Malika nyaman sekali hidup di desa. Beberapa minggu berlalu, lega hatinya bermekaran seperti bunga baru merekah di pagi hari. Malika tak lupa akan perbuatan kejam Aris dan yang lain, tetapi entah mengapa, langkahnya serasa ingin memilih berdamai saja. Malika sadar satu hal, kebencian tak pernah membawa anak-anak yang baik selain kehancuran. Berat badan Malika bertambah selama di sini, cahaya wajahnya pun berseri menandakan kebahagiaan alami dari dalam diri perempuan itu. Sayangnya, Malika seolah ditarik kembali pada saat luka itu, ketika secara tiba-tiba dokumen berisi akta cerai dari pengadilan diantar tukang pos ke desanya.
Redup semua aura baik Malika yang dipupuk Nenek Dania dan Jane beberapa pekan di sini. Lebur semua pemaafan yang pernah singgah di kepala Malika untuk Aris dan keluarganya. Surat itu membuat jemari lentik Malika bergetar menahan tangis. Kakinya serasa kebas untuk sekedar berdiri. Perlahan, terseret beban berat jiwanya Malika duduk di kursi serambi sebelum tubuhnya oleng oleh sapuan berbagai rasa yang bergejolak di d**a. Malika sedih atas waktu satu tahun dan cinta suci tulusnya yang dimanfaatkan. Malika berduka, tak rela saja atas apa yang terbuang sia-sia dari pengorbanannya. Malika juga marah kepada segala hal yang menggelapkan matanya dari kebenaran yang disembunyikan Aris dari pandangan.
“Malika?”
Malika mendengar seruan itu. Membawa langkah dengan tegar Malika masuk kembali rumah. “Iya, Nek?”
“Ayo coba singkong rebus ini. Enak sekali.”
Malika menatap makanan yang masih mengepulkan uap panas itu. “Nenek, mau ikut Malika tinggal bersama ayah lagi?”
Ekspresi awal Nenek Dania yang hangat berubah muram sekejap. “Malika ....”
“Malika tetap Malika, bukan?” Malika tersenyum lembut. “Ayolah! Malika satu-satunya ahli waris yang dimiliki Nenek untuk hal ini.”
“Padahal ada Arta dan Lili ....” Nenek Dania lalu menghela napas. “Mungkin memang kamu tidak boleh menghindar terus dari tugas ini.”
“Yah. Malika harus jadi Malika, bukan?” timpal perempuan yang lebih muda senang.
Nenek Dania tersenyum lebar oleh gurau canda cucu semata wayangnya.
“Jadi, Nenek setuju kita kembali, bukan?” ulangnya memastikan.
“Jika aku tetap di sini, bagaimana?”
“Malika harus tetap kembali ke kota, Nek.”
Nenek Dania bangkit dari duduk, “Baiklah, aku perlu melihat sepak terjangmu bagaimana.”
Malika mengepalkan tangan lalu menubruk dadanya pelan. “Jangan samakan dengan putrimu. Aku lebih kuat daripada dia.”
Mata neneknya mendadak beralih kepada jemari Malika yang lain. “Apa itu?”
Malika awalnya menyembunyikan di belakang punggung, tapi tatap memaksa neneknya meluluhkan Malika hingga mau memperlihatkan akta itu.
Mata Nenek Dania membola, beliau sampai oleng dari tegaknya. “Jangan bilang ini salah satu alasanmu?!”
“Aku memang akan bilang begitu.” Tak mengelak, malah Malika membuka jalan supaya neneknya bersedia ikut rencana.
“Malika ....!”
“Jika Ibuku pergi dengan sakitnya. Aku akan pergi dengan kebahagiaanku. Tak ada salah bagiku untuk mencoba.”
“Bagaimana jika jiwamu terkoyak juga?!”
Malika mengambil jemari neneknya, membujuk dengan rasa pedih yang sulit diungkapkan. “Tetap dekat denganku, awasi aku. Tidak ada yang bisa menandingi keras kepalaku selain Nenek. Jangan biarkan jiwaku terkoyak.”
Nenek Dania meneteskan air mata. Rentanya segera memeluk Malika. “Kita akan temukan kebahagiaan lain untukmu, Nak.”
Malika pun ikut menetaskan air mata. Sumpahnya, ini akan jadi air mata terakhirnya yang tumpah untuk Aris.
***
Panjang perjalanan. Banyak petuah yang disampaikan Nenek Dania kepada cucunya. Sampai akhirnya beliau yang sudah lanjut usia itu kelelahan dan tidur dalam perjalanan. Malika tak keberatan menjadi sandaran bagi Neneknya.
Sampai di sana, Nenek Dania masih dalam tidurnya hingga beberapa pelayan bantu membopong beliau ke kamar. Sedikit pun tak ada beliau membuka mata ketika orang-orang mengangkut tubuhnya. Sementara itu Malika menapak penuh percaya diri dan mendapat sambutan sepuluh burger. Senyumnya melebar, tepat seperti yang ia perintahkan.
“Pilihlah satu, Ken.”
Kepala koki yang dipanggil Malika langsung menunjuk satu. “Isinya tuna, Nona.”
“Siapa yang suka makan tuna?” tanya Malika kepada pelayan lainnya.
Tidak ada yang mengangkat tangan atau buka suara. Bagi mereka itu makanan mewah yang sisanya saja seperti berharga.
“Bukankah Anda suka tuna, Nona?” tanya Ken hati-hati.
Malika tergelak manis. Diambilnya makanan itu lalu membongkar bagian lain. Secubit bagian tuna ia masukkan ke mulutnya. “Makanlah, Ken.”
Sepeninggal Malika para pelayan di sana lagi-lagi menghela napas mereka serempak. Masing-masing memegang letak jantung yang seolah luruh.
Malika menaiki tangga menuju lantai dua, tetapi langkahnya terhenti sejenak saat berpapasan tatap dengan Lili. “Aku senang kamu membawanya pulang. Terima kasih, Malika.”
Malika mendapat senyum manis ibu tirinya, tapi untuk memberi balasan sulit bagi Malika. “Yah. Jangan lupa doakan ibuku. Maafkan lagi dia.”
Malika berlalu begitu saja. Sementara Lili tertahan di sana setelah ucapan putri sambungnya. Rasa bersalah dibawa mati. Rasa bersalah Lili tak bisa menutupi betapa Malika tak suka akan dirinya. Lili menunduk, menguatkan diri sendiri. Semua yang menimpa ibu kandung Malika sama sekali bukan salahnya. Namun, bagaimana lagi ia harus bersikap jika Malika tetap enggan menerima.
Malika melepaskan diri di dipan. Lelah punggungnya setelah perjalanan.
“Nona!”
Malika bersyukur suara itu milik Jane. Karena jika bukan, pasti murkanya menimpa pelayan malang itu. “Ada apa, Jane?”
“Boleh saya masuk?”
“Ya.”
“Nona, Anda memesan layanan pijat, bukan?”
“Hm, yah.”
“Pesanan Anda sudah tiba.”
“Lebih cepat dari dugaanku,” gumam Malika sendiri.
“Sepertinya kita yang datang lebih lambat dari seharusnya, Nona,” sahut Jane santun.
Malika membenarkan dalam diam. “Persilakan mereka masuk.”
Selama tiga jam dari sejak itu Malika rileks sementara para pemijat melakukan tugas mereka. Tubuh Malika jadi segar sekali. Malika tidur pulas setelahnya. Baru bangun lagi setelah hari berlalu.
***
Pagi Malika bangun. Dengan dokumen perceraian di tangan Malika memasuki meja makan.
“Apa yang kamu bawa, Malika?” sapa Lili ramah, seperti biasa.
Malika tak merespons. Perempuan itu duduk lalu memanggil pelayan dengan matanya. Pelayan itu yang melakukan kontak mata dengan Malika gugup sembari mendekatinya. “Bacakan!”
Baru dua paragraf suara pelayan kecil terdengar, Arta Danuarta mendadak menggebrak meja. Pelayan itu membiru karena takut akan murka tuannya. “Aris menceraikanmu?!”
Respons Malika tenang. “Itu kabar baik, Ayah.”
Naik turun cuping hidung Arta, mirip banteng ketika menggerak kaki belakangnya, seolah siap menyeruduk. “Apa yang sebenarnya terjadi?! Sudah waktunya memberitahu kami semua Malika.”
“Ya. Itu tadi semuanya.”
Arta melembut setelah Lili mengusap punggungnya perlahan. “Sayang, katakan lebih jelas,” pintanya baik-baik.
Malika dengan santai memasukkan tuna ke dalam mulut, “Aku diperlakukan seperti pembantu oleh mereka.”
Sebuah piring tiba-tiba melayang, lalu pecah. “Pecat Aris Afifatur!” geram Arta menggema.
“Tenanglah, Ayah. Sungguh, ada yang lebih murka daripada dirimu di sini.” Malika menyentak leher ke arah Nenek Dania yang memutih jemarinya menekan sendok. “Jangan pancing amarahnya.”
Arta diam. Yang lain juga bungkam. Malika sendiri tahu bahwa kekuatan Arta mengendalikan dengan otoriter emosi, tapi Malika akan menggunakan cara lain.
“Apa rencanamu, Malika?” tanya Nenek Dania setajam es.