"Tentu saja kalau itu dikecualikan, tapi apa yang aku lakukan sehingga membuatmu menangis? Bukankah sejak tadi kamu selalu mendebatku, kamu satu-satunya orang yang berani melakukan itu padaku. Lalu apa alasannya sampai kamu menangis karenaku?" tanya Maxime tanpa merasa bersalah.
"Pikirkan sendiri, percuma bicara pada orang yang tidak merasa bersalah. Karena kamu merasa semua yang kamu lakukan benar," jawab Callista sengaja menutupi alasan sebenarnya dia menangis.
"Sudahlah, aku lelah berdebat denganmu terus. Aku harus pergi karena ada urusan mendesak, mungkin aku akan pulang malam. Jadi kamu tidak usah menungguku, ingat jangan kemana-mana tanpa seijinku. Pelayan akan datang mengantar makanan untukmu nanti," ucap Maxime sambil berjalan menuju walk in closet.
"Siapa juga yang mau menunggumu, tidak pulang lama pun tidak masalah malah bagus. Aku belum sarapan, apa tidak boleh turun mencari makanan sendiri di dapur?"
"Tidak, kamu hanya boleh keluar kamar jika ada aku. Kamu pasti tidak suka jika turun sendirian, anak buahku akan melihatmu dan aku tidak suka itu."
"Apa? Sampai dilihat orangpun aku tidak boleh? Kenapa tidak sekalian masukan aku ke dalam kardus saja?"
"Itu juga bagus, aku akan suruh Lois mencari kardus besar untukmu." Maxime menyahuti sambil masuk ke dalam walk in closet dengan senyum di bibirnya.
"Dasar gila, dia pikir aku barang dimasukkan ke dalam kardus." Callista menggerutu pelan agar tidak terdengar Maxime jika dia mengatakannya gila.
Selesai berganti pakaian, Maxime keluar dari walk in closet. Dia kembali mengingatkan Callista untuk tidak keluar kamar, Callista menjawab dengan deheman singkat. Membuat Maxime kesal karena merasa diacuhkan.
"Kalau aku bicara itu jawab! Apa kamu mau aku menghukummu?"
"Aku sudah menjawab, meskipun hanya berdehem saja. Kamu terus mau menghukumku, apa kamu benar-benar ingin aku tidur di penjara bawah tanah. Kalau memang iya, masukan saja tidak perlu mengancam!" tukas Callista kesal.
"Kamu pikir aku akan menghukummu dengan itu? Bukan itu yang aku maksud, kamu akan melayaniku sampai kamu benar-benar tidak berdaya di atas tempat tidur itu. Apa kamu mau?"
Mendengar apa yang dikatakan Maxime, Callista refleks menutupi dadanya dengan kedua tangannya. Dia tidak mau melayani Maxime dalam keada sadar, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya jika tidak dalam pengaruh obat.
"Tidak, maaf kan aku. Aku janji akan mematuhimu, tapi jangan memintaku melayanimu. Apalagi jika aku dalam keadaan sadar," ucap Callista jujur.
"Kenapa? Apa kamu tidak suka? Apa aku tidak menarik, sehingga kamu tidak mau saat dalam keadaan sadar?" tanya Maxime merasa tersinggung.
Maxime berjalan mendekati Callista yang duduk di sisi tempat tidur, Callista sampai bergeser menjauh karena takut.
"Ti-tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana melakukan itu salah kepada sadar. Aku belum siap," jawab Callista gugup terlebih Maxime terus saja mendekat.
"Kalau begitu, kamu harus mencobanya. Kemarilah!"
Maxime hendak meraih tangan Callista, tapi gadis itu semakin menjauh membuat Maxime gemas. Rencananya untuk pergi seketika gagal, dia ingin melakukan apa yang tidak diinginkan Callista. Karena Callista terus menjauh, Maxime meraih makin yang terjangkau olehnya.
"Akhh! Jangan!" teriak Callista saat Maxime menariknya.
"Jangan menolakku, semakin kamu menolak semakin aku menginginkannya." Maxime hendak meremas bagian d**a Callista, tapi Callista berusaha melindunginya dengan tangan dan kepala yang terus menggeleng.
Karena terus di tolak, Maxime semakin geram. Dia mendorong tubuh Callista sampai terbaring dan mulai menciumi leher Callista. Semakin Maxime memaksa semakin kuat Callista memberontak, dia berusaha mendorong tubuh Maxime meskipun tidak ada efek apapun. Maxime malah semakin liar, membuat Callista panik dan mulai menggunakan kakinya.
"Aw!" pekik Maxime saat kaki Callista menendang pahanya.
"Berani sekali kamu menendangku, tunggulah aku akan melakukan sesuatu!" bentak Maxime sambil beranjak dan membuka laci meja.
Callista yang ketakutan, menyingkir sampai ke pojok tempat tidur dan tubuhnya menempel di dinding. Tangannya terus melindungi tubuhnya, tangisnya mulai pecah karena ketakutan. Apakah saat dilihatnya Maxime mengeluarkan tali dari dalam laci.
"Kemari sebelum aku memaksamu dengan kekerasan!" tegas Maxime dengan tatapan menghujam.
"Tidak, tolong jangan lakukan itu. Aku janji akan melakukannya dengan sukarela saat sudah siap," ucap Callista memohon.
"Tidak! Aku ingin sekarang!" bentak Maxime dan naik ke tempat tidur.
Maxime mendekati Callista dan menariknya dengan paksa, Maxime mulai mengikat kedua tangan Callista di tempat tidur. Callista baru sadar, jika tempat tidur itu di rancang untuk bisa mengikat sesuatu. Callista berteriak-teriak agar Maxime menghentikan aksinya, tapi Maxime sudah seperti orang kalap dan malah mengikat kedua kaki Callista membuat Callista terlentang dengan tangan dan kaki merentangkan di kiri kanannya.
"Ini hukuman yang akan kamu terima setiap menolakku, aku tidak suka ditolak. Aku pria sempurna dan tidak layak mendapatkan penolakan. Di luar saja para wanita mengantri untuk bisa tidur bersamaku, bisa-bisanya kamu menolakku!" tukas Maxime geram.
Callista hanya bisa menangis, Maxime mulai merobek gaun yang dikenakan Callista sejak semalam dengan gunting yang diambilnya dari laci. Kini tubuh Callista hanya menggunakan bra dan celana dalam, rupanya Maxime tidak berniat melepasnya dengan benar. Sehingga kedua kain penutup itu pun menjadi sasaran gunting yang dipegangnya. Callista benar-benar polos kali ini, Maxime mulai membuka kemeja yang baru saja dikenakannya tadi. Dua melemparnya asal, begitu juga dengan celananya.
Maxime kini hanya menggenakan celana dalamnya, dia mulai menimpa tubuh Callista dan menjelajahi setiap inci tubuh itu dengan lidah dan bibirnya. Callista mengeram, menahan desahan yang hendak keluar begitu saja. Maxime terusaja melakukan aksinya, sampai dibagian paling inti milik Callista. Kedua kaki Callista yang terentang membuat Maxime leluasa melakukan aksinya, menjilati bagian intim Callista agar gadis itu mengeluarkan desahannya.
Bagi seorang Maxime, desahan Callista bak penghargaan karena dia bisa membuat wanita yang menolaknya merasakan kenikmatan dan tidak mampu menepis gejolak nikmat sentuhannya.
"Auhh!" Callista tidak mampu lagi bertahan, rasa hangat lidah Maxime yang bermain dipusat intinya membuatnya mendesah juga.
Maxime tersenyum sekilas, lalu kembali melanjutkan aksinya dengan semakin liar. Tidak hanya menjilat, dia bahkan mengigit kecil dan menghisap milik Callista. Membuat gadis itu tidak bisa tahan lagi dengan sensasi kenikmatan yang disuguhkan Maxime. Tubuh Callista mengejang, dia bisa merasakan denyutan dari bagian intimnya. Maxime yang menyadari itu langsung menghisap lubang kecil yang ada di sana.
Callista menggeliat tidak merasakan apa yang dilakukan Maxime, sampai denyutan itu tuntas membuat tubuh Callista terasa lemas. Maxime masih bermain di pusat intinya, membuat Callista merasakan kegelian yang kuat biasa.
"Jangan lagi di sana, aku tidak kuat!" teriak Callista sambil berusaha mengatupkan kedua pahanya tapi sulit.
Maxime yang sadar jika Callista meras geli, langsung menghentikan aksinya. Kali ini dia merangkak di atas tubuh Callista, dia membuka celana dalamnya yang masih tersisa. Terlihat senjatanya yang mulai mengeras, Maxime memasukan miliknya ada milik Callista. Setelah di rasa masuk, Maxime menindih tubuh Callista. Menghisap leher Callista sambil terus mengayun pelan bagian bawahnya. Callista bisa merasakan milik Maxime yang keluar masuk miliknya. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol suaranya, desahnya keluar begitu saja terlebih Maxime terus bermain di lehernya.
"Teruskan bersuara, agar aku memaafkanmu. Aku suka mendengar desahanmu," bisik Maxime sambil terus mengayun pinggulnya.
Callista tidak menjawab, tapi seolah patuh suara desah itu semakin keras. Maxime mengangkat sedikit tubuhnya dan mengincar buah d**a Callista, p****g coklat muda itu menarik perhatiannya. Membuat Maxime meremas dan menghisapnya, bentuk bulat sempurna d**a Callista sangat Maxime sukai. Bukan karena operasi tapi benar-benar asli bulat berisi dan kenyal.
Setelah puas menikmati p****g Callista, barulah Maxime duduk berlutut di bagian bawah Callista. Dia melepaskan ikatan di kaki Callista, agar bisa mengangkat kedua kaki Callista ke bahunya. Maxime menusukkan miliknya dan mulai mengayun pelan pinggulnya kembali. Callista kembali mendesah, dia tidak menolak apalagi menendang Maxime seperti diawal tadi. Tangisnya sudah berubah menjadi desahan yang memenuhi ruangan, semakin lama gerakan Maxime semakin cepat membuat suara seperti tepuk tangan yang semakin lama semakin keras.
"Akhhh!" teriak Maxime dengan tubuh mengejang.
Rupanya Maxime mencapai puncaknya setelah beberapa saat mengayun pinggulnya membuat miliknya keluar masuk milik Callista. Setelah semua cairan kenikmatan itu keluar tanpa sisa, Maxime akhirnya terkulai lemas di atas tubuh Callista yang penuh peluh. Keringat keduanya membuat tubuh mereka seolah menempel, dengan napas memburu seperti habis berlari puluhan kilo meter. Hawa hangat dari tubuh keduanya semakin terasa, sampai akhirnya Maxime turun dari atas Callista dan berbaring di atas tempat tidur dengan kedua kaki merentang.
"Milikmu benar-benar luar biasa, aku sangat menyukainya." Maxime bicara sambil menatap langit-langit kamar, Callista melengos karena merasa malu dengan ucapan Maxime
Tidak ada lagi kemarahan, meski Callista tidak terlalu menyukai cara Maxime yang memaksanya. Tapi dia merasakan sensasi yang baru pertama dirasakannya, walaupun itu bukan permainan pertama mereka. Namun, itu adalah permainan pertama Callista yang bukan karena efek obat. Sehingga membuat Callista baru menyadari, betapa nikmat sebuah permainan ranjang penuh hasrat.