Ari menyodorkan minum setelah batukku reda. Namun, aku menolak dan memilih menggapai minumanku sendiri. Wajahku pasti memerah. Reaksiku tadi terlalu berlebihan.
"Mama nggak apa-apa?" tanya Geo, mukanya tampak khawatir.
Aku menggeleng dan menyakinkan anak itu bahwa aku baik-baik saja. Sekilas aku melirik Ari yang duduk di depanku. Dia juga menatapku dengan pandangan cemas.
"Maaf, sudah bikin kamu terkejut. Tapi yang aku bilang tadi sungguhan."
Mau itu bohongan atau sungguhan, tak seharusnya dia mengatakannya apa lagi ada Geo di sini. Meski aku yakin dia tidak mungkin mengsalahartikan, tapi dia seorang anak kecil. Seandainya dia bilang ke Bayu tanpa sengaja, urusannya bisa runyam. Ya Tuhan, kenapa aku terdengar seperti orang yang berselingkuh sih?
"Lain kali kalau mau bicara lihat sikon, Mas."
Ari nyengir, dan melanjutkan kegiatan makannya. "Aku nggak nyangka reaksi kamu kaget begitu."
Ada senyum samar yang dia sembunyikan. Tidak tahu maksudnya apa bersikap begitu. Tapi, aku tidak memperpanjang, dan memilih diam.
"Aku kayaknya bakal sibuk di kantor. Waktu mengecek kedai jadi tidak maksimal. Aku sedang nyari karyawan yang mau membantuku mengecek kedai. Setidaknya sehari dua kali," ujar Ari kembali membuka percakapan. "Kamu punya rekomendasi?" lanjutnya.
Aku sedikit berpikir. Mengingat apakah ada sodaraku yang menganggur atau sedang mencari pekerjaan, tapi sepertinya tidak ada.
"Aku nggak punya, Mas."
"Hm, atau kamu saja?"
"Aku?"
Ari mengangguk dan tiba-tiba matanya berbinar. "Ini kerjaan yang cocok buat ibu rumah tangga seperti kamu, Va. Waktunya juga sangat fleksibel. Kamu hanya perlu mengecek dua kedaiku di pagi dan sore hari, memastikan pasokan bahan baku aman. Malamnya biar aku yang melakukan."
Aku memang ingin bekerja. Dari dulu aku bercita-cita menjadi wanita karir yang mandiri. Tapi, semua kandas sejak Geo lahir. Pikiran bekerja di luar rumah sama sekali tidak terbesit. Kehadiran Geo di kehidupanku sanggup mengalahkan impianku. Rasanya terlalu sayang meninggalkan Geo di masa tumbuh kembangnya. Sekarang Geo sudah lima tahun, dia juga sudah bersekolah. Dan tiba-tiba saja Ari menawarkan pekerjaan yang sepertinya tidak berat. Jelas itu menggiurkan. Tapi...
"Kamu masih bisa antar jemput Geo, bahkan memasak untuk suami kamu. Malam hari kamu juga masih bisa membacakan cerita untuk Geo," lanjut Ari lagi meyakinkan pekerjaan itu tidak akan mengganggu aktivitasku. "Waktunya sangat fleksibel. Kamu enggak perlu jualan online lagi, Va."
Ah, kata-kata Ari benar-benar membuatku bimbang. Aku memang butuh tambahan biaya. Selama ini gaji Bayu cuma cukup untuk keseharian dan bayar cicilan. Kadang listrik pun aku yang bayar dari hasil jualan online yang tak seberapa. Kalau aku menerima pekerjaan ini, aku tidak akan khawatir tiap bulan bisa bayar listrik atau enggak. Atau khawatir anakku bisa jajan atau enggak, mengingat biasanya uang jajan Geo aku kais dari uang sisa belanja harian.
"Bagaimana, Riva? Ah, ya. Kamu mungkin perlu izin ke suami kamu dulu. Aku akan memberi kamu waktu untuk berpikir."
Ini benar-benar menggiurkan. Aku menatap Geo yang sedang lahap memakan menu ayam goreng. Aku bahagia melihatnya sehat seperti itu. Bagaimana selama ini dia aku ajak hidup prihatin kadang membuatku sedih. Seandainya aku menerima tawaran Ari, aku enggak akan berpikir persediaan beras di rumah masih ada atau enggak jika ingin membelikan sesuatu untuk anak itu.
"Nanti aku pikirkan," ucapku akhirnya. Ari benar. Aku harus meminta izin dan membicarakannya dengan Bayu.
"Oke, aku tunggu keputusan kamu. Sayang, Va. Ini kesempatan. Daripada aku kasih pekerjaan ini untuk orang lain."
Ah, lagi-lagi Ari memprovokasi. Bikin aku makin goyah saja.
"Habis ini kalian mau ke mana?" tanya Ari saat kami sudah selesai makan.
"Kami langsung pulang, Mas."
"Langsung pulang? Gimana kalau kalian ikut aku menjemput Chilla? Dia pulang siang kata gurunya."
Ide yang kurang bagus. Anak itu pasti akan heran melihat ada orang asing bersama ayahnya.
"Nggak usah, Mas. Kami pulang saja."
"Chilla itu siapa, Om?" tanya Geo dengan mata mengerjap.
Ari menoleh dan menatap penuh semangat kepada Geo. "Chilla itu anak Om. Mau kan kamu kenalan sama anak Om? Dia lebih kecil dari kamu. Cantik dan imut," sahutnya.
"Wah, mau dong, Om. Tapi dia nggak cengeng kan?"
Ari terkekeh. "Enggak, dia anak baik."
"Mau dong Om, kenalan sama Chilla."
"Nggak, Geo. Kita akan pulang ke rumah. Mama masih banyak kerjaan," selaku. Aku tidak mau melibatkan diri terlalu jauh di kehidupan Ari. Apa lagi sampai mengenal anaknya.
"Yah, Mama mah gitu," sungut Geo kecewa.
"Riva, biarkan Geo kenal sama Chilla. Nggak akan lama. Setelah menjemput Chilla, aku akan langsung mengantar kalian pulang," bujuk Ari. "Kamu serius nggak mau kenal anakku?" tatapannya bahkan mengiba. Menyebalkan.
"Bukan gitu, Mas. Aku beneran banyak kerjaan di rumah. Aku ...."
"Mama kan udah nyuci sama nyetrika tadi pagi," sela Geo. Anak itu kenapa tidak mau diajak kerjasama dalam hal ini sih?
"Geo, kerjaan mama bukan cuma nyuci dan nyetrika aja," kataku setengah sebal.
"Kamu kenapa sih, Va? Serius ini nggak akan memakan waktu lama," ujar Ari. "Anakku nggak akan menyita waktu kamu."
Bahkan ajakan makan siangnya sudah menyita waktuku. Diserang dua lelaki seperti ini, akhirnya aku menyerah. Aku tidak mungkin ngotot di depan banyak pengunjung kedai seperti ini.
Anak Ari bersekolah di salah satu PAUD yang terkenal bonafit di kota ini. Yang SPP bulanannya setengah dari cicilan rumah bersubsidiku. Ya Tuhan, lagi-lagi aku membandingkan kehidupan Ari dengan kehidupanku.
"Sekolah anak Om bagus banget. Arena bermainnya lengkap. Nggak kayak sekolahku. Cuma ada dua permainan doang," ujar Geo membandingkan sekolahnya dengan sekolah Chilla.
"Di sini ada sekolah TK-nya juga. Kalau mau kamu bisa sekolah di sini," sambut Ari tersenyum. Namun, Geo menggeleng.
"Ini pasti sekolahan mahal. Sekolah anak-anak orang kaya. Kasian papa kalau aku sekolah di sini."
Ucapan Geo membuat aku tertegun. Aku spontan melirik Ari, ternyata reaksinya sama saja. Rasanya aku ingin tenggelam ke dasar bumi saat ini juga. Lagi-lagi Geo melemahkan Bayu di hadapan Ari.
Ari tampak mengusap rambut tebal Geo. "Nggak apa-apa. Sekolah di mana saja pasti bagus. Yang penting kamu bisa belajar dan mengenal banyak teman," ujarnya bijak.
Aku membuang muka dan diam-diam mengembuskan napas lega. Dan keputusan bagus saat Ari tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Ayo, kita masuk." Ari mengulurkan tangan dan langsung disambut Geo.
Di dalam gedung ternyata ramai. Bukan hanya Ari yang datang menjemput. Banyak wali murid lainnya.
"Papi!"
Seorang anak kecil melambai, lalu berlari-lari kecil ke arah kami. Dia kah Chilla? Sepertinya benar, Ari menyambut anak itu yang langsung menghambur ke pelukannya.
"My princess! Kamu senang hari ini?" tanya Ari menatap putri kecilnya.
"Senang dong, Papi. Coba Papi ikut pasti nanti aku kenalin sama Om Jerapah," sahut Chilla dengan nada ciri khas anak-anak yang menggemaskan.
"Oke lain kali kita ke sana. Sekarang ada yang ingin Papi kenalin sama kamu."
Mata bulat Chilla mengerjap. Dia cantik dan lucu dengan pipi gembulnya.
"Lihat siapa yang Papi bawa."
Mata bulat itu langsung menatapku. Dia diam untuk beberapa saat, sebelum senyum lebarnya mengembang. "Mami baru, Pi?"