Penawaran Ari

1155 Kata
Mengenai tawaran Ari aku ragu untuk mengatakannya kepada Bayu. Jika aku jujur pekerjaan itu dari Ari aku sangat yakin Bayu akan menolaknya dengan tegas. Dia tidak akan membiarkan istrinya berdekatan dengan mantan. Padahal aku di sana berniat untuk bekerja. Siapa tahu saja aku bisa mencicil motor sendiri dengan bekerja. Bayu masih duduk di atas kasur. Dia menumpuk beberapa bantal di belakang punggungnya untuk sandaran. Entah buku apa yang sedang dia baca, tapi sepertinya buku tentang pengembangan diri. Aku yang sejak tadi bermain ponsel sesekali meliriknya. Ingin membicarakan soal tawaran pekerjaan dari Ari maju mundur. Aku harus mencari alasan apa jika dia tanya aku bekerja di mana. Sedang bingung memikirkan alasan yang tepat, w******p dari Ari muncul. Aku terkejut dan sedikit mengubah posisi, memastikan layarnya tidak sampai terjangkau oleh pandangan Bayu. Setelah merasa aman, baru aku membuka pesan itu. Ari : Kalau kamu tidak berani minta izin karena ada aku. Kamu nggak perlu khawatir, Riva. Aku jarang di kedai. Kalau pun aku ke sana paling malam hari. Aku mengerjap. Isi pesan Ari seolah tahu apa yang sedang aku risaukan. Aku berdeham beberapa saat sebelum mencolek lengan Bayu, meminta perhatiannya. Bayu menoleh sebentar sembari mengedikkan dagunya, matanya lalu kembali fokus pada buku bacaannya. "Ya, Sayang." "Boleh enggak kalau aku kerja, Mas." "Boleh," jawab Bayu sembari mengangguk, tapi tidak lepas dari lembar buku di hadapannya. Sepertinya dia tidak terlalu mendengar apa yang aku tanyakan makanya langsung menjawab boleh. Namun, sejurus kemudian .... "Eh, apa?" Dia menoleh padaku. Memusatkan perhatiannya penuh. "Kerja?" Aku mengangguk dan tersenyum. "Iya, boleh enggak?" "Memangnya kamu mau kerja di mana?" tanya Bayu sambil lalu, kembali melihat bukunya, seolah yang aku bicarakan hanya gurauan. "Dikedai kopi. Kebetulan ada lowongan." "Memang kamu mau jadi pelayan kedai? Capek itu. Di rumah aja kamu udah capek." "Ya enggak dong, Mas. Biar gini-gini kan aku lulusan sarjana. Masa cuma jadi pelayan. Lagi pula sayang kan kalau ijazah nganggur, apa lagi sekarang Geo udah besar," terangku pelan. Berusaha membuat Bayu mau mengerti. Lelaki berambut tebal itu menghela napas berat, lalu menutup bukunya. "Memangnya kamu mau daftar jadi apa? Terus sekolah Geo siapa yang antar jemput kalau kamu kerja?" Kini Bayu benar-benar memusatkan perhatiannya padaku. "Aku akan tetap seperti biasa antar jemput Geo, Mas. Jadi, di sana itu ada lowongan yang kerjaannya cuma ngecek kedai. Total ada dua kedai di kota ini. Nah, aku kebagian jatah ngecek siang dan sore hari, Mas. Waktunya fleksibel nggak akan ganggu kegiatanku di rumah, termasuk antar jemput Geo," terangku penuh semangat. Bayu tampak berpikir. Mungkin dia agak ragu dengan yang aku katakan. Mana ada kerjaan sefleksibel itu. "Anggap aja aku part time, Mas. Soalnya kan kerjanya emang nggak full time," ujarku lagi, mencoba meyakinkan. "Selama itu nggak jadi beban kamu dan kamu bisa menghandle semua yang biasa kamu kerjakan, aku nggak apa-apa. Cuma aku takut kamu terlalu capek, Va." "Kayaknya sih enggak. Kalau kamu izinin, besok aku coba ke sana untuk tanya detail pekerjaannya. Kalau cocok aku ambil, tapi kalau ternyata tidak bisa mengimbangi waktuku, ya nggak aku ambil. Bagaimana?" Aku masih terus meyakinkan Bayu. Ini kesempatan langka untuk bisa kembali bekerja. Bayu menyerah dan mengangguk. "Tapi kamu pastikan dulu kerjaannya ya. Jangan sampai mengganggu kerjaan utama kamu." Aku tersenyum senang. Satu tiket sudah aku dapatkan. Tiket yang paling utama. Izin dari Bayu. Ari menyambut kedatanganku di kedainya. Penampilannya sore ini agak sedikit berbeda dari biasanya. Dasi yang selalu berkibar di kerahnya tidak ada. Bahkan kancing paling atas kemejanya terbuka. Lengan kemejanya juga tersingsing hingga sikut. Wajar sih, ini jam pulang kantor. Dia sepertinya juga baru pulang dari kantornya. Tapi, tetap saja tidak mengubah apa pun. Dia masih ... tampan. Ehem! Aku meninggalkan Geo di tempat les mengajinya. Masih ada waktu satu jam lagi untuk menjemputnya. Dan aku gunakan waktu itu untuk menemui Ari, membicarakan soal pekerjaan. "Aku senang banget akhirnya kamu bisa menerima kerjaan ini. Kamu tahu kan aku di sini masih orang baru, menemukan seseorang yang dipercaya pasti sulit," ujarnya begitu sampai di depanku. "Aku belum deal, Mas. Aku datang untuk membicarakan soal kerjaan dan jam kerja. Kalau memang itu cocok buat aku, baru aku pertimbangkan," sahutku. Tidak ingin memberinya harapan yang terlalu berlebihan. "It's okay, tak masalah. Kita bicara dulu. Ayo, kita duduk di sana." Ari mengajakku duduk di salah satu meja yang kursinya menggunakan sofa. Ah, pasti ini sofanya mahal, begitu aku duduki terasa membal dan empuk. Kasur busa yang kupunya di rumah saja kalah. Astaga, apa yang aku pikirkan? Dan, tanpa aku pesan seorang pelayan datang membawakanku segelas jus jambu. "Diminum ya, kamu masih suka jus jambu kan?" tanya Ari saat pelayan itu pergi. Sekarang aku tahu siapa yang memesan jus itu. Ari tidak lupa minuman kesukaanku, hal itu cukup membuatku terkesan. Aku mengangguk. "Masih." "Kalau gitu kamu minum dulu, ya." "Terima kasih." Aku terpaksa meraih gelas itu dan menyeruput isinya dengan sedotan yang tersedia. Sementara Ari, dia duduk tegak sembari memandangiku. Membuatku risih saja. "Mas? Ada yang aneh ya?" tanyaku bingung. Ari tersenyum lantas menggeleng. "Aku masih nggak nyangka aja bisa ketemu kamu." Oh, cukup. Aku tidak mau membahas hal itu lagi. "Oke, jadi gimana soal pekerjaan itu?" tanyaku langsung mengalihkan pembicaraan. Aku tidak akan membiarkan Ari mengajakku bernostalgia. Ari mengangguk dan membenarkan posisi duduknya. "Jadi, Riva. Biasanya stok bahan baku entah itu untuk minuman dan makanan biasanya datang sore hari dan pagi hari. Kamu nanti cukup memantau dan memastikan barang masuk sesuai pesanan. Itu aja sih. Lalu kalau paginya, kamu cek ke masing-masing yang pegang dapur bahan apa yang kurang, atau yang harus kita belanjakan buat esok harinya," terang Ari sedikit membuatku paham. "Jadi, aku cuma memastikan saja ya?" tanyaku lagi. "Ya, dan usahakan jangan sampai ada bahan baku yang berlebihan atau kekurangan. Nanti kamu juga yang akan mengorder langsung kepada supplier. Cukup via telepon saja. Nanti mereka akan mengantarkan barangnya ke tempat kita." Aku mengangguk. Dan sepertinya pekerjaan ini cocok buatku. "Waktunya benar cuma pagi dan sore aja, Mas?" Ari mengangguk. "Ya, kamu bisa mulai mengerjakannya setelah mengantar Geo ke sekolah. Jika sebelum jam pulang Geo kerjaanmu sudah selesai, kamu juga bisa langsung pulang dan datang lagi ketika sore menjelang." Aku menarik napas lega. Semakin yakin kalau pekerjaan ini yang selama ini aku cari. "Oh, iya satu lagi. Kamu pasti nunggu ini. Salary." Ari tersenyum menatapku. "Aku memberimu 3 juta per bulan." Mataku melebar mendengar angka tiga juta dari mulut Ari. "Kamu nggak salah, Mas?" Ari menggeleng dan menyipitkan mata. "Kurang cocok ya sama gajinya? Aku tahu Riva kamu lulusan sarjana, pasti berharap gaji yang lebih besar dari ini. Cuma aku ingin lihat perkembangan kedai di sini gimana, apakah sama seperti di kota lain pasarnya atau setidaknya seperti di cabang otista. Jadi, seiring berkembangnya kedai aku juga bakal menaikkan gaji pegawai." Astaga, bukan itu. Aku bahkan mengira Ari bercanda. Tiga juta jumlah yang lumayan besar buatku. Apa lagi aku diberi keistimewaan waktu bekerja yang fleksibel. Gaji Bayu saja paling besar sekitar empat jutaan. Itu pun karena dihantam lembur setiap harinya. Wajar kan kalau aku anggap Ari bercanda?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN