Tawaran

1209 Kata
Seorang sopir keluar dari mobil. “Ada keperluan apa?” tanya Helena. Lelaki memakai jas rapi itu menjawab, “Saya datang untuk menjemput---“ Malika bergerak menarik pintu mobil lalu masuk hendak menyudahi drama panjang malam ini. Namun, Helena mengetuk jendela dekat duduk Malika. Setengah hati perempuan penuh kecewa tersebut menurunkan kaca. “Apa lagi, Ma?!” “Surat cerai!” “Di kamar!” sentaknya kesal. Helena mendelik karena sikap Malika yang berbeda sekali. “Kamu akan menyesal keluar dari sini, Malika. Aku jamin itu!” “Paling jauh dia akan jadi pembantu, Ma,” sahut Carisa menarik ibunya agar tak terserempet mobil mewah itu. "Jalan, Pak!" titah Malika kembali menutup jendela. *** Gelapnya malam hampir tak berarti karena lampu sorot kendaraan lain yang terang di sekitar mobil pembawa Malika. Berbeda memang suasana kota dengan desa tempatnya tinggal dulu. Hilir-mudik wajah-wajah pemuda asing berdatangan dalam pikiran Malika. Mereka yang pernah bersikap menawan, mencoba menarik perhatian. Malika menghela napas kepada tetes hujan di luar jendela di dekatnya. Pikirnya para pemuda itu dulu datang hanya demi Malika, si kembang desa. Nyatanya, ada alasan yang lebih memotivasi daripada itu, sesuatu yang menggiurkan dan disukai para lelaki, taruhan. Desahan Malika keluar lagi. Malam gerimis kecil seperti ini juga yang dulu menghadirkan nuansa romansa saat ia jatuh cinta kepada Aris. Mereka saling berbicara banyak hal hingga Malika meminjamkan pakaian tua bekas kakeknya untuk Aris yang jadi bau amis setelah menabrak sekeranjang telur. Jalanan desa yang sepi ditambah rintik hujan menahan Aris menginap. Baik sekali Malika menyambut tamu di rumah dan di hatinya. Malika saat itu bahkan sama sekali tak ragu dengan rayuan buaya Aris. “Jika aku punya uang, tentu aku akan membawamu ke kota dan hidup bahagia bersamaku.” “Nona, kita sudah sampai,” sapa sopir menyadarkan Malika. Malika tak menjawab. Mobil berhenti tepat di jalan masuk rumah. Lebih dari tiga anak tangga besar menyambut mata Malika, samar suara pesta di sana terdengar pula. Sopir Malika yang heran akhirnya memutar tubuh kepada penumpangnya, tetapi lelaki ia tutup mulut dan menegakkan tubuh saat menemukan Malika diam memandangi bangunan megah di seberang mereka. “Kamu mengenaliku?” tanya Malika pelan, tak lepas memandang rumah. “Ya. Saya senang Nona bisa kembali lagi ke sini.” Lelaki tersebut berhasil membuat Malika terhibur. “Kamu benar. Aku harusnya lebih senang daripada siapa pun juga.” Sopir itu keluar lalu membukakan pintu untuk Malika. “Tuan pasti sudah menunggu Nona.” “Jangan beritahu ayah apa yang kamu saksikan tadi.” “Baik, Nona.” Malika lalu turun. Langkahnya dibawa naik undakan satu persatu kemudian ragu mencegahnya. Padahal ia di rumah sendiri, tapi suasana asing itu membuat rasa percaya dirinya berkurang. Ada alasan mengapa dirinya ragu begini. Rasa bersalah. Malika satu tahun yang lalu, gadis polos itu pikir cinta telah menemukan jalan hingga mengatakan bersedia hidup sederhana asal bersama Aris. Namun, kini yang terjadi lebih seperti yang dikhawatirkan Nenek Dania dan semua orang. Malika segera mengambil langkah ketika ada mobil lain yang menurunkan penumpang di belakangnya. Ia lewat pintu samping, menghindari aula utama pesta. Para pelayan rumah yang terkejut langsung menyapanya, tetapi Malika terus berkata agar mereka tidak membuat keributan. Hingga di ujung jalannya Malika bertemu seorang lelaki. “Ayah.” Lelaki yang sendirian memandangi aula pesta dari lantai dua itu terkejut kemudian langsung mendatanginya dan memeluknya. “Oh, putriku!” Pelukan erat itu membuat Malika sesak. Sesak secara harfiah juga istilah. Malika terpaksa harus menjilat ludahnya sendiri karena Aris Afifatur. “Mana Bibi Lili?” Tuan Arta melepas pelukan dan menampilkan wajah merengut. “Kamu sedang memelukku tapi bertanya tentang orang lain?” “Karena Ayah baik-baik saja, Bibi Lili belum tentu begitu.” Bibi Lili adalah nama ibu tiri Malika. Senyuman lega terukir ketika Arta mengusap wajah putrinya. “Aku tidak berharap putriku sekurus ini juga ....” Arta sungguh yakin terlalu banyak perubahan drastis putrinya dari terakhir mereka berjumpa. “Apa semuanya baik-baik saja?” “Ya.” Dusta Malika untuk ke sekian kalinya. Dalam hati seribu maaf terlontar, semata ia lakukan agar sang ayah tak perlu turut terluka. “Mengapa sulit sekali bagimu untuk datang ke acara begini?” desak Arta lagi. Malika menghindar dengan melambaikan tangan kepada seorang pelayan. “Ambilkan kue untukku.” “Tidak! Sediakan saja semua jenis hidangan di meja dapur,” titah Arta. “Baik, Tuan.” “Ayah ...!” Arta menggeleng keras, “Kamu harus makan. Patut aku untuk curiga?” Malika membuang wajah ke aula meriah di bawah sana. Para tamu sibuk dengan hidangan mereka, tapi tak ada Aris maupun Sita terlihat. “Jangan menghindariku. Aris belum tiba. Haruskah aku mencari tahu sendiri atau putriku mau menceritakan segalanya sendiri,” tutur Arta lagi. Malika berdecak lidah karena tuntutan sang ayah. Lelaki hampir setengah abad tersebut memang sangat merepotkan jika sudah mulai curiga. “Malika akan kembali ke desa. Akan Malika bawa pulang Nenek Dania ke rumah ini lagi.” “Lakukanlah, itu ide terbaik yang pernah singgah di kepalamu, Malika.” Malika sekedar menyunggingkan senyum. “Ayah todak boleh berubah sikap terhadap Aris. Jangan mencari tahu atau menaruh curiga sedikit pun.” Arta menghela napas. Ia sosok yang amat sangat disegani, tetapi jika di depan Malika, nyalinya selalu padam lebih dulu untuk membantah. Selain tidak ingin melukai putrinya, Arta juga menghargai rasa percaya yang Malika titipkan padanya. “Kalian tidak baik-baik saja.” “Ya.” Arta memulai langkah lebar, “Ayah temani kamu makan.” Malika tak membantah. Rasa ingin meleleh bulir bening di mata karena sajian satu meja penuh disediakan khusus untuk Malika. Di rumah mertua yang seperti neraka itu Malika benar-benar diperlakukan lebih hina daripada pembantu. Pelayan di rumah ayahnya saja hidup lebih baik daripada Malika di rumah mertuanya. “Nikmatilah.” Malika memang tak menahan diri. Berbagai macam isi piring dibawanya ke mulut hingga tak perlu nasi pun Malika sudah kenyang menyantap lauknya saja. “Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk membawa nenek pulang?” Malika menggidikkan bahu. Arta benar-benar mengganggu makannya bukan menemani. Lagi pula Malika tak tahu berapa lama proses cerai dengan Aris. “Yang pasti aku akan membawa nenek kembali.” Sesal Malika muncul lagi. Dulu Nenek Dania menentang pula pilihan Malika. Sekalipun terlihat miskin dan sederhana kehidupan mereka di desa, tapi Malika tak pernah kepayahan. Nenek Dania tidak ingin Malika juga sederhana dalam rumah tangga. Setidaknya Malika harus punya pembantu dan pantas sebagai nyonya rumah. Namun, Malika tetap ingin Aris. “Aku terkesan seperti menantu durhaka dan tamak.” Malika tersenyum mengejek ayahnya lagi. Benar begitu. Arta Danuarta adalah orang asing yang sangat beruntung. Dia menikahi putri Nenek Dania dan mewarisi kekayaan keluarga mendiang istrinya. Membuang ibu mertuanya berikut ahli waris asli Danuarta. Arta juga menikah lagi dan duduk santai sebagai orang nomor 1 di perusahaan. Seorang pelayan menghampiri kursi Arta. “Tuan, tamu Anda sudah datang.” Arta mengangguk kemudian pelayan berlalu. Sebagai Ayah Malika, hidup di kota dan cukup mengenal sifat asli para lelaki Arta ikut menentang keinginan Malika satu tahun yang lalu. Arta sendiri sudah punya calon yang ingin dikenalkan kepada Malika, tapi putrinya bahkan sesumbar bahwa cinta sejatinya dengan Aris akan mengalahkan segalanya. “Makanmu sudah selesai?” Malika mengangguk. Ini malam terkenyang sepanjang tahun baginya. “Kurasa aku perlu menemui tamuku. Ingin ikut?” Arta bangkit menawarkan lengan untuk putrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN