggal sendirian. Banyak hal menyakitkan yang sudah Shaleta alami. Tapi dia bisa apa? Dia tidak tega jika harus menghentikan niatan Shaleta yang sudah sangat dengan berani keluar dari zona ternyaman adiknya itu.
“Kak Leta!” teriak Ario keras.
Shaleta tersenyum lebar seraya melambaikan kedua tangannya pada Ravel dan Gita. Berlari kecil menghampiri Ario yang sekarang sudah berada di dalam mobil.
-meetyou(again)-
Shaleta dan Ario tiba di apartemen setelah menempuh perjalanan setengah jam lebih lama dari waktu tempuh normal. Jalanan cukup padat di jam-jam pulang kerja.
Ario berjalan terseok-seok menyeret koper di kedua tangannya mengikuti di belakang Shaleta. “Berasa jadi kacung gue.” gerutu Ario.
Unit apartemen Gita berada di lantai lima, Shaleta menekan panel angka lima. Pintu lift kemudian tertutup dan bergerak naik.
Unit apartemen Gita cukup besar dan mewah. Memiliki dua kamar yang cukup besar, juga fasilitas yang lengkap.
Ario bersiul kagum. “Yang sultan, mah beda. Io gak paham, kenapa Kak Gita mau sama bang Ravel yang cuma punya cafe?”
Tangan kanan Shaleta melayang menjitak kepala Ario kencang, membuat adiknya itu mengaduh kesakitan. “Io, kaya yang udah benar aja!”
“Aduh! Sakit Kak Leta, astaga!” tangan Ario bergerak mengusap lembut kepalanya yang baru saja dijitak oleh Shaleta.
“Omongan Io itu kaya yang gak kenal abang aja. Cafe abang itu bukan cuma satu dua, ya. Banyak! Kakak aduin bisa macet uang jajan, Io.”
“Jangan atulah, Kak.” rengek Ario sambil bergelayut manja memeluk pinggang Shaleta.
“Makanya jangan remehin kekayaan seorang Ravel Mada Maulana. Abang sendiri juga.”
“Bercanda, astaga!”
“Hmm,“
Mulut Shaleta tak berhenti mendumel. Saat ini dia sedang menyapu lantai apartemen. Walaupun masih sangat layak. Tapi tetap saja sudah lama tidak dihuni. Debu menempel dimana-mana. Masalahnya bukan diajang sapu-menyapunya yang membuat Shaleta sewot setengah mati. Tapi pada Ario yang sejak tadi hanya duduk santai di sofa bermain ponsel.
“Io bantuin kakak, dong. Jangan cuma duduk aja!”
Ario menengadahkan kedua tangan dengan mulut yang berkomat-kamit tidak jelas. Lalu mengusap wajahnya. Ario berpaling menatap Shaleta. “Udah Io doain, Kak.” jawab Ario terkekeh menahan geli.
“Ish!” Shaleta menghentakkan kakinya kesal. “Anterin kakak ke supermarket, ayo!”
“Ogah! Io capek.”
Shaleta mengerucutkan bibirnya. “Capek ngapain coba, Io? Dari tadi cuma duduk santai main game gitu. Udah, ayo. Kakak traktir makan nanti. Belum makan kan, Io?”
Ario langsung berdiri dan memasukan ponselnya ke dalam saku celana. “Nah, gitu dong peka! Bukannya dari tadi aja. Kan, cepat jadinya. Kuy lah, Kak!”
Tuh, kan! Dasar pengeretan! Fakir gratisan! Dengar traktiran gercep bener ... Untung adik. Kalau bukan karena sedang butuh supir. Shaleta tidak akan mau mengeluarkan uang miliknya yang tidak seberapa untuk mentraktir Ario.
Senyum geli Ario terbit memperhatikan Shaleta yang sedang serius mencari tanggal kadaluarsa di kotak s-usu diet. Ario tidak habis pikir. Lemak di sebelah mana lagi yang ingin Shaleta buang? Tubuh kakaknya saja sudah setipis teriplek, selurus jalan tol begitu.
“Kak Leta?”
“Hmm,” Shaleta menoleh mendongak sedikit menatap Ario.
“Jangan sampai dikatain orang kurang gizi ya, Kak Leta, ya. Bang Ravel kasian, lho yang udah kasih makan.”
Shaleta menatap Ario tajam. Mengangkat kotak s-usu di depan wajah adiknya itu. “Ini s-usu, buat menjaga bentuk tubuh, ya bukan buat ngurusin badan, A-ri-o.”
Ario menepis tangan Shaleta pelan. “Apa yang perlu dijaga, sih? Badan Kak Leta aja cuma lurusan, gak ada nonjol-nonjolnya. Aturan, Kak Leta itu beli s-usu yang bisa buat bentuk badan. Biar nanti kaya gitar spanyol gitu badannya.” Ario meliukan kedua tangannya membentuk gitar sambil bersiul menggoda Shaleta.
Shaleta berkacak pinggang sambil menghembuskan napas kasar. “Wah ... Io, pengen mati muda emang!”
Ario mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Okay, sowrey ... maafkan dakuh.”
Shaleta tertawa kecil. “Let's go!” Shaleta merangkul lengan Ario. Menarik adik yang lebih sering menyebalkan itu menuju tempat buah dan sayuran berada.
“Kak Leta gak jadi beli s-usunya?” gelengan kepala Shaleta membuat Ario berdecak karas dalam hati. Terus untuk apa lama-lama pegang sampai serius melihat tanggal kadaluarsanya segala! Dasar wanita!
Tanpa Shaleta sadari dari kejauhan ada sepasang mata milik Air yang selalu mengawasinya. Memperhatikan setiap interaksinya dengan Ario.
Air mengepalkan tangannya kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Siapa laki-laki yang dirangkul Shaleta dengan mesra itu. Suami? 1000%, sudah pasti bukan. Di CV status Shasanya dengan nyata tercantum belum menikah. Tunangan? Bisa jadi, tapi ... hell no! Jangan sampai itu terjadi. Air geleng-geleng kepala.
Tbc.