Main Cantik

1245 Kata
Malika hanya memangku dagu saat mengamati dari jauh sosok Aris yang membawa sungguhan Sita ke depan ayahnya, Arta Danuarta. Sengaja Malika menolak tawaran sang ayah yang ingin mengenalkan dirinya malam ini juga kepada semua orang, pilihan perempuan bermanik indah itu menghindar dulu. Malika ingin bermain cantik setelah satu tahun mereka menipunya sepuas hati. Kedatangan Malika ke pesta malam ini hanya untuk diam-diam melihat perselingkuhan Aris, mengobarkan api dalam dadanya sendiri. Sesungguhnya Malika hanya gadis polos yang diperlakukan t***l. Aris sudah menghempasnya bagai kain bekas sebagai Malika polos, maka lelaki itu akan melihat sisi lain yang Malika punya. Cinta yang Malika punya menguap begitu saja. Bagaimana kini tawa bahagia dan manja Sita bergelayut pada lelaki tampan itu amat sangat menjijikkan bagi Malika. Benar, menjijikkan, bukan cemburu atau rasa remeh seperti tersakiti. Detik ini, Malika tidak punya lagi secercah rasa untuk kembali dengan pengampunan. Tanggal main telah ditentukan, yang Malika butuh hanya sedikit saja persiapan. Drama Sita dan Aris tampaknya hampir selesai di depan Arta. Ada orang lain yang menghampiri mereka, seorang lelaki berpakaian formal menyapa. Malika secara jelas menangkap bagaimana tatapan Sita kepada pendatang baru mereka. Senyum miring Malika berbuah gelak singkat dan pelan karena yakin. Berani taruhan ia, jika Sita bukan tipe perempuan setia. Perempuan tak punya malu itu menampilkan ketertarikan alami kepada tamu Arta yang baru tiba. “Lebih mudah dari yang kukira,” gumam Malika remeh. Malika merasa sakit hati kepada pasangan serasi Aris dan Sita. Bukan sakit kecemburuan seperti selama ini, melainkan luka oleh ingatan yang mereka torehkan. Tidak sedikit pun ada rasa menyesal telah angkat kaki dari rumah Helena. Lagi pula bukan dirinya yang dirugikan. Malika yakin, segera rumah itu akan penuh masalah meski tak diapa-apakan juga. Helena, Carisa, dan Aris. Mereka tiga beranak yang semuanya pemalas, bermulut tajam, dan juga licik. Sesama mereka saja pasti akan ada saling cari kesalahan. Malika cukup memercik sedikit api, lalu membiarkan mereka berkobar, dan terbakar habis sendiri. “Malika!” Malika berdecak lidah sebagai respons untuk panggilan itu. Tanpa melihat pun Malika kenal nada riang suaranya. “Ya ampun! Ayahmu benar-benar serius. Kamu di sini, syukurlah!” Perempuan bening dengan tampilan mewah serta anggun mendekatinya berikut luapan bahagia. Malika menjauh dari ibu tirinya itu. “Jangan peluk aku. Aku tidak mau.” Lili menurunkan lengannya, ”Ayolah! Aku rindu padamu, Malika.” Malika dengan segenap sadar berjalan menjauh, masuk lebih dalam ke bagian rumah. Di belakangnya langkah besar Lili buat untuk mengejar. “Katakan, bagaimana kehidupanmu?” Malika tidak mau buka cerita. “Jangan bertanya. Jangan cari tahu. Tutup mata dan mulut Bibi dari urusanku, pernikahanku, dan apa pun. Aku tidak suka kalian ikut campur.” Malika sampai ke sebuah pintu, kamar lamanya. “Malika, kami tidak hanya khawatir tentangmu, kami juga sangat menyayangimu. Kami ---“ Malika meninggikan satu alisnya secara singkat. “Malam ini aku menginap di sini.” “S---suamimu juga?” tanya gugup Lili muncul begitu jelas. “Tidak,” jawab Malika dingin. “Besok aku akan kembali ke desa. Jangan beritahu nenek lebih dulu.” “Baiklah,” katanya pasrah lalu menjauh dari Malika. “Istirahatlah, Sayang.” Malika tak membalas selain dengan menutup pintu. Lantas ia masuk kamar dan berniat berganti pakaian. Bayangan di cermin mengusik Malika. Benar-benar dirinya sebatang kara, pulang dengan sehelai baju di badan dari rumah mertua. Bahkan, ponsel pun tak Malika bawa setelah diobrak-abrik Helena dan Carisa tasnya. Malika menggeleng keras. Kepada pantulan wajahnya di cermin Malika berjanji bahwa hidup mereka yang menyabotasenya tak akan tenang. *** Pagi menyambut hangat Malika. Dengan piama putihnya yang berlengan pendek dan celana panjang Malika turun ke meja makan. Karena belum ada hidangan inisiatifnya muncul segera. Semua pelayan terkejut dengan munculnya Malika di area dapur. “Nona ingin dibuatkan sesuatu?” tanya kepala koki ramah. “Ya. Buat untukku burger.” Para pelayan lain tampak saling menatap satu sama lainnya dalam diam. Nona mereka benci burger, tetapi malah meminta sajian itu sebagai santapan pagi. “Ada apa?” tanya Malika atas reaksi gelisah mereka. “Nona mau menunggu sedikit lebih lama? Karena rotinya tidak ada, harus beli keluar dulu,” sahut kepala koki lebih tenang daripada yang lain. Malika bersedekap tangan di depan, “Berapa lama?” “Paling lama tiga puluh menit burger sudah siap di depan Anda.” Malika memikirkannya. “Bergegaslah. Dua puluh menit sudah harus tiba di depanku.” Lelaki berbadan bulat itu langsung mengamit pelayan di sisinya. Seolah membagi tugas segera. “Baik, Nona.” Malika sesaat melihat dapur, “Tak lama lagi aku akan mulai tinggal di sini. Sambut aku dengan sepuluh burger, pastikan setiap burger dengan isian berbeda.” “B-Baik, Nona!” Malika melenggang pergi. Tak lagi dihiraukannya apa yang terjadi di dapur. Mereka yang ditinggalkan Malika lantas menghela napas yang semula tercekat hebat. Semua tahu bahwa Malika adalah pemegang utama segala warisan Danuarta. Arta, ayah Malika sekedar tuan penjaga. “Ada apa dengan beliau?” Bisik satu pelayan di belakang. Kakinya lemas mendadak saat satu persatu kalimat tajam Malika meluncur kepada mereka tadi. “Bukankah beliau Nona Malika?” Pelayan lain menepuknya. “Sesuatu pasti terjadi. Beliau angkat kaki sendiri dengan senyuman, kini kembali sendiri dengan murka menyala.” Kepala koki yang pernah di masa kecil Malika sering direpotkan dengan permintaan tak terduga hanya diam mendengar celoteh di belakangnya. Peri manisnya sedang tidak baik-baik saja. Dia menghela napas, lalu menepuk tangan keras. “Kalian punya dua puluh menit!” Setelah aba-aba itu semuanya langsung sibuk dengan tugas masing-masing. *** Malika menyusuri jalanan panjang dan sepi menuju desa. Kiri dan kanan berganti pemandangan. Kadang sawah, kadang hutan. Kadang kebun , kadang ladang. Naik turun mobil membawanya dalam perjalanan seolah kurva kehidupan Malika yang bergulir tak terduga. Kembali ke desa artinya Malika terpaksa menjilat ludah sendiri. Sesumbarnya dulu ia tak butuh apa pun aset Danuarta, keluarga, apa pun itu selain cinta sejati dengan Aris Afifatur. Malika pernah dibutakan cinta sedemikian rupa, hingga menerima saja diperlakukan layaknya pembantu, turut titah mereka. Kini Malika melenggang lebih tenang. Suasana desa tak banyak berubah, bahkan udaranya membawa rileks pada pikiran kacau Malika. Malika akan di sini, menata hati sambil menunggu sidang perceraian. Seseorang dengan tongkat muncul di ambang pintu saat mobil yang ditumpangi Malika berhenti di depan jalan masuk. Di sisi beliau, sosok lain menjulang lebih tinggi beberapa puluh senti. Nenek Dania. Perempuan yang tulus, tapi Malika goreskan kecewa untuknya. Kini Malika tahu bagaimana kejinya rasa itu. Malika berjalan anggun menuju neneknya. “Tebak siapa aku?” sapa Malika dengan nada dibuat seriang mungkin. Nenek Dania mengentak tongkat lalu berbalik masuk. Tanpa kata. Penolaknya sudah sangat jelas, tapi Malika datang dengan damai bukan perang seperti sebelumnya. “Nenekku sudah mati. Begitu, Jane?” tanya Malika polos kepada pelayan rumah ini. Perempuan berusia tiga puluhan itu menampilkan wajah tak nyaman sekaligus tegang. “Aku akan kembali saja kalau begitu.” Malika berbalik, demi menyembunyikan air mata yang hampir mengalir di pelupuk mata. Sakitnya lebih dari dihina Helena. “Malika,” panggil suara tua yang familier di telinga. “Kuharap aku salah. Sepertinya aku yang benar.” “Yah, aku salah. Nenekku masih hidup, Jane.” Malika kemudian melangkah tegas menuju sosok renta yang sungguh dirindukannya. Direngkuhnya sosok itu sepenuh jiwa raga, erat tapi tak menyakitinya. “Nenek ingin aku meminta maaf? Aku akan minta ampun kepadamu.” Malika merasakan tepukan halus yang menggetarkan hingga hatinya. “Tak apa. Kamu tetap Malika.” Yah, Malika tetap Malika. Malika pastikan ia akan membawa kembali Nenek Dania ke kota dan membalaskan apa-apa yang diterimanya dari Aris serta keluarga mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN