12. PERISTIWA TIDAK TERDUGA

1729 Kata
“Hah? Apa Mas?” Telapak tangan Kin yang lebar langsung mendarat di pucuk kepala Anya. Pria itu mengacak lembut rambut wanita itu, karena melihat reaksinya yang aneh sekaligus lucu. Bahkan Kin tidak bisa menahan senyum lebarnya karena gemas. “Kamu kenapa, Zeevanya?” tanya Kin lagi. “Kenapa malah jadi bingung begitu?” Anya menggeleng cepat, mencoba untuk sadar dari pikirannya yang kacau. Memahami makna dari senyum Kin yang tidak bisa. Berusaha mengingat kata-kata apa yang keluar dari bibirnya. Kedua mata Anya membola saat sadar kalimat yang harusnya tetap tersimpan di dalam pikirannya, justru terlontar tanpa ia sadar. Sungguh, Anya sangat malu. Memuji Kin dengan kata yang sepertinya kurang pantas ia katakan. “Ma – maaf Mas,” ucapnya dengan kepala perlahan tertunduk. “Aku nggak sadar sama apa yang aku ucapkan.” Jari tangan Kin mengapit dagu wanita di hadapannya. Bukan ini yang Kin harapkan. Ia sama sekali tidak terganggu dengan pujian Anya. “Kenapa kamu nunduk, Anya? Kamu malu?” Anya mendongak dengan dagu masih dipegang oleh Kin. “Mas Kin dengar apa yang barusan aku ucapkan?” Kin mengangguk. “Dengar. Meski kamu bilang umur saya sudah tua, tapi pendengaran saya masih berfungsi sangat baik.” “Dan Mas Kin nggak berpikir aneh?” “Tidak. Dipuji ganteng, apa salahnya?” ujarnya santai. Kin meninggalkan Anya untuk mengambil air minum. “Meski hanya dengan suara kecil, saya tetap senang dengan pujian dari kamu. Terdengar lucu waktu kamu mengatakannya.” Anya menatap punggung Kin yang kini tengah minum. Ia menelan liurnya pelan, menenangkan detak jantungnya yang semakin kurang ajar. “Aku yakin, Mas Kin sering dapat pujian seperti ini. Makanya biasa saja dan menganggap apa yang barusan aku bilang sebagai sesuai yang lucu.” Kin membalik badan dengan gelas masih ada di tangan. Perlahan, pria itu kembali mendekat dan berdiri di hadapan Anya. “Kamu benar, banyak wanita yang memuji saya tampan, gagah atau juga berbakat. Tapi saya tidak pernah memikirkannya. Semua lewat begitu saja. Jadi, harusnya kamu paham, Anya,” ucap Kin sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Anya. Wanita itu terdiam. Mencerna ucapan Kin barusan. Ia tidak mampu berpikir dengan baik, takut jika dugaannya salah. Akhirnya Anya menyusul Kin yang sudah duduk di sofa. “Mas Kin kenapa jadi serius begini?” gerutunya. Lantas Anya menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, yang sebelumnya menjadi tempat duduknya. Menatap Kin yang santai tanpa terganggu dengan perdebatan kecil di dapur. “Kenapa? Kamu masih mau bicara soal barusan?” Anya menggeleng. Sebaiknya ia lupakan agar tidak semakin merasa malu. “Enggak Mas.” “Oh iya, saya nggak akan pernah bosan bilang, tolong sampaikan rasa terima kasih saya kepada mama kamu. Semoga saya bisa segera membalas kebaikan dari mama kamu.” “Iya Mas. Nanti aku sampaikan, tenang saja.” Mata Anya menangkap sesuatu di atas meja. Sebuah kertas yang sangat menarik untuk dilihat. Tanpa izin, ia mengambil benda itu. “Siapa yang nikah, Mas?” “Teman saya.” Anya membaca sekilas. “Andrea dan Naka. Namanya indah sekali.” “Kisah cinta mereka juga sangat indah. Bukan hanya dipenuhi kebahagiaan. Tapi bagaimana proses untuk bisa menuju ke jenjang pernikahan,” ujar Kin. “Oh iya?” Anya mulai tertarik. “Memangnya bagaimana kisah mereka?” Kin tersenyum. “Nanti saya ceritakan.” “Yah.” Wanita itu kecewa. “Ngomong-ngomong, Mas Kin mau datang dengan siapa?” “Entahlah. Saya belum tahu,” jawabnya. “Hhmm, bagaimana kalau aku saja yang temani?” Tawaran tidak terduga dari Anya membuat Kin sedikit tercengang. Tetapi ia juga merasa senang karena kemungkinan tidak akan datang sendirian pada pesta pernikahan Andrea dan Naka. “Kamu tidak sibuk?” Anya menggeleng. “Kalau lihat tanggalnya sih, harusnya nggak sibuk.” Kin pun pengangguk. “Baiklah. Saya terima tawaran kamu dengan senang hati. Tanpa protes atau yang lainnya.” Anya meringis dengan senyum sedikit canggung. Entah di mana letak rasa malunya. Menawarkan diri tanpa berpikir Kin akan menolak tawarannya. Tetapi bagi Anya, sangat kasihan kalau pria itu datang tanpa teman. Karena dulu, ia pernah merasakan di posisi itu. “Mas, pinjam toilet, ya.” “Silakan. Kamu tidak lupa kan, di mana letaknya?” Wanita itu menggeleng, lalu beranjak dari duduknya. “Semua sudut di rumah ini, masih aku ingat dengan jelas, Mas.” Anya masuk ke toilet yang sudah tidak asing baginya. Mendadak ia tidak bisa menahan kantong kemihnya yang terasa penuh. Ini karena terlalu banyak minum es kelapa muda di warung makan ibunya. Alhasil, untuk menahan agar buang air kecil di rumah pun, ia tidak sanggup lagi. “Ah leganya,” gumam Anya. Setelah selesai, Anya bersiap untuk keluar. Saat tangannya memegang gagang pintu, ada sesuatu yang jatuh menimpa tangannya. Anya yang kaget, melihat tangannya sendiri. Betapa terkejutnya Anya, saat tahu kalau ada hewan yang sangat ditakuti, menempel pada permukaan kulit tangannya. Anya berteriak keras tanpa peduli sedang ada di rumah tetangganya. Tangannya menarik gagang pintu agar bisa keluar. Tetapi reaksi tubuhnya sangat heboh, menyebabkan Kin ikutan panik. “Mas Kin, tolong!” teriak Anya ketakutan. “Kamu kenapa Anya?” Refleks Anya memeluk tubuh Kin, mengentakkan tangannya dengan keras demi membebaskan diri dari seekor cicik. Binatang yang ukurannya tidak terlalu besar, tapi sangat menakutkan sekaligus menggelikan. “Aku takut Mas, tolong!” “Takut sama apa?” “Cicak! Ada cicak di tanganku.” Anya yang terus meronta sambil memeluk tubuhnya, membuat Kin akhirnya membalas pelukan wanita itu. Itu dilakukan untuk menghentikan gerakan Anya yang membuatnya kewalahan. Dengan kedua tangan besar dan panjangnya, mampu merengkuh tubuh mungil Anya dengan begitu mudahnya. “Tenang, Anya. Tidak ada cicak di tangan kamu.” “Ada Mas. Aku lihat sendiri!” Kin tidak berbohong karena sudah memastikan dengan matanya sendiri. Kemungkinan hewan itu pergi saat Anya lari dari toilet sambil mengibaskan tangan. “Kamu tenang, oke? Lihat sendiri tangan kamu, cicaknya sudah hilang.” Perlahan-lahan, Anya mulai tenang dalam pelukan Kin. Meski napasnya masih tersengal-sengal, setidaknya sudah tidak setakut barusan. “Cicaknya sudah pergi dari tangan kamu.” Anya melihat tangan yang tadi dijatuhi cicak. Dan benar, hewan menyebalkan itu sudah menghilang. Saking panik dan takut, sudut matanya sampai basah dan nyaris menangis. Merasa keadaan Anya perlahan membaik, Kin lantas mengurai pelukannya. Dilihatnya wajah Anya yang pucat, dengan keringat mengucur. Ada rasa kasihan yang muncul, melihat keadaan wanita di hadapannya. “Kamu aman, Anya.” Ditatap penuh rasa khawatir, akhirnya air matanya langsung jatuh. Anya tidak bisa menahan lagi. Rasanya seperti mau pingsan mengingat apa yang terjadi barusan. Mungkin bagi orang lain, reaksinya berlebihan. Tetapi bagi Anya, hewan cicak sangat membuatnya trauma. “Hei, jangan nangis.” Kin mengusap air mata yang mulai mengalir ke pipi Anya. “Saya minta maaf karena insiden barusan. Lain kali, saya akan pastikan kalau rumah ini bebas dari cicak.” Anya menarik ingusnya yang sudah siap keluar. Mengendalikan diri agar berhenti menangis. Memalukan sekali, histeris dan menangis di hadapan tetangganya. “Maaf ya Mas, karena sudah buat panik.” “Tidak apa-apa. Kamu duduk dulu ya, biar saya ambilkan minum.” Sambil menunggu air, Anya menatap tangannya sendiri. Ia mengusap-usap dengan wajah meringis. Baginya, lebih baik bertemu kecoak daripada dihinggapi cicak. “Minum dulu.” Anya menerima pemberian Kin dan langsung meneguk air putih di dalam gelas. Setelah itu, ia mengatur napas dan mengembalikan suasana hatinya seperti sebelumnya. “Kamu baik-baik saja?” “Iya Mas.” Kin menghela napas lega. “Saya pikir kamu kenapa.” “Maaf Mas.” “Jangan minta maaf. Yang penting kamu sudah tenang,” ujar Kin. Anya menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. “Aku punya trauma sama cicak, Mas.” “Kamu mau cerita?” “Mungkin kapan-kapan. Intinya ada kejadian yang buat aku benci dan takut sama cicak. Jadi maaf, kalau tadi aku bikin panik Mas Kin,” ucap Anya. Tangan Kin terulur, mengusap pucuk kepala Anya dengan lembut. “Tidak apa-apa. Saya mengerti, kok.” “Sebaiknya aku pulang sekarang, Mas.” Anya baranjak dari sofa. “Jangan lupa makanannya dihabiskan ya, Mas.” “Iya Anya,” jawab Kin. “Biar saya antar kamu pulang.” “Nggak usah, Mas. Aku nggak kenapa-kenapa kok.” “Iya, saya tahu. Sekalian saya kunci pintu pagar.” Pada akhirnya, Kin mengantar Anya sampai depan rumah wanita itu. Siapa yang tega membiarkan Anya pulang dengan wajah masih menyisakan rasa takut. Kin tidak menyangka kalau keadaan ini bertahan cukup lama. “Aku masuk ya, Mas.” Kin mengangguk. “Iya. Kamu sendirian di rumah?” “Iya. Mama masih di warung dan Arlo belum pulang.” “Kalau kamu butuh bantuan, hubungi saya. Kebetulan saya nggak ada rencana pergi. Jadi saya selalu ada di rumah.” Lagi-lagi Anya terharu dengan perhatian Kin. “Iya Mas, makasih.” Sebelum Anya benar-benar beranjak dari tempatnya berdiri, Kin menyentuh tangan wanita itu, lalu tanpa permisi mengusap tangan yang tadi jatuhi cicak. “Semoga kamu tidak kapok main ke rumah saya. Dan semoga kamu bisa melupakan kejadian tadi.” Anya menggigit bibir bagian dalam, menahan desiran aneh yang muncul saat permukaan kulitnya diusap dengan lembut. “Iya Mas. Aku nggak akan kapok, kok. Tapi mungkin nanti harus lebih hati-hati.” Begitu Kin sampai di rumahnya, ia segera mengambil ponsel yang disimpan di atas meja makan. Ia sangat fokus melihat layar yang menyala. Tidak lama, benda pipih itu ditempelkan pada telinganya. “Halo Len.” “Halo Mas, tumben nelpon? Gimana kabarnya?” Kin tersenyum samar. “Baik. Dan aku tahu kabarmu juga baik, kan?” “Iya Mas. Aku tahu Mas Kin nelpon pasti ada tujuan tertentu.” “Iya. Aku mau tanya sesuatu karena bingung mau tanya ke siapa lagi,” ucapnya. “Ada apa Mas? Kenapa serius sekali?” Kin pun berdeham pelan. “Begini, rasanya dulu kamu pernah usir cicak dari kamar tante Indy waktu liburan ke Jogja. Kasih tahu aku, gimana caranya?” Sementara itu, Anya masih terduduk di sofa dengan tatapan menerawang. Ia masih syok dengan apa yang ia lewati hari ini. Mengatakan hal konyol di hadapan Kin, menawarkan diri untuk menemani pria itu datang di acara pernikahan, lalu dijauhi cicak. Dan yang paling tidak habis pikir adalah ia memeluk Kin dalam keadaan panik lalu dibalas oeh pria itu. “Cuma datang ke rumah Mas Kin, banyak sekali kejadian yang aku alami,” gumamnya. “Padahal, tadi pikiranku sangat kacau dan nggak peduli dengan pelukan Mas Kin. Tapi anehnya, kenapa aroma tubuhnya masih menempel kuat di indera penciumanku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN