“Permisi, Bli Kin.”
Kin menoleh ke arah pintu dan melihat salah satu karyawannya datang dengan membawa secangkir kopi. Aromanya sangat khas, membuatnya tergoda. Lantas ia beranjak dari duduknya, menerima kopi buatan karyawannya.
“Terima kasih, Putu.”
“Sama-sama.” Wanita yang baru saja dipanggil dengan nama Putu, menatap heran ke ruangan Kin. Matanya berkedip beberapa kali, sambil memasang telinganya baik-baik. “Bli Kin kok tumben dengerin radio. Bukannya kalau kerja, lebih suka dalam keadaan sunyi, ya?” tanyanya dengan logat khas Bali.
Pria itu masih berdiri, lalu menyesap pelan kopi di dalam cangkir.
“Oh, aneh ya?”
“Sedikit,” jawab Putu.
“Saya iseng, pingin dengar tetangga saya yang lagi siaran.”
“Oh begitu. Pantas saja Bli Kin melakukan hal yang jarang saya lihat,” ujarnya. “Saya juga kalau lagi di rumah suka dengar siaran radio. Apalagi Summer Radio, itu favorit saya.”
Kedua alis Kin tertaut, mendengar nama radio tempat Anya bekerja disebut oleh Putu.
“Summer Radio? Sekarang saya sedang radio dengar itu.”
“Jadi teman Bli Kin kerja di sana?”
Kin mengangguk. “Iya.”
“Siapa nama teman Bli Kin?” tanya Putu antusias.
“Zeevanya atau mungkin lebih dikenal dengan nama Anya,” jawab pria itu.
Putu langsung tercengang. “Wah, saya juga suka dengar acara dia. Apalagi malam minggu, sampai malam saya betah dengar dia siaran. Kapan-kapan ajak ke sini dong, Bli. Pingin tahu wujudnya Anya seperti apa.”
Kin terkekeh geli. “Wujudnya ya manusia, Putu.”
“Ya maksudnya, bagaimana wajahnya. Dari suaranya, saya membayangkan dia orang yang cantik dan cerdas.”
“Apa yang kamu bayangkan benar. Dia cantik dan cerdas. Dan beberapa hari yang lalu, dia sudah pernah berkunjung ke sini. Sayang saja, kamu lagi jadwal off, jadi nggak bisa bertemu Anya,” jelas Kin.
Seketika raut wajah Putu yang antusias, berubah menjadi sedih. Terlihat ada penyesalan di sana.
“Yah, sedihnya.”
“Kapan-kapan saya minta Anya datang ke sini lagi. Dan kamu bisa bertemu langsung dengan dia.”
“Serius, Bli?”
Kin mengangguk penuh keyakinan. “Tentu saja serius. Memangnya kapan saya pernah bercanda.”
“Wah, makasih ya, Bli,” ucapnya senang. “Kalau begitu, saya permisi dulu. Maaf ganggu waktunya.”
“Tidak masalah. Santai saja.”
Setelah kepergian karyawannya, Kin kembali duduk di tempat sebelumnya. Cangkir kopi masih di tangan. Menyesap pelan sambil melihat kanvas di hadapannya. Telinganya mendengar seksama suara Anya di radio.
Kin mendengarkan pesan yang Kyomi bacakan. Kedua matanya menyipit saat Anya menuturkan sedikit kisah cintanya yang harus diakhiri karena tidak ingin pacaran jarak jauh. Entah kenapa hal ini terdengar menarik bagi pria itu.
“Jadi Anya putus karena tidak mau LDR?” gumam Kin. “Ternyata dia bukan tipe wanita yang mau berhubungan terhalang jarak.”
Cangkir di tangannya segera diletakkan. Lantas Kin mengambil ponselnya dan jari tangannya nampak lincah mengetik sesuatu. Meski wajahnya fokus pada layar ponsel, tapi terlihat bibirnya menyunggingkan senyum.
“Rasanya aneh sekali melakukan hal asing seperti ini,” gumamnya.
***
Anya dan Kyomi sudah kembali bersiap untuk melanjutkan siaran. Dua lagu selesai diputar dan saatnya mereka membacakan kembali beberapa pesan masuk, sebelum siaran berakhir. Anya masih sibuk dengan pikirannya tentang ucapan Kyomi perihal Kin. Sedangkan Kyomi, fokus memilih pesan yang akan dibacakan.
Kening Kyomi mengkerut dengan mata fokus ke layar laptop. Sesaat kemudian, matanya tertuju pada Anya yang ada di sebelahnya.
“Oke. Kita lanjut baca beberapa pesan yang masuk. Dan ini sesi terakhir pada hari ini,” ucap Anya.
“Biar aku saja yang baca.”
“Baiklah. Kita dengar pesan dari seseorang. Siapakah dia?”
“Pesan ini dari Keenandra. Isinya sangat singkat, padat dan mengena di hati,” ucap Kyomi antusias.
“Wow!”
Anya berseru tapi wajahnya nampak biasa saja. Belum sadar dengan nama yang disebut oleh temannya.
“Dari Keenandra. Kirim pesan untuk tetangga yang baik hatinya bernama Zeevanya. Terima kasih sudah menyambut saya dengan baik sebagai tetangga baru. Semangat bekerja.”
“Cie Zeevanya,” seru Anya. Tidak lama, ia terdiam. Kedua matanya membola dan mulutnya terbuka. Menatap Kyomi dengan terkejut.
“Oke, buat Keenandra, semoga pesannya sampai kepada Zeevanya. Duh, tetangga barunya baik banget, yah.”
Anya menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan. Bagaimanapun, saat ini ia sedang bekerja, jadi harus bersikap profesional. Meski di dalam hatinya sedang merasakan gejolak yang sulit ditahan. Ingin sekali memastikan, kalau pengirim pesan tersebut adalah Keenandra Dewangga – tetangganya.
Setelah selesai siaran, Anya langsung keluar dari studio. Menyeret Kyomi untuk membicarakan kejadian barusan. Ia tidak bisa menahan lagi rasa penasaran.
“Mana nomor tadi? Aku mau memastikan kalau yang kirim pesan tadi adalah Mas Kin.”
Kyomi menyipitkan mata, lalu menggeleng pelan. “Buat apa penasaran? Katanya tadi kamu nggak suka sama dia. Kenapa sekarang malah kegirangan dapat pesan dari Mas Tetangga?”
“Siapa yang kegirangan. Aku Cuma mau memastikan, itu saja,” elak Anya.
“Sudah jelas kok, yang tadi memang dia. Mana mungkin namanya bisa pas begitu.”
“Aku mau lihat sendiri, biar nggak mati penasaran.”
***
“Kamu datang sendirian?”
Di hadapan Kin tengah duduk sosok cantik yang datang bertamu ke galeri. Wajahnya ceria dan penampilannya sangat anggun. Wanita yang membuat Kin akhirnya menemukan tempat ini sebagai lokasi galeri. Dia adalah Andrea – teman lamanya.
“Iya Mas. Naka lagi sibuk, jadi nggak bisa ikut menemani.”
Kin pun tersenyum, seperti sudah menembak tujuan dari kedatangan wanita itu.
“Jadi, mana undangan untuk saya?”
Andrea terkesiap mendengar pertanyaan Kin. “Kok Mas tahu kalau tujuan saya ke sini untuk kasih undangan pernikahan?”
“Lalu apa lagi, Re? Rasanya kamu nggak akan ke sini hanya untuk berkunjung biasa. Apalagi Naka sangat cemburuan, jadi sudah pasti menemui saya untuk hal yang penting.”
Wajah Andrea langsung merah mendengar penjelasan Kin, apalagi saat nama calon suaminya disebut. Lantas ia mengambil kartu undangan pernikahan dari dalam paper bag, lalu menyerahkan kepada Kin.
“Mas, kalau nggak sibuk, tolong hadir, ya.”
Kin menerima pemberian Andrea, lalu melihat sekilas. “Tentu saja. Saya akan usahakan agar bisa hadir di hari spesial kamu dan Naka.”
“Makasih, Mas,” balas Anya. “Kalau ada teman, ajak saja, Mas. Atau barang kali Mas Kin sudah punya teman dekat, misalnya pacar.”
Pria itu tersenyum simpul. “Saya bingung harus ajak siapa. Mau ajak Joshua, sudah jelas tidak mungkin.”
Andrea tersenyum datar. “Saya nggak undang dia karena nggak mau ada masa lalu, saat saya ingin membuka lembaran baru.”
“Apa Jo tahu kalau kamu akan menikah dengan Naka?” tanya Kin.
“Tahu Mas. Dan dia mengerti kenapa saya nggak undang dia.”
“Ya, saya paham. Kalian sudah sama-sama dewasa. Sudah tahu apa yang terbaik untuk kalian sendiri.”
Anya berdeham untuk mengurai rasa canggungnya setelah membahas mantan suaminya.
“Oh iya, gimana dengan rumah barunya, Mas? Betah di sana?”
“Betah. Saya sangat suka dengan lingkungannya. Tenang dan tidak terlalu bising. Apalagi tetangga di sebelah rumah, sangat baik kepada saya,” jelasnya.
“Oh iya? Wah, bagus dong kalau begitu.”
“Iya. Jarang-jarang datang sebagai pendatang dan langsung mendapat sambutan baik. Mereka memperlakukan saya layaknya seperti keluarga sendiri.”
Melihat wajah Kin yang berseri-seri saat menceritakan tetangga barunya, memancing rasa penasaran Andrea.
“Tetangganya Mas Kin, masih muda atau sudah tua?”
“Mereka sekeluarga. Ada ibu, anak dan keponakan. Dan mereka sama-sama baik.”
“Jadi, ada anggota keluarganya yang masih muda?”
Kin mengangguk dengan polosnya. “Pemilik rumahnya bernama Tante Agni. Punya anak perempuan dan keponakan laki-lakinya masih muda. Kalau tidak salah, mungkin umurnya di bawah 25 tahun.”
“Oh.” Kini Andrea paham. “Ya sudah, Mas Kin datang sama tetangganya saja. Biar nggak sendirian,” usul Andrea.
Pria itu pun tertawa renyah. “Kita lihat nanti saja, Re. Saya sungkan mengajak Anya datang ke pesta pernikahan kamu.”
“Oh, jadi namanya Anya?”
“Barusan saya menyebut namanya, ya?” Kin mendadak canggung.
“Iya Mas. Namanya cantik sekali.”
Kin mengangguk setuju. “Secantik wajahnya,” gumamnya tanpa sadar.
Melihat reaksi pria di hadapannya, Andrea berusaha menahan senyum. Rasanya lucu sekali. Kin yang terkenal tidak banyak tingkah, mendapati wajahnya yang nampak semringah.
***
Mobil yang dikemudikan Anya baru saja parkir rapi di garasi rumahnya. Malam ini ia pulang terlambat karena ada meeting dan harus menyelesaikan beberapa laporan. Selain itu, ia juga ikut acara perpisahan yang dilakukan oleh rekan kerjanya, yang sudah resign dari Summer Radio. Alhasil, ia pulang ke rumah paling akhir karena ibu dan sepupunya sudah sampai lebih dulu.
Saat Anya hendak menutupi kembali dan mengunci pintu pagar, suara mobil yang baru datang, mengalihkan perhatiannya. Siapa lagi pemilik mobil tersebut kalau bukan tetangganya yaitu Kin. Anya menunggu dengan gugup. Mengingat kejadian tadi siang. Memang benar, Kin yang mengirim pesan ke Summer Radio. Tidak menyangka pria itu mendengar program yang ia bawakan.
“Kamu baru pulang?” tanya Kin yang turun dari mobilnya.
Anya mengangguk. “Iya Mas. Tadi ada kerjaan dan acara, jadi pulang telat.”
“Bahaya kalau perempuan pulang malam, Anya.”
“Mau gimana lagi, Mas. Tapi nggak apa-apa, saya sudah terbiasa, kok,” jelasnya.
Kin menghela napas, lalu tangan besar terulur. Mengusap pelan pucuk kepala Anya. “Lain kali, minta Arlo untuk jemput. Atau, kalau kamu mau, saya bisa jemput kamu.”
“I – iya Mas. Makasih.”
Hanya itu yang mampu Anya katakan karena tubuhnya terasa membeku akibat sentuhan tangan besar Kin. Sepertinya saat ini, Kin punya kebiasaan baru yaitu mengusap kepalanya tanpa bisa Anya cegah.
“Mas, mau tanya.”
“Apa?” Kin penasaran.
“Tadi siang, Mas Kin sempat kirim pesan ke Summer, ya?”
Kin mengangguk dengan enteng. “Iya. Sudah kamu bacakan?”
“Kyimo yang baca.”
“Oh iya? Wah, saya melewatkannya. Tadi ada tamu, jadi terpaksa radionya saya matikan,” ujar Kin.
Merasa gugup, Anya menggigit bibir bagian bawah. “Makasih ya, Mas. Ini kali pertama ada yang kirim pesan untuk saya. Rasanya lucu sekaligus senang.”
“Saya pun merasa aneh. Melakukan hal yang tidak pernah saya lakukan,” ucapnya. “Dan kamu, Zeevanya. Berhasil membuat saya mencoba hal yang tidak pernah saya lakukan, seumur hidup saya.”
“Mas Kin nggak pernah dengar radio?”
“Bukan itu. Tapi mengirim pesan ke radio. Ini pertama kali buat saya.”
Seketika Anya merasa melayang. Bayangkan saja, Kin yang berpenampilan cool seperti ini, mengirim pesan ke program yang ia bawakan. Seperti pujian yang tidak ternilai harganya.
“Semoga Mas Kin nggak kapok, ya.”