Aku menggeleng. "Bukan itu, Mas. Ini sudah seperti dapat gaji UMR saja. Padahal kan aku kerjanya nggak full time," ujarku, meringis. Aku berpikir gajiku hanya berkisar satu jutaan. Siapa sangka Ari menawarkan lebih.
Ari tersenyum, seolah paham dengan apa yang aku katakan. "Nggak masalah, Riva. Kamu udah mau menghandle kerjaanku di sini saja aku sudah senang. Aku percaya sama kamu," ucap Ari, menyentuh tanganku.
Aku terkesiap, dan langsung menarik tanganku. Astaga, jantungku rasanya mau copot.
"Sori, aku terlalu senang." Ari tampak salah tingkah dan mengusap belakang lehernya.
Aku tidak suka keadaan canggung seperti ini. Mungkin lebih baik aku segera mengakhiri pertemuan ini. "Mas, kayaknya aku harus pergi. Udah waktunya jemput Geo."
"Biar aku antar." Ari buru-buru berdiri, dan sedikit membuatku melongo. Aku berniat menghindarinya mana mungkin aku menerima ajakannya.
"Enggak perlu, Mas. Aku naik angkot aja. Deket kok dari sini."'
"Biar sekalian aku antar pulang, Va."
"Nggak perlu, Mas. Beneran." Aku tetap menolak.
"Oke. Tapi kamu habiskan minuman kamu dulu."
Secara refleks aku melirik jus jambu yang baru aku cecap sedikit. Baiklah, aku tidak mau terjebak berdua dengan Ari di dalam mobilnya nanti. Segera aku raih gelas itu mendekat, dan meminumnya hingga tandas.
Ari terkekeh melihat gelas kosongku. "Segitunya kamu nggak mau aku antar, Va."
Aku meringis canggung, lalu beranjak berdiri.
"Aku antar sampai kamu dapat kendaraan," ujar Ari lantas mempersilakan aku meninggalkan kedainya.
"Kalau mau kamu besok bisa langsung datang. Nanti Meri akan menemani kamu buat kenalan sama pegawai di kedai ini," ucap Ari saat mengantarku ke depan.
"Iya, Mas."
Kami berjalan bersisian hingga ke tepi jalan raya. Mengamati lalu lalang kendaraan sore.
"Kayaknya kamu butuh kendaraan pribadi deh, Va. Kedaiku kan nggak cuma ini saja. Lima belas kilo dari sini, ada satu kedai lagi yang harus kamu pantau."
Aku spontan menggigit bibir mendengar itu. Ya aku tahu. Kedai itu ada di Otista.
"Aku bisa aja sih kasih kamu uang transport, tapi kayaknya kurang efektif."
"Tapi, Mas. Aku nggak punya kendaraan. Satu-satunya kendaraan kami dipakai Bayu bekerja," ucapku jujur. Tapi, sungguh aku tidak masalah meski harus naik turun angkot. Lagi pula jenis angkutan umum di sini sudah lumayan banyak.
"Nggak masalah, Riva. Nanti aku fasilitasi kamu kendaraan."
Ucapan Ari membuatku seketika terperanjat. Fasilitas kendaraan? Tidak. "Itu terlalu berlebihan, Mas. Sungguh, aku nggak keberatan kalau harus naik kendaraan umum."
"Buat mobilitas kamu kendaraan pribadi itu perlu."
"Tapi, Mas..."
"Besok aku titipkan kuncinya ke Meri. Nah, Riva angkot kamu udah datang. Jangan membiarkan Geo menunggu lama."
Aku hendak membuka mulut, tapi tertutup kembali saat sebuah angkutan umum berhenti tepat di dapan kami. Sepertinya Ari sengaja melakukan ini. Dia tidak mau dibantah.
Aku masuk ke mobil angkot dengan perasaan yang masih mengganjal. Sementara itu Ari yang masih berdiri di pinggir jalan melambaikan tangan begitu angkot-ku merambat pelan.
Kendaraan pribadi? Ucapan Ari masih terngiang. Bahkan aku belum mulai bekerja, tapi dia sudah hendak memfasilitasiku kendaraan. Ini terlalu berlebihan menurutku. Meski aku butuh motor itu, tapi jelas ini janggal buat pegawai yang mulai training saja belum.
"Mama lama banget sih? Aku kan nungguin dari tadi?" tanya Geo setengah merajuk sesampainya aku di sana.
"Maaf, Geo. Tadi mama ada pekerjaan yang harus mama selesaikan. Kita pulang sekarang yuk." Aku merangkul bahunya dari samping. Geo menurut saja ketika aku menuntunnya menuju jalan raya.
"Geo, Mama besok mulai kerja," ucapku ketika kami berjalan setelah turun dari angkutan umum menuju rumah kami.
"Kerja? Maksudnya Mama mau kerja kayak papa?" tanya Geo dengan polosnya.
Aku mengangguk. "Iya. Setelah Mama nganter kamu sekolah, Mama berangkat kerja."
"Kalau Mama kerja nanti siapa yang jemput aku? Terus yang masak buat aku siapa?" Ada nada khawatir saat Geo menanyakan hal itu.
"Ya, tetap Mama. Nanti Mama jemput kamu di sekolah, masak juga buat kamu."
"Kan mama kerja."
"Iya, tapi Mama punya waktu kok meskipun mama kerja."
Geo tampak bingung. Anak sekecil dia memang belum mampu memahami ucapan orang tua dengan baik. Meski begitu Geo anak yang cerdas. Nanti aku akan memberitahunya pelan-pelan. Termasuk di mana aku bekerja.
"Pokoknya Mama tetep bisa antar jemput kamu meskipun Mama kerja."
Geo mengangguk-angguk seolah paham. "Oh, maksudnya Mama izin ya sama bosnya nanti buat jemput aku?"
"Ya semacam itulah." Aku terkekeh, dan tidak mau membantah. Biarlah dia tetap pada pikiran anak-anaknya.
Aku memberitahu Bayu semuanya saat dia pulang. Seperti dugaanku dia tercengang mendengar angka gaji yang akan aku terima nanti.
"Kok bisa begitu ya? Bosnya baik banget," komentar Bayu setelah menceritakan semuanya.
Aku meringis jeri. Seandainya dia tahu bosnya Ari, Bayu pasti tidak heran aku mendapat keistimewaan ini. Bahkan aku sendiri masih bingung kenapa Ari menawarkan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan bagi ibu rumah tangga seperti aku.
"Kamu masih bisa dapat gaji besar, urusan rumah juga nggak terbengkalai. Beruntung kamu, Va," ujar Bayu lagi sembari mengelus kepalaku.
"Rejeki istri soleha," sahutku terkekeh, dan langsung menulari Bayu.
"Sepertinya begitu. Jadi, kapan kamu mulai kerja?" tanya Bayu, memposisikan diri rebahan dengan kepala bersandar pada pahaku.
"Besok mulai pengenalan."
Mata Bayu tampak terpejam. "Kontraknya berapa tahun?"
Aku bingung ditanya seperti itu. "Nggak ada kontrak kerja sih."
Kulihat dahi Bayu berkerut samar. "Kok nggak ada kontrak kerja? Lalu gimana?"
Aku juga tidak berpikir sampai sana. "Tempatku kerja kan nggak seperti perusahaan besar kayak tempat kamu kerja, Mas. Mungkin hal seperti itu nggak perlu. Kalau kerja ya digaji, kalau enggak ya berarti nggak dapat gaji. Simpel aja gitu."
"Gitu ya."
Aku mengangguk ragu. "Sepertinya begitu. Dan kayaknya lebih enak begitu deh."
"Tapi dengan gaji yang besar serta kerjaan yang ringan rasanya aneh kalau nggak ada kontrak perjanjian kerja. Mungkin belum kali, Va."
Aku mengangkat bahu. "Besok akan aku tanyakan."
"Tanyakan yang pasti ya, Va. Kontrak kerja itu biasanya dibuat agar dua belah pihak sama-sama paham hak dan kewajibannya. Dan ada sangsi yang kuat jika melanggar," terang Bayu, mengubah posisi jadi miring ke samping menghadap perutku.
"Itu pasti merepotkan."
"Nggak juga sih yang penting mah, kerjaan kita benar dan jujur." Tangan Ari terulur dan merapatkan diri memelukku.
"Va ...."
Aku menggumam, menyahut. Kepalaku masih memikirkan tentang kontrak kerja. Apa Ari lupa memberikannya atau belum, mungkin aku perlu menanyakannya nanti. Tapi ....
"Geo nggak akan kita beri adik lagi?" tanya Bayu tiba-tiba, membuat pandanganku seketika menunduk. Bayu tampak tengah menciumi perutku yang tertutup kain daster.
Aku memutar bola mata. "Aku baru akan mulai kerja loh, Mas."
Kekehan singkatnya meluncur. "Kalau gitu kita tunda aja. Tapi, kalau bikin anaknya jangan ditunda ya, Va." Tangannya kali ini merambat ke atas tubuhku, dan dengan jail bermain di sana.
"Hm, kayak kamu pernah absen aja."
Bayu menghentikan gerakan tangannya yang memutar di atas dadaku. "Kemarin aku absen ya, Va," ujarnya tak terima, tapi justru membuatku terkekeh geli.
Bayu tersenyum. "Jadi, boleh kan malam ini aku minta jatah?"
Kali ini aku bukan terkekeh lagi, tapi tertawa. "Sejak kapan kamu izin kalau minta jatah?"