Mencari Perhatian

1533 Kata
Tatapan John benar-benar datar saat tangannya masih sibuk memberikan hadiah pada tawanannya. Hadiah yang seumur hidup tidak akan pernah terlupakan. John begitu lihai menggerakkan tangannya pada pipi pria yang saat ini sedang menjerit kesakitan, akibat kaca yang terus menggores kulit wajahnya. Matanya melotot akibat sakit dan perih yang di rasakannya. Seolah nyawanya sedang dipermainkan. John memang tidak pernah main-main dalam memberikan hadiah untuk para tawanannya. "Tuan, saya rasa sudah cukup." Suara Griffin membuat John menghentikan pergerakan tangannya. Dia menoleh dengan tatapan yang tajam, seolah memberitahu bahwa tidak ada yang bisa mengaturnya. Seketika Griffin langsung menundukkan kepalanya untuk mengakui kesalahan. "Maaf, Tuan." Tepat setelah itu, John kembali menatap pria yang ada di hadapannya. Kedua tangan yang terikat, dan begitu pula kedua kakinya. Hanya bisa menjerit kesakitan sampai suaranya hampir saja hilang. Atau bahkan pita suaranya benar-benar sudah lelah saat ini. John Nicholas Leister tidak memberikan jeda dalam penyiksaannya. AKKHHHHHHH! Jeritan panjang yang sangat menyakitkan terdengar sampai ke luar ruangan. John meremas kaca yang dia genggam, lalu menggosoknya pada wajah tawanannya. John benar-benar terkenal tidak berperikemanusiaan jika sudah masuk dalam dunia ini. Dunia mafia sangatlah kejam. Hanya yang kuat yang bisa bertahan. John membalikkan tubuhnya dengan tatapan yang masih sama sejak awal. Datar dan menakutkan. "Habisi dia!" titah John pada salah satu algojo andalannya yang standby di sana. Mendengar perintah tersebut, sang algojo tentu saja langsung menuruti perintah yang John berikan. Sementara Griffin, pria itu langsung berjalan mengikuti John yang keluar ruangan dari belakang. Pria bertubuh tegap itu secepat mungkin membukakan pintu mobil, namun tangan kanan John menengadah meminta kuncinya. Bukannya Griffin tidak mau memberikan kunci mobilnya, tapi dia melihat telapak tangan kiri sang tuan yang berdarah tentu saja dia khawatir dan berpikir bahwa John tidak akan mungkin bisa mengendarai mobilnya. "Berikan kuncinya, Griffin. Aku sedang tidak ingin memaksamu juga. Cepat!" "Tapi Tuan, telapak tangan Anda terluka. Lebih baik saya saja yang mengemudi. Lagi pula Anda mau ke mana? Dua jam lagi Anda harus bertemu dengan Nona Kim Naen untuk membahas pembatalan sepihak yang dilakukan oleh ayah angkatnya." "Berikan kuncinya," "Tuan—" "Aku akan datang tepat waktu. Jadi, tidak perlu khawatir." sela John pada akhirnya harus memberi kejelasan pada Griffin agar sang tangan kanannya itu tidak banyak bicara lagi. "Saya akan menemani anda untuk bertemu Nona Kim Naen, Tuan. Jadi saya harap, Anda kembali ke mansion tepat waktu." ujar Griffin sembari menyerahkan kunci mobil yang dia bawa pada John. Tidak ada jawaban yang Griffin dapatkan. Sebab John langsung masuk ke dalam mobil dan buru-buru meninggalkan gedung tua tersebut. Membelah jalanan kota di malam hari ini dengan kecepatan yang sedang. John tak dapat lagi merasakan sakit pada telapak tangannya yang terluka. Seolah sudah kebal dengan hal yang menyakitkan. Telapak tangan kirinya sudah basah dengan darah. Dia bahkan tampak tenang dan mengemudi dengan baik. Benar-benar tidak menunjukkan bahwa tangannya sedang terluka. John memarkirkan mobilnya tepat di depan minimarket yang sudah hampir tutup. Dia keluar dan menyandarkan tubuhnya pada body mobil sambil terus menatap ke arah minimarket yang ada di depannya. Hampir 15 menit berdiri di sana, akhirnya orang yang John tunggu-tunggu keluar juga. Wanita itu keluar bersama rekan kerjanya yang lain. Siapa lagi jika bukan Laura? Satu-satunya wanita yang selalu John pikirkan akhir-akhir ini. Nampak jika Laura tengah mengusir temannya untuk pulang lebih dulu. Karena jujur saja, Laura sedikit risih jika terus diperhatikan oleh rekan kerjanya. Belum lagi jika nantinya pasti dia akan menjadi bahan ledekan. Sebab baru kali ini ada pria yang setia menunggunya. "Kau sepertinya tidak punya rasa bosan sama sekali ya? Belum puas semalaman bersamaku, hm?" Laura mendekat sembari melipat kedua tangannya di depan dadaa. Menatap John yang masih bersandar pada badan mobil saat ini. Laura benar-benar terlihat percaya diri sekali jika John sudah mulai tidak bisa lepas darinya. Sungguh, Laura tidak menyangka jika John semudah ini. "Anggap saja begi—" "Astaga Nicholas!" pekik Laura bersamaan dengan pupil matanya yang melebar. "Apa yang terjadi? Telapak tanganmu terluka." "Itu—" "Bodoh! Banyak sekali darahnya." selanya lalu menarik lengan John dan memaksanya untuk duduk di teras toko. Laura buru-buru masuk kembali ke dalam untuk mengambil kotak P3K. Beruntung dia yang membawa kunci toko malam ini, karena memang besok pagi adalah jadwalnya untuk membuka toko. Raut wajah khawatir Laura terus diperhatikan oleh John saat ini. Fokusnya sama sekali tidak pernah goyah sedikit pun. Terus mengamati wajah cantik Laura. John bahkan hanya mengulas senyum kecil tatkala Laura terus mendumal kesal padanya. Memarahinya karena tak hati-hati. Aneh, tapi John suka mendengar wanita itu mengomelinya seperti anak kecil yang melakukan kesalahan. John tidak mengerti, tapi dia merasa bisa gila sekarang. "Sudah selesai." "Secepat itu?" tanya John yang merasa jika Laura mengobati luka dan membalut perban pada tangannya secepat itu. Benar-benar tidak berasa sama sekali. "Secepat itu?" ulang Laura dengan dengusan kesal. "Kau pikir saja sendiri. Aku mengomel kau justru senyum-senyum tidak jelas. Aku mengobatimu dan membalut lukamu dengan perban, tapi kau bertanya secepat itu? Gila ya?! Tadi memakan waktu cukup lama," "Sama sekali tidak terasa lama. Apa mungkin karena aku hanya fokus pada wajah cantikmu?" "Sepertinya kau benar-benar sudah gila, Tuan Leister. Telapak tanganmu yang sakit, bukan otakmu, sadarlah." "Cantik," Laura sontak memutar bola matanya malas. Dia sudah sering menemukan pria seperti John yang pandai merayu dan bermulut manis. Bisa dibilang dia sudah kebal dengan rayuan maut para lelaki buaya darat macam John Nicholas Leister. Wanita itu memilih untuk bangkit dari duduknya. Namun, John menarik pergelangan tangannya yang mana Laura berakhir duduk dipangkuan John hanya dengan satu kali tarikan saja. Laura tentu terpekik kaget karena gerakan John yang sangat tiba-tiba. Kedua matanya menatap manik mata John yang ternyata jauh lebih indah jika dilihat dari jarak yang sedekat ini. Matanya yang bulat sebenarnya begitu menggemaskan bagi Laura. Hanya saja, tatapan pria itu terlalu tajam mendominasi. "Terimakasih sudah mengobati luka di tanganku." Laura mengerjapkan matanya tanpa menyahut ucapan John barusan. Laura merasa tersihir dengan mata bulat John yang indah. Sama halnya dengan John, pria itu kini justru tersihir pada bibir Laura yang merah cetar. Sebenarnya sejak wanita itu muncul, John ingin sekali menghapus lipstik pada bibir Laura. John tidak tau apa alasan wanita itu memakai lipstik merah cetar di malam hari. Rasanya, John ingin membuatnya kembali berantakan. "Kenapa memakai lipstik semerah ini?" tanya John sembari menyentuh bibir bagian bawah milik Laura. "Apa kau akan lanjut bekerja ke club? Atau kau sengaja memakainya untuk menggodaku, huh?" John mengusap bibir bawah Laura menggunakan ibu jari dengan gerakan yang sensual. "Aku jadi ingin membuatnya menjadi berantakan. Bolehkah?" Laura mengatupkan bibirnya saat John mendadak meminta izin padanya. Sorot matanya terlihat begitu polos. Bahkan Laura tidak yakin apakah ini benar-benar John Nicholas Leister atau bukan? Yang Laura ketahui, John ini adalah orang yang pemaksa. John tidak pernah meminta izin untuk melakukan sesuatu. Pria itu suka sekali melakukan apa pun yang dia inginkan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Cukup terkejut juga Laura karena John meminta izin padanya. Laura menatap sekilas sorot mata tajam John saat ini. Lalu dengan berani, Laura lebih dulu yang memagut bibir John. Sedikit seringaian muncul di sudut bibir John saat Laura yang menyerangnya lebih dulu. Tentu saja hal itu membuatnya semakin terpancing dan memperdalam ciuman. Bukan John Nicholas Leister jika berciuman hanya sekedar menempelkan bibir saja. Pria itu lebih tepat dijuluki sebagai vacum cleaner. Ciumannya selalu berantakan, dalam, dan selalu menggunakan lidah. Bibir Laura yang semula merah cetar, seketika pudar. Sekitaran bibir dan dagu Laura sampai belepotan lipstiknya sendiri akibat ulah John. "Aku suka melihatmu berantakan seperti ini. Cantik, seksi." "Dan kau sama seperti pria yang lainnya." sahut Laura dan John menaikkan sebelah alisnya seolah tak mengerti. Lalu kemudian Laura mendekatkan wajahnya ke arah telinga pria itu dan berbisik, "buaya!" Setelah mengatakannya, Laura langsung bangkit dari pangkuan John. Berjalan masuk ke dalam toko untuk mengembalikan kotak P3K. Meninggalkan John yang tersenyum tipis di tempatnya. "Kau mau mengantarku pulang atau tidak?" tanya Laura pada John yang saat ini berdiri di sampingnya. "Tapi, kau yakin bisa mengemudi dengan tanganmu yang terluka? Mau aku yang bawa mobilnya saja?" "Kau bisa?" "Kau meremehkan aku?" "Bukannya kau memang tidak bisa mengendarai mobil?" Laura mengerutkan dahinya sambil mengerucutkan bibir. Mencoba mengingat apakah sebelumnya dia sudah salah bicara pada John atau tidak. Tapi tetap saja Laura tidak ingat apa pun. Dia sendiri merasa jika tidak pernah membahas soal bisa mengendarai mobil atau tidak dengan John sebelumnya. Atau memang sudah tapi dia lupa? Entahlah, Laura terlalu malas untuk kembali mengingatnya. Rasanya tidak penting juga dia mengingatnya. "Memangnya aku pernah mengaku tidak bisa mengendarai mobil padamu? Sepertinya tidak kan?" John menaikkan kedua pundaknya yang mana membuat Laura semakin bingung dan pusing sendiri. "Mana kuncinya? Biar aku saja yang mengemudi." "Aku saja, Laura. Kau tinggal duduk manis di sampingku." "Kau ini sepertinya satu dari satu juta orang yang memiliki otak bebal ya? Berikan kuncinya sekarang." Laura menengadahkan tangannya dan John langsung memberikan kunci mobilnya pada wanita itu. John berpikir jika percuma saja dia berdebat dengan Laura. Sebab watak wanita itu memang berbeda sekali dari Sofia. Pria itu buru-buru masuk ke dalam sebelum Laura mengomel. Tidak ada percakapan selama di perjalanan. Namun John terus sibuk memperhatikan Laura yang nampak begitu santai saat mengendarai mobilnya. Sampai-sampai John sedikit kehilangan kepekaan pada sesuatu. Untuk pertama kalinya, John tidak awas pada sesuatu yang ada di sekitarnya. Sebuah mobil SUV berwarna hitam terus mengikuti di belakang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN