Pelayan yang masih terpaku langkah di sisi Malika berpeluh dingin di pelipisnya. Tugasnya mudah hanya diminta membacakan dokumen akta cerai, tapi efek setelahnya mengerikan. Sekadar mereguk saliva sendiri saja seperti taruhan nyawa saat ini. Belum pernah ketegangan semacam ini ia alami selama bekerja di rumah Danuarta, kecuali satu tahun lalu saat sesumbar Nona Malika menggemparkan rumah dan seisinya. Seulas senyum miring tersungging di sudut bibir Malika. Tak akan ada yang menduga jika bingkai wajah cantik nan ayu itu bisa disulap sedemikian menakutkan terlihat. Seringainya melebihi para kaki tangan manusia tak punya hati. “Kalian cukup duduk, tenang, ikut alur permainan saja. Karena sekarang aku di pihak kalian, kuharap kalian siap sedia untuk bertepuk tangan. Itu saja.” Senyap ruang