“Taruhan? Apa maksudmu?” tanya Malika kepada sosok yang amat dipercayanya itu.
Aris tak lekas menjawab. Lelaki berusia 30 tahun itu hanya sekilas tersenyum. Hidupnya sempurna dengan jabatan sebagai Kepala Keuangan Perusahaan Danuarta. Secara fisik pun Aris tampan, putih, dan rapi. Pantas jika Malika jatuh cinta padanya pada pandang pertama. Selain itu sosok Aris yang Malika kenal juga humoris dan kata-kata seperti mantra sihir yang dimilikinya. Masih sama sampai detik ini, tetapi kali ini bukan masalah rayuan melainkan konfrontasi sengit. Carisa, Helena serta Sita tetap duduk di kursi tamu sedang puas hati menikmati.
Sita perlahan mendekat, tangannya berakhir melingkar ke lengan Aris. “Taruhan?” tanya Sita sama ingin tahunya dengan Malika. “Kupikir kamu sekedar bercanda saat bilang begitu untuk membujukku kembali kepadamu.”
Aris tersenyum, “Aku---“
“Dengan siapa?” tanya Malika mulai memeras hatinya. “Dengan siapa kamu memasang taruhan terhadapku?”
Seringai tipis Aris muncul, “Kamu tak mungkin lupa penolakan Nenek Dania kepada seorang rentenir yang ingin meminangmu waktu itu, kan? Dia sampai memasang taruhan bagi siapa saja yang bisa menghancurkanmu.”
Malika tersentak lagi. Ingatannya sekilas kembali ke masa lalu. Setelah seorang rentenir berniat meminang Malika ditolak Nenek Dania. Para pemuda berdatangan mengunjungi desa mereka dari desa lainnya hanya demi menemui Malika yang jelita. Namun, tidak ada yang menarik minat Malika hingga suatu hari, ketika dia sedang kerepotan di kandang ayamnya, Malika melihat kuda lepas kendali, sehingga penunggangnya kewalahan. Rekayasa Aris ternyata sudah berjalan jauh sebelum Malika sadari. Dirinya sekedar pion permainan mereka.
Dengan senyum manis di atas derita Malika, Sita memaparkan cincin putih di jari manis tangan kirinya, “Aris melamarku. Sebenarnya dia sudah lama ingin menikahiku, bahkan sebelum bertemu denganmu. Kalau saja aku menerimanya saat itu ... mungkin kamu tidak akan jadi bahan taruhan. Maafkan aku.”
Merinding Malika oleh semua karakter keji yang mereka mainkan. Tawa mereka merebak mengerikan, saling bersahutan. Senyum licik Helena dan Carisa sangat bebas melengkung sebagai tanda bahwa mereka tahu sejak awal kenyataan itu.
“Lihat dia, mirip sekali dengan tikus di dalam got,” kata Carisa di antara tawa terpingkalnya.
“Setidaknya putraku menang dan berhasil melunasi hutang,” tambah Helena.
“Kamu pasti berpikir dirimu sangat istimewa, Malika. Tahunya sekedar bahan taruhan,” kekeh Carisa.
Kaki Malika kebas di tempat. Guncangan yang mereka buat sangat menghantam hebat pada psikis Malika. Putar otak Malika mencari sisi baik orang-orang yang satu tahun terakhir hidup bersamanya. “Tapi ... satu tahun, Ris. Kita menikah dan melakukan segalanya selama satu tahun. Mana mungkin kamu ....”
“Tidak. Aku tidak pernah sekalipun mencintaimu, Malika!” tegas Aris kesal. Lelah mengusir Malika dengan cara halus.
Malika mundur, terantuk langkah, ia terjengkang oleh gaun indahnya. “Lalu untuk apa aku dipertahankan?” tanya Malika polos.
Helena mendekati putra dan calon menantunya yang baru, “Kamu bekerja sangat baik sebagai pem-ban-tu di sini, Malika.”
Dari posisi Malika yang duduk di lantai tanpa alas saja sudah menumbuhkan persepsi bahwa Malika sosok yang minor kuasa di depan mereka. Bangkit sendiri, tak perlu merapikan gaunnya karena Malika yakin tak akan ada pesta untuknya.
Aris melempar surat cerai itu ke wajah kesal Malika. “Aku menceraikan kamu, Malika.”
“Kamu harus bangun dari mimpimu,” tambah mertuanya sinis. “Bagaimana bisa Aris akan jatuh cinta pada perempuan dekil sepertimu.”
“Melihatnya saja aku jijik,” timpal Aris kejam lalu membawa Sita menjauh. “Ayo, Sita. Biar kukenalkan kamu sebagai calon istriku kepada Pak Arta.”
Mata Sita berbinar riang. Pak Arta adalah nama pemilik perusahaan Danuarta tempat mereka bekerja. “Pamit dulu, Ma,” kata Sita manis melenggang pergi.
“Nikmati malam kalian, Sayang!” Helena balas menggoyangkan daun tangannya melepas mereka.
Malika masih belum sembuh dari syok terapinya awal malam ini. Tubuhnya bahkan menggigil karena kekejaman verbal yang mereka perbuat. Satu tahun Malika yang terbuang percuma.
Pintu di tutup. Malika seperti mayat hidup yang berjalan kembali ke kamarnya dengan selembar surat cerai. Bisik hina Carisa dan Helena tak dipedulikannya lagi. Entah bagaimana bisa ada manusia tak punya hati nurani sama sekali seperti mereka.
Malika melihat pantulan dirinya di cermin. Tak ada air mata jatuh di sana meski hatinya retak seribu. Helaan lega penuh syukur Malika acungkan. Betapa makin terpuruk ia jika menangisi lelaki kejam penuh topeng kebusukan itu. Malika beralih mata kepada surat cerai di tangannya. Mengulang lebih banyak apa yang satu tahun terakhir dialaminya sehingga buta sekali dari kenyataan yang ada.
Ponselnya mendadak berbunyi. Selama ini sebatas panggilan lewat telepon seluler saja yang diperbolehkan mertuanya bagi Malika. Semenjak menikah, belum sekalipun Malika kembali ke desa maupun menemui orang tuanya, bahkan Malika terpaksa mengganti ponsel dan nomor dari teman-temannya yang dulu, demi Aris. Malika lantas menyambar benda itu yang kemungkinan besar peluang baginya untuk pulang. Pupilnya melebar senang saat nama Ayah muncul di layar hijau.
“Ah, Sayang. Kamu akan datang malam ini, kan? Ayah secara pribadi sudah meminta Aris untuk membawamu ke pesta. Perlu Ayah kirimkan gaun dan perlengkapan lain untukmu?”
Nada hangat penuh semangat itu menusuk Malika. Jika saja ia masih dalam matra cinta Aris, Malika akan beralasan kepada sang ayah. Mungkin mengatakan gaunnya sudah banyak dibelikan suaminya dan menyebut merek ternama. Namun, semua itu sudah tak ada gunanya lagi. “Ayah ... bisa kirim seseorang untuk menjemputku? Sepertinya ada yang rusak dengan mobil kami.”
“Rusak?”
“Apa pun itu, Ayah. Kalau Ayah ingin melihatku, itulah caranya.”
“B—baiklah.” Sesaat hening Malika tutup rapat bibirnya. Terdengar dari ponsel suara perintah dilancarkan. “Malika---“
“Aku akan datang, Yah. Pastikan mobil itu sampai, Malika juga akan sampai di rumah,” katanya tegas.
“Hati-hati di jalan, Sayang.”
Malika melepas ponsel. Tak pikir dua kali untuk membubuhkan tandatangannya di surat cerai yang Aris sediakan. Baru sekali ini Malika ungkapkan syukur atas semua usahanya untuk hamil, tak ada beban untuk angkat kaki dari lumpur kehinaan ini. Gesit gerakannya mengosongkan lemari sebelum mobil datang menghampiri. Tak banyak barang Malika, hampir tak ada apa pun yang Aris berikan untuknya selama pernikahan. Meski hampir tiga bulan sekali naik jabatan dan gaji, Aris mengalokasikan ke adik dan ibunya daripada Malika.
Malika keluar kamar dengan gaun pesta lusuhnya itu serta satu tas pakaian. Carisa yang sedari tadi menonton tayangan televisi langsung memanggil induknya. “Ma! Mama!”
“Apa sih, Carisa! Ini bukan di hutan. Kenapa kamu teriak-teriak?!” sentak ibunya mendekat dengan sepiring buah kupas.
Awal pernikahan dulu kulkas rumah ini kosong dari isi, bisa dibilang Malika adalah keberuntungan mereka, tapi beginilah Malika diperlakukan.
Carisa menunjuk dengan dagu kepada Malika yang menunggu di pintu. “Ada yang merajuk.”
Helena dan Carisa serempak tertawa. “Kamu mau ke mana, Malika? Mau jadi gembel?”
“Dengan pakaian begitu pula. Bisa-bisa dianggap perempuan malam,” timpal Carisa.
“Niatnya memang begitu, Carisa. Dia pasti mau jual diri."
Malika tak menggubris cemooh mereka. "Malika pamit, Ma. Salam buat Aris dan selingkuhannya!" ujarnya dingin sambil terus berlalu.
Helena dan Carisa saling pandang. Mereka seolah yakin jika kali ini niat Malika tak main-main. Lantas Helena berlari mendekati menantunya itu lalu merebut tasnya.
“Apa yang Mama lakukan?!” tanya Malika terkejut.
Helena langsung membongkar tas itu. “Kamu mau pergi? Silakan! Asal jangan curi apa pun dari rumahku! Bantu Mama, Carisa. Kita harus mengeceknya satu-satu.”
Carisa turut serta.
Malika bersedekap tangan di d**a. Melihat dua manusia yang sering menganiayanya berlutut di lantai terasa sangat memuakkan, di sisi lain juga, Malika disisipi rasa tinggi hati. Bisa saja ia angkat kaki lalu menginjak punggung Helena detik ini. Namun, Malika tak mau membuat lebih banyak masalah. Belum saatnya turun tangan.
“Di mana kamu sembunyikan?!” tanya Helena setelah tak menemukan apa pun.
“Aku tidak menyembunyikan apa-apa, Ma.”
Helena menghempas pakaian itu lalu terdengar suara gemerincing kecil. Matanya langsung mendelik, “Pembohong licik!”
Malika tak suka perdebatan ini. Ia mendesah kasar. Mungkin saja itu resliting yang terbentur lantai. Gerakan Helena dan Carisa membongkar pakaian Malika terhenti saat sebuah mobil mewah bermerek impor dan mengkilap terawat menepi. Malika menyunggingkan senyuman, "Ambil saja semuanya."