Chilla

1075 Kata
Aku melebarkan mata mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut mungil putri Ari. Mami baru? Aku tersenyum, terpaksa. Tidak mungkin aku menegur anak sekecil itu. "Bukan, Sayang." Ari terkekeh. "Mereka teman Papi. Cowok ganteng ini namanya Kak Geo, dan Tante cantik itu bernama Tante Rivana." Ari mengenalkan kami. Chilla tampak mencebik kecewa. "Aku kira Papi bawa Mami baru Chilla." Aku berjongkok untuk mensejajarkan tinggi dengan anak itu. "Halo Cantik, siapa nama kamu?" tanyaku ramah. Mata bening Chilla menatapku, dia tidak langsung menyahut malah memperhatikan wajahku dengan seksama. "Tante cantik," ucapnya lalu senyumnya mengembang. "Aku Chilla, Tante. Kata Miss Lili aku anak yang pintar dan aktif, Tante." "Wah, benar kah? Beruntung sekali Tante kenal anak pintar dan aktif. Nah, kalau tante punya anak yang pintar baca buku." Aku menggapai tangan Geo. Anak itu menurut saja. "Namanya Kak Geo, umurnya lima tahun." Keduanya saling tatap satu sama lain sebelum Chilla mengulurkan tangan lebih dulu. "Halo, Kak. Namaku Chilla." Geo melirikku sesaat sebelum menyambut uluran tangan Chilla dengan senyum. "Aku Geo. Kelas TK A." "Kak Geo kita teman ya." Geo mengangguk. "Iya, kita teman." Ari menggerakkan alisnya, menatapku saat melihat anaknya cepat akrab dengan anakku. "Anak kecil memang begitu gampang akrab," ujarku. Apa lagi Geo, tapi kali ini sepertinya dia terlampau senang mengenal Chilla. Wajar sih, Chilla gadis cantik yang lucu. Umurnya yang dua tahun di bawah Geo, membuat Geo mudah mengalah. Keduanya duduk di belakang bersama pengasuh Chilla. Saling bertukar cerita tentang sekolahnya. Gaya cerita mereka menggemaskan. Cerita ciri khas anak-anak. Chilla ternyata anak interaktif, sama halnya dengan Geo. Tapi yang aku perhatikan, Geo lebih sering mengalah dan memberi kesempatan Chilla untuk bercerita. "Kak Geo suka lolipop enggak?" tanya Chilla di belakang. "Suka dong. Tapi Mama bilang nggak boleh banyak-banyak makan permen, nanti giginya rusak," sahut Geo. "Miss Lili juga bilang begitu. Tapi kalau sekali-kali nggak apa-apa kok. Iya kan, Pi?" tidak cukup dari Miss Lili, gurunya. Chilla juga bertanya pada ayahnya. "Iya benar, Sayang." "Tuh kan, aku bilang juga apa. Aku punya dua lolipop, buat Kakak satu ya," ujar Chilla lagi seraya menyodorkan satu permen loli. Geo tak langsung menerima, seperti biasa dia akan minta persetujuanku terlebih dulu. Tapi.... "Boleh kan Tante Kak Geo makan lolipop?" Chilla yang lebih dulu meminta izinku. Apa aku bisa menolak? Aku terkekeh. "Boleh kok, Sayang." Persetujuanku disambut senang oleh keduanya. Aku sedikit menghela napas melihat keakraban mereka. Keduanya mirip kakak adik. Dan hal itu mengingatkan aku pada impianku dengan Ari dulu. "Kita akan punya berapa anak, Va?" tanya Ari saat itu. "Bahkan aku masih belum lulus sekolah, Mas. Kamu sudah menanyakan hal yang masih sangat jauh." "Aku mau dua. Laki-laki dan perempuan. Yang pertama laki-laki yang kedua perempuan. Biar bisa melindungi adiknya," katanya lagi tanpa peduli dengan jawabanku. Aku menggeleng. "Kayak kita mau nikah besok aja sudah merencanakan anak." "Rencana kan penting, Va. Masterplanku adalah menikahi kamu, punya anak dari kamu dan keluarga kita akan tinggal di salah satu residen di ibu kota." Mata Ari menerawang saat mengatakan itu. Seolah membayangkan kami berada di sana. Di impiannya. Aku hanya tertawa saja, tanpa niat berkomentar. "Aminin dong, Va. Kok malah diketawain sih." "Iya, iya, amin." "Terpaksa banget bilang aminya. Emang kamu nggak mau punya anak dan hidup sama aku?" Aku menghela napas. Kami memang pacaran, tapi membayangkan sejauh itu sama sekali belum terlintas di kepalaku. Memikirkan pelajaran saja sudah membuatku pusing, masa harus ditambah memikirkan masa depan yang tidak tahu akan seperti apa. "Udah deh, Mas. Lihat nih! Tugasku numpuk. Mending kamu bantuin aku daripada memikirkan hal yang belum terjadi." Ari nyengir. "Enak kali, Va, memikirkan masa depan sama kamu. Kayaknya aku bahagia banget hari itu." Aku menggeleng dan tidak menghiraukan ucapannya lagi. Kenangan itu membuat senyumku tanpa sadar terulas. Semua rencana Ari tidak ada satu pun yang terwujud. Aku malah menikah dengan lelaki lain. Dan kami masing-masing mendapat anak dari pasangan kami. "Kamu beneran langsung pulang, Va? Nggak mampir dulu ke rumahku? Kayaknya mereka masih asyik main." Secara refleks aku menoleh mendengar pertanyaan Ari. Sayup-sayup aku mendengar celotehan Geo dan Chilla. Sesekali mereka tertawa bersama entah menertawakan apa. "Apa, Mas? Maaf tadi kamu tanya apa?" Ari terkekeh dan menggeleng. "Kamu nglamunin apa sih, Va?" "Hah?" spontan aku mengusap wajah dan terkekeh. "Aku nggak ngelamun kok." "Tadi itu aku tanya kamu beneran mau langsung pulang? Nggak mampir dulu ke rumah aku? Aku kasihan lihat anak-anak, kayaknya mereka masih ingin main," ujar Ari pandangannya menoleh sebentar ke pantulan spion depan. "Kami langsung pulang saja, Mas. Kami sudah terlalu lama di luar," sahutku memutuskan. "Suami kamu ada di rumah?" "Enggak ada, dia lembur. Ada banyak kerjaan katanya." Ari mengangguk-angguk. "Chilla, Kak Geo mau pulang dulu nggak apa-apa ya?" tanya Ari kepada anaknya. "Pulang? Kok Kak Geo cepet pulang sih? Aku kan masih mau main sama Kak Geo, Pi," sahut Chilla protes. "Iya, Tante Riva minta pulang." "Tante, Chilla masih mau main sama Kak Geo. Boleh ya, Tante..." mohon anak itu sembari menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. Tatapannya penuh permohonan. Astaga, aku tidak tahu siapa yang mengajarkan itu, tapi siapa pun orang yang melihat wajah Chilla saat ini pasti tak sampai hati menolak keinginannya. "Kak Geo udah lama di luar, Sayang. Rumahnya nggak ada yang nungguin," sahutku mencoba peruntungan. Mungkin saja anak itu mau mengerti. "Tapi Kak Geo bilang ingin lihat rumah Chilla, Tante." Anak itu masih berusaha. Aku harap Ari bisa menolongku, tapi ternyata dia diam saja fokus ke jalanan. "Gimana kalau lain kali aja? Kan Chilla juga harus bobo siang." Aku terus membujuknya. Anak itu mencebik kecewa. Dan hampir saja aku menyetujui permintaannya. "Lain kalinya itu kapan Tante? Besok bisa?" Hah? Aku beneran kesulitan menjawab. Ari seolah sengaja membiarkan aku mengalami kesulitan ini. Aku harus jawab apa? Bukannya makin menjauh, Ari seolah mendekatkan kami dengan memunculkan Chilla. "Mas?" "Iya?" "Aku harus gimana?" "Kamu tinggal jawab aja bisanya kapan." "Tapi aku nggak bisa janji," ucapku putus asa. Aku juga tak mungkin bohong dengan anak kecil. Ari tampak menghela napas. "Sesekali nggak apa-apa kan terima undangan Chilla, Va." "Tapi, Mas..." "Kan kamu ketemunya sama Chilla, bukan sama aku." Manusia satu ini pintar banget mencari alasan. Bertemu Chilla ya sama saja bertemu bapaknya, mereka kan satu paket. Sepertinya percuma minta pertolongan Ari. "Nanti kalau Tante sama Kak Geo punya waktu luang. Nanti Tante hubungi Chilla, gimana?" Aku kembali bertanya dan menoleh ke belakang. "Waktu luang itu kapan, Tante?" Ya Tuhan, aku sudah menduga harus sesabar ini. "Kapan ya?" Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Dan yang menyebalkan, Ari di belakang kemudi hanya mesem-mesem tak jelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN