“Dua nasi, satu ayam bakar yang bagian pahanya, dan satu lagi lele goreng. Lalapannya sudah ya, Kak. Selamat menikmati.”
Anya baru saja mengantarkan makanan kepada pengunjung warung makan milik ibunya yang bernama Warung Nasi Sambal Ibu Agni. Warung nasi ini terkenal dengan sambalnya yang enak. Itu yang menjadi salah satu daya tarik, sehingga banyak orang rela datang, bahkan antre agar bisa makan di tempat ini. Dari sini Agni bisa menghidupi keluarganya. Selain Anya, warung makan ini yang menjadi penyemangat hidup yang ditinggalkan oleh sang suami.
Mendapat jatah libur sehari dalam seminggu, Anya memanfaatkan dengan sangat baik. Kalau pekerjaan rumah sudah selesai, biasanya ia akan datang ke warung untuk membantu ibunya. Meski sudah memiliki karyawan yang lebih dari cukup, tetap saja Anya senang membantu. Tetapi Anya kadang hanya mengambil jatah liburnya selama dua atau tiga hari. Jika sedang banyak pekerjaan, ia nyaris tidak ambil libur.
Setelah kedatangan pembeli sedikit renggang, Anya menikmati es kelapa muda yang sejak tadi belum habis diminum. Sambil bersandar pada dinding, ia memperhatikan ibunya yang duduk di balik meja kasir. Wajahnya serius merapikan beberapa nota. Anya pun tersenyum karena sepertinya hari ini, Agni mendapat banyak keuntungan.
Agni menyadari sedang ditatap oleh putrinya. Ia pun menoleh, menyipitkan kedua mata.
“Anya, sini.”
Anya datang dengan senang hati. “Ada apa, Ma? Mau kasih uang, ya?”
“Oh jadi dari tadi liatin Mama karena kamu pingin uang?”
“Nggak kok. Tapi kalau Mama kasih, boleh juga. Nambahin uang buat beli skincare.”
Agni berdecak. “Uang kamu sendiri nggak akan habis dipakai buat beli skincare.”
Mendengar sindiran ibunya, Anya hanya bisa menghela napas pelan. Tetapi, sejujurnya Anya tidak mengharapkan uang dari ibunya. Ia hanya ingin menggoda Agni agar suasana tidak terlalu serius. Apalagi sejak tadi ibunya terlihat sangat sibuk.
“Terus kenapa Mama panggil aku?”
“Nya, kamu bawakan beberapa lauk untuk Kin, ya. Semalam Mama kepikiran untuk kasih dia beberapa lauk, biar dijadikan stok makan siang atau mungkin makan malam.”
Kening Anya langsung mengkerut. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran. Lagi dan lagi sikap ibunya sangat perhatian kepada pria itu.
“Kok Mama bisa kepikiran kasih Mas Kin stok lauk. Memang ada apa lagi, Ma?”
Agni mengangkat bahunya santai. Sesekali melayani pembeli yang ingin membayar makanan. Membiarkan putrinya menunggu dengan penasaran.
“Kenapa Ma?”
“Ya kasih saja. Sudah Mama bilang, sesama tetangga harus baik. Kita nggak pernah tahu kapan datang kesulitan. Dan orang pertama yang diminta bantuan, pasti tetangga. Masa begitu saja kamu nggak paham. Perlu berapa kali Mama kasih tahu biar kamu nggak curiga lagi,” jelas Agni gemas.
Anya memutar bola matanya. Penjelasan ibunya belum membuatnya puas.
“Tanpa Mama jelasin, soal itu aku sudah tahu. Cuma aneh saja. Bagaimana kalau tetangga kita bukan Mas Kin? Atau misalnya dia perempuan. Atau dia orang yang sudah tua. Apa Mama akan bersikap sama?” tanya Anya.
“Iya dong, Anya. Intinya, kalau tetangganya baik, kita juga harus baik. Sesimpel itu, Sayang,” ucap Agni. Lalu wanita itu beranjak dari duduknya dan melangkah ke dapur. Mengambil beberapa kotak makanan, untuk diisi.
“Sebaiknya kamu berhenti bertanya kenapa sikap Mama peduli terhadap Kin. Kamu sendiri mudah akrab dengan dia. Dan itu artinya apa? Kin sosok baik dan menyenangkan jadi nggak akan rugi menjaga hubungan baik dengan dia,” sambungnya.
Penjelasan panjang lebar dari ibunya berhasil membuat Anya terdiam. Ia sendiri berpikir, mengapa kebaikan ibunya harus dipertanyakan. Padahal selama ini, Agni bersikap baik kepada siapa pun yang dikenal. Jadi, harusnya tidak akan aneh jika berbuat baik kepada tetangga mereka.
Saat ini Anya sudah ada di dalam mobilnya, yang masih parkir di sekitar warung makan ibunya. Mesin mobilnya sudah menyala, tapi belum beranjak dari tempat itu. Ia sedang berusaha menghubungi Kin, menanyakan keberadaan pria itu, karena akan memberikan makanan titipan ibunya.
“Kok telponku nggak diangkat sih sama Mas Kin. Apa dia lagi sibuk, ya?” gerutu Anya.
Pandangan matanya tertuju pada kantong besar di sebelahnya. Isinya adalah lauk-pauk yang awet jika disimpan di kulkas. Semua ini Agni yang menyiapkan dan Anya yang bertugas memberikan kepada Kin.
“Halo Mas Kin. Selamat sore.”
“Sore Zeevanya. Maaf kalau menunggu lama. Saya lagi benerin pipa di kamar mandi.”
Anya pun mengangguk pelan, seakan Kin sedang bersamanya. “Nggak apa-apa, Mas. Aku yang minta maaf karena ganggu Mas Kin yang lagi sibuk.”
“Santai saja. Oh iya, kenapa kamu nelpon saya? Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Jadi gini Mas, ada titipan dari mama untuk Mas Kin. Kira-kira Mas Kin pulang jam berapa?”
“Titipan apa, Anya?”
“Makanan Mas,” jawabnya. Anya menoleh, melihat titipan yang dimaksud. “Mama kasih Mas Kin beberapa makanan setengah jadi, bahkan ada juga yang sudah siap dimakan. Bisa disimpan di kulkas sebagai stok lauk, Mas,” jelasnya.
Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. Anya sampai terkejut dengan reaksi Kin.
“Mas Kin nggak suka, ya?”
“Bukan begitu. Saya malu sama Tante Agni karena selalu menerima kebaikan. Jujur, rasanya nggak enak.”
“Ya ampun, santai saja, Mas. Mama memang suka berbagi, kok. Jangan terlalu sungkan. Kan kita sudah seperti keluarga.”
“Kapan-kapan saya harus balas kebaikan keluarga kamu.”
Anya pun tersenyum mendengar niat baik Kin. “Iya Mas. Sekarang Mas Kin ada di mana?”
“Saya ada di rumah, kok.”
“Jadi pipa yang diperbaiki, pipa kamar mandi di rumah?” tanya Anya.
“Iya benar.”
Tahu keberadaan pria itu, Anya mengangguk senang. “Baiklah. Kalau begitu saya pulang sekarang.”
“Hati-hati, Anya.”
“Siap Mas Kin,” jawabnya semangat.
***
Anya sedang berdiri di depan rumah Kin. Ia menatap kedatangan pria itu, yang tengah berjalan ke arahnya, untuk membuka pintu pagar rumah. Wajah Anya kaku, matanya membola, dan mulutnya setengah terbuka. Bagaimana bisa saat bertamu, ia disuguhkan pemandangan seperti ini. Sungguh, Anya ingin mengumpat sekarang juga. Ingin memberitahu Kin, agar segera mengenakan baju. Ditambah rambutnya yang diikat tidak rapi, membuatnya sulit untuk menelan liurnya sendiri.
“Kamu sudah nunggu lama?”
“E – enggak kok, Mas.”
“Barusan ada telpon jadi saya harus jawab dulu.”
“Iya, nggak apa-apa, kok.”
Anya menjawab dengan perasaan yang gugup. Ia lantas berdeham, dengan pandangan mata mengarah ke tempat lain. Terang saja, ia tidak mau tertangkap basah melihat badan Kin yang memiliki otot sangat cantik. Ingin rasanya Anya menyentuh, agar rasa penasarannya terjawab.
“Ayo masuk,” ajak Kin.
“I – iya Mas,” ucap Anya.
Keduanya masuk bersama. Lalu Kin mengajak Anya duduk di sofa. Terdengar ada suara musik yang diputar oleh si pemilik rumah. Tidak terlalu keras, sehingga cukup membuat telinga nyaman.
“Silakan duduk. Kamu mau minum sesuatu?”
Anya menggeleng. “Enggak usah, Mas. Aku nggak lama kok di sini.”
Kin pun pengangguk tapi tidak ikut duduk dengan Anya.
“Mas, gerah ya?” tanya Anya ragu.
“Lumayan. Apalagi baru selesai urusan pipa kamar mandi,” jawabnya. “Kenapa?”
Anya berdeham pelan, lalu jari telunjuknya, tertuju pada diri Kin. Malu memang tapi ini lebih baik baginya.
“Itu …Mas Kin nggak pakai baju?”
Tidak butuh waktu lama, pria itu langsung paham dengan maksud Anya. “Oh? Maaf kalau buat kamu nggak nyaman. Saya nggak sengaja. Benar-benar lupa kalau belum pakai baju karena tadi saya keringetan.”
“Iya Mas. Bahaya kalau Mas Kin pamerin otot di depan anak gadis.”
“Kamu bisa saja.”
Kepolosan Anya memancing tawa pria itu. Kin mengenakan kaos yang sebenarnya tersampir pada pundaknya. Ingin dipakai saat Anya sudah datang. Sayang, mendadak jadi pelupa karena fokus menerima telepon.
Hati Anya merasa tenang saat mendapati Kin sudah mengenakan baju. Menutup tubuhnya yang atletis dan dadanya yang bidang menggoda keteguhan hati.
“Saya ke dapur dulu, ya. Mau ambil minum.”
“Sekalian deh, Mas. Biar aku bantu simpan makanannya di kulkas.”
“Oh iya, saya lupa lagi dengan tujuan kamu datang ke sini.”
Kin sampai menepuk kening karena mendadak menjadi pelupa.
“Nggak apa-apa, Mas.” Anya beranjak dari duduknya. “Namanya juga orang tua, jadi wajar saja sudah mulai pikun,” sindir Anya.
“Zeevanya! Kamu bilang saya tua?”
Anya berjalan cepat menuju dapur sambil tertawa senang. Melihat Kin yang juga berjalan ke dapur sama sekali tidak membuatnya takut.
“Mas Kin sudah kepala tiga, jadi wajar kalau aku anggap tua,” ucapnya lagi.
“Saya tidak menyangka kalau kamu berpikir begitu."
Disimpannya beberapa makanan di kulkas bagian atas. Sisanya lagi diletakkan di bagian bawah. Saat saat semuanya beres, Anya menutup kembali pintunya. Namun ia dibuat terkejut karena Kin berada di sebelahnya.
“Umur saya memang sudah kepala tiga. Tapi, apa wajah saya terlihat sudah tua?” tanya Kin dengan tatapan intens ke arah Anya.
Anya terdiam dengan wajah terkejut. Kin berdiri begitu dekat di depannya. Meski harus mendongak, ia bahkan bisa melihat bagaimana kulit wajah pria itu begitu terawat dan sangat bersih. Sungguh tampan dan sangat memanjakan matanya. Beberapa rambut terlihat terurai. Rasanya ingin Anya rapikan dengan tangannya sendiri. Dan posisi ini membuat jantungnya berdebar. Layaknya berdekatan dengan pria yang disukai.
“Tampan sekali,” gumam Anya tanpa sadar.
Satu alis Kin terangkat, menatap Anya dengan heran.
“Apa? Barusan kamu bilang saya tampan?”