Geo ngambek. Tapi dia cukup pintar untuk tidak ngambek di depan Ari dan Chilla. Dia menganggap dirinya sebagai kakak, mana mungkin dia berani memasang wajah masam atau bahkan menangis? Pasti dia malu.
"Aku kan masih mau main sama Chilla, Ma," rajuknya duduk sembari cemberut.
"Nanti kapan-kapan kalau ketemu Chilla lagi kamu juga bisa main, Sayang. Hari ini Mama capek banget. Mama belum beres-beres rumah dan masak juga buat papa kamu."
Geo diam setelah aku mengatakan itu. Dia memilih masuk ke kamarnya. Aku biarkan saja dia merajuk dan langsung menyentuh pekerjaan rumah.
Apa aku terlalu jahat kepada dua anak itu? Aku hanya takut. Takut Geo terlalu nyaman bersama Ari. Jujur, aku tidak ingin mereka dekat.
Pekerjaanku selesai tepat saat aku mendengar suara motor Bayu di luar. Aku bahkan sudah memasak untuk makan malam. Masakan sederhana saja. Sayur sop beserta cekernya, dan tempe tahu goreng plus sambal.
"Hmm, wanginya sampe keluar rumah," ucap Bayu begitu dia muncul di ruang tengah yang menyatu dengan dapur.
Aku yang sedang membereskan meja makan tersenyum. "Masa sih? Orang cuma masak tempe goreng."
"Memang, tapi bumbu tempe goreng kamu kan juara." Bayu mendekat dan mengecup pelipisku. "Geo mana?"
"Masih di kamarnya."
"Tidur?"
"Sepertinya begitu. Biar aku bangunkan. Kamu mandi dulu aja, Mas." Aku menutup masakan dengan tudung saji, lalu bergerak ke kamar Geo yang pintunya berhadapan dengan pintu kamarku.
Anak itu terlelap dengan wajah lelah. Keningnya tertutup poninya yang tebal. Pelan aku mendekat, dan duduk di dekat kasur tidurnya. Kami memang tidak menggunakan ranjang tidur. Hanya kasur saja yang menghampar di atas tikar. Kamar kami terlalu sempit, jika ditambah ranjang atau dipan, pasti akan makin terlihat sempit.
"Geo, bangun yuk. Ini sudah sore waktunya kamu mandi," ucapku sembari mengusap lengan dan pipinya. Mencoba membangunkannya perlahan.
Geo bukan anak yang susah dibangunin, jadi saat aku sudah menyentuh pipinya matanya pasti langsung terbuka.
Geo menguap, lalu mengucek matanya. "Sekarang jam berapa, Ma?" tanya dia sembari bangun dan duduk.
"Jam empat sore. Makanya kamu mandi biar ganteng, biar wangi." Aku mengacak rambutnya. "kayaknya rambut kamu udah mulai panjang lagi deh. Besok kita rapikan ya."
"Janji cuma rapiin doang ya, Ma. Aku nggak mau rambutku dipotong banyak-banyak."
"Iya. Yuk kita mandi."
"Aku mandi sendiri aja ah. Malu sama Chilla kalau mandi aja harus dimandiin."
Aku mengulum senyum. Chilla ternyata cukup berpengaruh buat Geo. "Oke, sepertinya anak mama sudah bener-bener jadi laki-laki sejati."
"Laki-laki sejati itu apa, Ma?"
"Laki-laki sejati itu ... " Aku berpikir, mencari jawaban yang mudah dia mengerti. "Apa ya ... Gini deh ... Kalau kamu menyayangi dan melindungi teman kamu dan juga Mama itu disebut laki-laki sejati. Atau kalau kamu bisa mandiri misal mandi dan makan sendiri itu juga bisa disebut laki-laki sejati."
Geo mengangguk-anggukan kepala seolah paham apa yang aku katakan. Kakinya lantas bergerak menopang tubuhnya sendiri, dia bangun. "Jadi, bener dong ya kalau aku mandi sendiri."
Aku mengiyakan dan ikut berdiri juga. Tapi saat Geo hendak masuk kamar mandi, pintunya tertutup. Dia kembali datang padaku dengan wajah bersungut. "Di kamar mandi ada orang."
"Oh iya, Papa kamu lagi mandi." Aku terkekeh dan memintanya untuk duduk sebentar.
"Kapan Papa pulang?" tanya Geo menghadap meja makan, hidungnya mengendus bau masakan di balik tudung saji, lalu dia mengintip isinya dengan satu mata terpicing.
"Beberapa menit sebelum mama bangunin kamu," sahutku, memperhatikan tindakannya. "Kamu lapar? Mau makan sekarang?"
Geo menggeleng. Kepalanya sedikit menunduk. "Geo mau nanya sama Mama deh."
Aku yang sedang membersihkan area dapur menoleh. "Tanya apa?"
"Tapi mama nggak boleh marah ya?"
Aku menggeleng. Penasaran juga apa yang akan dia tanyakan. Soal Ari kah? Aku mengawasi anak itu, tampangnya sedikit merasa tak enak. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Itu ... memang Mama nggak bosen ya tiap hari masak tahu tempe terus?"
Eh? Sontak kedua alisku terangkat sesaat setelah pertanyaan itu meluncur. Aku sudah tegang saja takut Geo menanyakan tentang Ari. Diam-diam aku menertawakan diri sendiri yang terlalu khawatir.
Aku menyudahi kegiatanku membersihkan dapur lalu bergerak mencuci tangan baru kemudian menghampiri bocah lima tahun yang pandai bicara itu.
"Geo bosen ya makan tahu tempe terus? Tuh Mama juga masak sayur sop. Ada ceker dan sayapnya. Kamu bisa makan yang itu."
Aku memang tidak pernah absen memasak tempe atau tahu, tapi aku juga tidak ketinggalan memberinya protein nabati meskipun hanya sedikit.
"Papa kamu suka tahu dan tempe. Makanya masakan Mama pasti ada tempe tahu," lanjutku lagi.
"Oh, begitu ya."
Aku mengangguk. Lalu mengelus kepalanya. "Coba bilang sama Mama besok kamu mau Mama masakin apa, biar Mama bisa belanja di tukang sayur."
Wajah anak itu sumringah. "Martabak telur boleh?"
Aku berpikir sejenak sebelum mengiyakan. Apa aku bisa membuatnya? Tapi, saat bayangan kulit lumpia dan daun bawang berkelebat, aku mengangguk. "Oke besok Mama masakin martabak telur."
Anak itu girang bukan main. "Makasih, Mama."
Bayu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkari leher. "Ada apa ini? Girang banget kayaknya anak papa."
"Iya dong soalnya besok Mama mau masak martabak telur," sahut Geo, lantas beranjak ke kamar mandi. "Geo mandi dulu, papa jangan makan dulu ya nanti kita makan bareng."
"Oke, Boy."
Geo yang tampak akan melangkah memasuki kamar mandi menoleh. "Kok papa sebut aku boy?"
Bayu yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk berhenti dari kegiatannya sejenak. "Boy itu anak laki-laki. Geo kan anak laki-laki."
"Oh, kalau itu Geo tau. Tapi papa jadi kayak O..." tiba-tiba Geo melirikku. Seolah sadar dirinya hampir saja keceplosan menyebut nama Ari.
Aku menggeleng padanya dan mengisyaratkan dia untuk segera masuk kamar mandi.
"Aku mandi dulu deh."
Ah, anak itu masih bisa aku ajak kerja sama. Meski begitu agak waswas juga kalau dia sampai keceplosan saat sedang berdua dengan Bayu. Sebisa mungkin aku harus selalu mengawasi dan mewanti-wanti anak itu untuk hati-hati.
Ya Tuhan, aku sudah seperti sedang menyembunyikan sesuatu saja. Sungguh perasaan seperti ini sangat tidak nyaman. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak mau Bayu terganggu mendengar nama mantanku disebut kembali setelah beberapa tahun. Aku yakin Bayu tidak ingin mendengar atau bahkan tidak peduli dengan mantan rivalnya dulu.
"Anak kamu aneh," ucap Bayu seraya menarik kursi di bawah meja makan.
"Aneh kenapa sih, Mas?"
"Dia suka kadang-kadang mau ngomong tapi nggak jadi gitu."
"Paling dia lupa, Mas. Kan anak kecil memang masih lupa-lupa ingat."
Bayu mengangkat bahu, lalu menarik pinggangku mendekat. Dia mendusel di perutku. "Wangi banget sih."
Aku terkekeh dengan apa yang dilakukan lelaki itu. "Apa sih, Mas. Aku belum mandi loh."
"Masa sih? Tapi kok wangi," katanya seraya mendongak menatapku yang berdiri sementara dia memeluk pinggangku dengan posisi duduk.
"Kamu kangen kali sama aku. Bau asap gini, bilangnya wangi."