Izin Menginap

1453 Kata
Laura menghentikan mobil yang dia kendarai tepat pada gedung apartment. Dia menoleh ke arah John sembari melepas seatbelt. "Kau yakin bisa pulang sendiri? Telapak tanganmu—" "Aku bisa, Laura." sela John dengan cepat. "Kau sudah bertanya hal yang sama lebih dari lima kali. Aku bahkan bisa datang menemuimu tadi. Padahal tanganku belum di obati." "Yakin bisa hanya menggunakan satu tangan?" tanya Laura lagi memastikan. "Atau kau antar saja kau kembali ke rumah." lanjutnya. John sontak menahan tangan Laura yang hendak kembali memasang seatbelt. "Tidak perlu. Dengan kau yang memaksa begini membuatku malu. Aku bisa, Laura. Jika kau terus bertanya, itu justru seolah kau sedang meremehkan aku." "Ck! Kau selalu berpikiran yang buruk. Bukan meremehkanmu. Bahkan aku sama sekali tidak berpikiran untuk meremehkan kemampuanmu. Aku hanya khawatir. Telapak tanganmu yang terluka. Apalagi sudah aku perban barusan. Jika kau nekat mengemudi, bisa dipastikan telapak tanganmu akan tertekan juga dan kembali berdarah. Aku tidak yakin kau akan mengobatinya lagi nanti." "Kalau begitu besok datanglah ke tempatku dan obati lagi lukaku. Mudah, bukan? Sekarang, aku bisa pulang sendiri. Karena besok, kau akan mengobati lukanya lagi. Bukan begitu, cantik?" Laura mendecakkan lidahnya dan tak lupa memberikan pukulan pada lengan pria itu. Tapi sayangnya, Laura mengaduh sakit, sebab lengan John yang begitu keras. "Itu lengan atau batu? Sialan! Keras sekali!" pekiknya kesal sambil mengibaskan tangannya karena sakit. "Ada yang lebih keras dari ini, Laura. Bahkan juga lebih sakit jika kau ingin merasakannya." "Hah?" "Tapi aku bisa pastikan padamu jika itu sakitnya penuh kenikmatan." Laura semakin mengernyitkan dahinya bingung sendiri. Apalagi saat smirk andalan pria itu muncul. Benar-benar membuat tubuh Laura merinding seketika. Tatapan John, dan senyumannya memang tidak pernah main-main. Bahkan bisa melemahkan jantung dalam sekejap. Tapi juga bisa membuat kerja otak menjadi melambat. Desiran aneh mulai tercipta, tapi Laura buru-buru turun dari sana. Sengaja ingin menghindari situasi sebelum dia bisa mencegahnya kembali. Yang kemarin itu, memang tindakan bodoh, karena Laura berpikir lebih cepat lebih baik. Tapi setelah dipikir beberapa kali, Laura memilih jalan untuk pelan. Dia tak mau terburu-buru, sebab takut jika pria itu curiga. Selain itu, Laura juga masih memantau seseorang yang selalu bersama John. Ya, tangan kanan pria itu. "Laura, tunggu!" John ikutan turun dari mobil dan secepat itu menghalangi langkah Laura. John bahkan tidak tau, kenapa dia harus sebegitu effortnya untuk Laura? Tapi satu hal yang pasti. John melakukan itu karena Laura sangat mirip dengan Sofia. Meskipun hanya fisik dan wajahnya saja. Walau dia sendiri sadar bahwa segala sikap dan sifat Laura jauh berbeda dari Sofia. Apalagi tingkahnya. Namun tetap saja, John tetaplah John yang terus berusaha menganggap Sofia hidup di diri Laura. "Apalagi, Tuan Leister?" "Terimakasih." "Hah? Kau sudah mengatakan itu berkali-kali. Tidak bosan?" John menggeleng, lalu meraih tangan Laura dan menariknya cepat untuk memasuki gedung apartemen. John, benar-benar baru menyadari jika seseorang tengah menguntitnya. Dan John tak bisa meninggalkan Laura sekarang. Dia belum bisa memastikan siapa yang sudah menguntitnya. Tapi secepatnya, John akan menemukan orang itu. "Hei pelan-pelan, Tuan! Kau ini main menarikku saja. Sakit lenganku!" seru Laura mengomel sambil mengerucutkan bibir sebal. Keduanya sudah berada di dalam lift. Dan selama di dalam sana, Laura tak berhenti mengomel. Sedangkan John, pria itu hanya diam mendengarkan meski pikirannya sedang kemana-mana. Ketika pintu lift terbuka, keduanya sama-sama keluar. John terus mengikuti Laura dari belakang dan tentu saja mengabaikan omelan wanita itu. Bahkan John tak peduli sama sekali sebenarnya. Dia hanya tak ingin orang yang berniat jahat padanya justru nanti berbelok memanfaatkan Laura. "Kau ini kenapa jadi ikut-ikutan ke sini? Kau pulang saja Tu—" "Aku izin menginap di sini." sela John seenak jidatnya. "Hah?" "Seperti yang kau bilang, aku tidak bisa menyetir. Masih sakit ternyata." ujar John beralasan. Padahal bukan karena itu dia ingin menginap. Melainkan hal lainnya. "Oh, baiklah. Tapi, kau tidur di sofa." sahut Laura yang langsung mengizinkan tanpa banyak tanya. "Aku juga tidak berharap tidur satu ranjang denganmu." "Astaga mulutnya, seperti tidak keenakan saja saat—" Laura langsung menghentikan ucapannya saat John menatapnya intens tanpa celah. Dia lantas tertawa sambil mengibaskan tangannya di depan John. "Maaf ya, mulutku memang sedikit tidak ada remnya malam ini." Setelahnya Laura langsung buru-buru masuk ke dalam, diikuti dengan John yang berjalan di belakangnya. Laura benar-benar tidak expect jika mulutnya akan bicara ke sana kemari. Bisa-bisanya menyerempet pada hal yang berbau seperti itu. Sudah tau dia melakukannya terpaksa. "Sial! Harusnya aku tidak bicara begitu kan?" monolognya sembari memasuki kamar. "Ck! Tidak apalah, hitung-hitung sebagai pancingan. Orang seperti dia memang suka jika digoda. Harusnya memang aku menjeratnya dengan langsung mengangkangkan kaki di depannya. Pasti dia langsung tunduk padaku. Tapi tidak, aku tidak mau terlihat mencolok begitu. Caraku sudah bagus. Memang dia harus ditarik ulur supaya tidak mudah bosan padaku." Wanita itu berniat untuk mengganti pakaiannya. Bahkan sudah mengambil piyama yang ada di dalam lemari. Tapi ketika hendak melepaskan pakaiannya, pintu kamar mendadak terbuka. Sial! Laura langsung balik badan secepat kilat, sembari menurunkan kembali pakaiannya. Gagal melepasnya, sebab sosok John muncul di ambang pintu. "Kenapa? Kau nampak terkejut sekali. Aku bukan hantu," "Ya coba saja kau pikir, siapa yang tidak terkejut jika tiba-tiba ada yang menerobos masuk ke kamar di saat sang pemilik kamarnya hendak berganti pakaian?" sahut wanita itu menggebu-gebu. Lalu kemudian Laura menyipitkan kedua matanya. Menunjuk John dengan telunjuknya. "Kau sengaja kan ingin mengintipku?!" tuduhnya. John tersenyum asimetris sembari berjalan mendekat ke arah Laura. "Untuk apa mengintipmu? Aku masih ingat jelas bagaimana tubuhmu yang polos di hadapanku. Jadi, buat apa? Kecuali jika kau—" "Stop! Dasar pria mesumm!" potong Laura dengan cepat. Bahkan dengan suara yang begitu jelas. John terkekeh pelan melihat wajah Laura yang memerah. Dia benar-benar tidak expect jika Laura bisa semenggemaskan itu jika sedang salah tingkah begini. "Cepat keluar! Aku mau ganti baju!" Laura mendorong tubuh John. Dengan segala kekuatan yang dia punya, tetap saja, dia hanya mampu sedikit menggeser tubuh pria itu. "Cepat keluar, Tuan Leister, aku mohon." ucap Laura final. Dia, benar-benar memohon sekarang. Karena entah mengapa, Laura mendadak merasa malu. Pipinya memanas, dan dia yakin ada yang salah dengan dirinya saat ini. Dan semua berawal dari John! Pria itu tak menyahut sama sekali. Bahkan John hanya menatap kedua mata Laura yang nampak memohon. Sialnya, tatapan itu benar-benar mirip dengan tatapan Sofia ketika sedang memohon padanya. Maka tanpa mengatakan apa pun, John keluar dari sana dan menutup pintu kamar dengan cukup keras. Rasanya aneh jika melihat tatapan itu. Rasa bersalahnya, rasa sayangnya, rasa rindunya benar-benar membumbung tinggi. "Sofia... Kenapa kau harus muncul di saat yang seperti ini?" gumamnya seraya berjalan ke ruang tamu. John mendudukkan diri di sebuah sofa panjang. Punggungnya dia sandarkan pada kepala sofa, dengan kedua mata yang terpejam. Lagi-lagi bayangan Sofia kembali muncul di saat otaknya sedang bekerja untuk mengingat Laura. John sama sekali tidak pernah pusing sampai memikirkan hal yang seperti ini. Dia memang akan selamanya menyayangi Sofia. Tapi bukan berarti Sofia harus tiba-tiba muncul saat dia sedang tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Ponselnya yang bergetar sukses membuat John langsung merogoh ponselnya disaku celana dengan tangannya yang tidak terluka. "Ya, Griffin, bagaimana? Kau berhasil menemukannya? Siapa orang yang ada di dalam mobil SUV hitam itu?" John menghubungi Griffin untuk menindaklanjuti siapa yang berani membuntutinya. Dan John yakin bahwa orang tersebut sudah mengikutinya sejak awal. Yang membuatnya khawatir sekarang bukanlah dirinya, tapi Laura. John tidak ingin sampai wajah Laura dikenali, sebab akan sangat bahaya jika keberadaan Laura diketahui. Sebab wajah wanita itu sangatlah mirip dengan Sofia. Bukan mirip lagi, tapi macam pinang dibelah menjadi dua. John ingin mencegah sesuatu yang tidak terjadi. Dia tak akan membiarkan hal-hal buruk terjadi pada Laura, seperti yang di alami oleh Sofia. John, tidak mau gagal lagi dalam melindungi seseorang. "Maaf Tuan, tapi sepertinya anda terlalu berpikiran yang tidak-tidak. Di dalam mobil SUV itu hanya ada sepasang remaja nakal yang sedang asyik b******u. Tidak ada yang mencurigakan sama sekali dari mereka." sahut Griffin di seberang sana. John sontak mendecih begitu mendengar jawaban dari Griffin. "Jadi secara tidak langsung kau menganggapku berhalusinasi, begitu?! Padahal kau tau jika instingku sama sekali tidak pernah salah. Mobil SUV itu benar-benar sus. Ada yang tidak beres. Selidiki semuanya, aku tidak mau tau!" "Tapi Tuan, ada hal yang jauh lebih mendesak dan penting dari ini. Anda harus pergi menemui Nona Kim Naen. Jangan sampai beliau marah karena anda datang terlambat. Maaf jika saya harus mengatakan ini, tapi sudah waktunya pergi sekarang, Tuan. Saya tunggu di bawah." John hampir saja membanting ponselnya, jika saja tak ketahuan oleh Laura. "Kau, kenapa?" tanya Laura yang nampak kebingungan saat melihat John hampir saja membanting ponselnya ke lantai. Bukannya menjawab pertanyaan Laura, pria itu justru melirik dan mengamati Laura dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tatapannya berubah menjadi lebih serius dan jujur saja Laura merasakan tatapan John yang kini berbeda. Benar-benar sulit sekali untuk dideskripsikan. "Laura, kau yakin mengenakan itu?"

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN