2. KESALAHAN KONYOL

1448 Kata
“Ka …kamu berdarah?” Melihat darah yang mengalir di kening pria asing itu, membuat Anya panik dan ketakutan. Tetapi rasa curiganya terhadap pria itu belum mereda sehingga tidak mau menolong meski orang di hadapannya sedang terluka. “Iya saya berdarah karena kamu!” Pria itu menarik handuk yang ada di lehernya dan digunakan untuk menahan agar darahnya tidak semakin keluar. Gemas dengan reaksi menyebalkan Anya, membuat pria itu mengambil ponsel di atas meja, lalu menghubungi seseorang yang bisa menjadi penengah. “Kalau kamu masih menuduh saya sebagai orang jahat, kamu bicara langsung dengan Arlo.” Anya ragu sekaligus bingung saat pria asing itu memberikan ponsel kepadanya. Tidak lama, terdengar suara seorang laki-laki yang tidak asing di telinga Anya. “Halo Mas Kin, ada apa?” Kening Anya mengernyit dengan wajah kaget dan tatapan matanya tertuju pada Kin yang sedang menatapnya. Anya tidak menyangka kalau pria itu benar. Dia dan sepupunya saling kenal. “Halo …halo Mas Kin? Ada apa Mas?” Anya menelan liurnya susah payah sebelum akhirnya bicara. Keringat dingin terasa mengucur karena takut. “Ha …halo?” “Loh? Kok suara cewek?” “Ar, ini aku.” “Anya? Kok kamu bisa telpon pakai hape Mas Kin?” Tanpa menunggu lama, Kin kembali meraih benda pipih yang dibawa oleh Anya. “Arlo, sepertinya dia salah paham. Apa kamu tidak bilang kalau rumah kamu sudah dibeli oleh saya?” “Wah! Maaf Mas, aku benar-benar lupa. Memang kenapa, ya?” “Dia meneriaki saya penjahat karena ada di kamar saya sendiri. Dia pikir saya orang asing yang berniat buruk di rumah ini,” jelas Kin sambil terus menatap Anya. “Oh God! Mas, aku usahakan pulang sekarang. Biar aku jelaskan ke Anya, kalau rumah itu bukan milikku lagi tapi milik Mas Kin. Oh iya, dia sepupuku, Mas. Tolong jangan marahi dia, Mas.” “Baik. Tapi sepertinya saya harus ke IGD karena kening saya luka akibat terkena lemparan gelas oleh sepupu kamu,” ucap Kin. Setelah pria bernama Kin tersebut menutup sambungan telepon dengan Arlo, reaksi Anya hanya diam di tempat semula dengan perasaan gugup. Isi kepalanya sudah tidak beraturan. Bagaimana tidak, ia sudah melakukan kesalahan yang cukup fatal. Mencelakai pemilik rumah dengan alasan mengira orang jahat. Padahal dirinyalah orang asing yang masuk ke rumah Kin tanpa izin. Menunggu reaksi Kin selanjutnya, membuat Anya ingin menghilang sekarang juga. “Kamu sudah dengar sendiri dari Arlo kalau saya bukan penjahat. Saya pemilik rumah ini.” Kin bicara penuh penekanan. “Jadi, bagaimana?” Anya menghela napas, memberanikan diri bicara dan menatap pria di hadapannya. Bagaimanapun ia harus bertanggung jawab atas apa yang diperbuat. “Sebaiknya aku antar kamu ke klinik dekat sini. Darahnya terus keluar dan bisa-bisa kamu pingsan karena kehilangan banyak darah.” Kin tersenyum, tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. “Itu saja? Kamu tidak berniat bicara yang lain?” “Aku tahu aku salah. Tapi rasanya sekarang bawa kamu ke klinik jauh lebih penting. Ini salah satu bentuk permintaan maaf aku yang pertama. Oke?” Akhirnya Anya membawa Kin ke klinik yang jaraknya tidak jauh dari komplek perumahan mereka. Selama perjalanan, suasana di mobil begitu hening. Anya fokus mengemudikan mobil milik Arlo yang ternyata sedang dipinjam oleh Kin. Sedangkan mobil Kin dibawa oleh Arlo. Sesampainya di klinik, Kin langsung mendapat pertolongan. Karena luka goresan cukup dalam dan terbuka, terpaksa harus dijahit. Awalnya Kin menolak, tetapi dokter meyakinkan bahwa jahitan yang harus dilakukan tidak terlalu banyak. Anya yang melihat Kin mendapat jahitan, merasa sangat bersalah. Ia tidak tahu, apakah setelah ini, pria itu mau memaafkannya atau justru menuntut atas tindakan kekerasan. Kesalahan konyolnya membuat dirinya sendiri pusing. Entah kenapa saat tadi tidak berpikir jernih dan langsung menuduh Kin sebagai orang jahat. “Sakit, ya?” tanya Anya saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Kin menghela napas dengan wajah masih pucat. “Tidak apa-apa. Hanya luka kecil.” Tidak ada pembicaraan lagi karena Anya fokus mengemudi. Tidak butuh waktu lama, mobil yang Anya kemudikan sudah sampai di depan rumah Arlo yang kini berganti pemilik yaitu Kin. Dan mobil yang membuatnya melakukan hal konyol, dikembalikan di tempat semula. “Aku boleh ikut masuk?” tanya Anya saat Kin keluar dari mobil. “Kamu tidak berniat melakukan hal kasar lagi, kan?” Anya menggeleng tegas. “Aku pastikan kamu aman. Bagaimanapun, urusan kita belum selesai. Dan kekacauan yang aku lakukan, harus aku bereskan.” Kin menghela napas, lalu mengangguk. “Baiklah. Silakan masuk.” Dari belakang, Anya mengikuti Kin. Tidak mungkin ia masuk dengan kunci yang dimiliki saat ini. Cukup sekali ia melakukan kekonyolan yang berujung pada celaka. Meski ia tahu kalau kesalahannya masuk ke rumah ini ada pada Arlo dan sang ibu. “Arlo, awas saja!” “Silakan duduk,” ucap Kin saat sampai di ruang tamu sekaligus jadi ruang keluarga. “Makasih,” jawab Anya. Wanita itu melihat Kin masih berdiri dan siap pergi. “Kamu mau ke mana?” “Mau ambil air putih.” “Biar aku saja. Sebaiknya kamu duduk saja.” Kin mengangguk. “Baiklah.” Tidak lama, Anya datang dengan membawa gelas berisi air putih untuk Kin. Pria itu tidak banyak bicara, hingga membuat suasana menjadi canggung. Tetapi Anya berusaha untuk mencairkan suasana yang tegang dan segera menyelesaikan permasalahan. “Terima kasih,” ucap Kin. Tanpa menunggu lama, air tersebut diteguk hingga tandas. Dan gelasnya kembali diletakkan di atas meja kayu. “Mau lagi?” “Tidak. Sudah cukup.” Anya berdeham, lalu menghela napas pelan. Perlahan, badannya sedikit maju, lalu tangannya terulur ke arah Kin. Tidak lupa, ia menyunggingkan senyum termanis untuk pria itu. “Kita belum berkenalan secara resmi. Namaku Zeevanya Gabriella, atau biasa dipanggil Anya,” ucapnya. Kin membalas cepat. “Keenandra Dewangga. Panggil saja saya Kin.” “Oke. Mas Kin, seperti yang Arlo katakan tadi,” gumam Anya. “Baiklah, pertama-tama aku mau minta maaf atas kesalahan fatal yang sudah aku lakukan. Aku nggak tahu sama sekali kalau rumah ini sudah terjual. Maksudnya aku tahu kalau Arlo menjual rumahnya karena dia mau tinggal di rumah kami. Tapi aku nggak tahu kalau sudah laku dan Mas yang membelinya. Jadi, itu kesalahan yang akhirnya berbuntut pada pelemparan gelas kepada Mas Kin,” jelas Anya dengan rasa bersalah. Penjelasan Anya membuat Kin tersenyum. Sialnya, senyum pria itu membuat Anya mematung tanpa kedip. Setelah melihat tubuhnya yang topless, kini Anya disuguhkan senyum yang sangat menggoda keteguhan hatinya sebagai wanita single. Bagaimana bisa, pria setampan ini ia kira sebagai orang yang memiliki niat jahat. Sungguh semakin besar penyesalan Anya saat ini. “Jadi kamu tinggal di sebelah?” Anya mengangguk kaku. “I …iya. Aku tinggal di rumah sebelah. Mas kenal dengan mamaku?” “Kenal. Kami sempat bertemu beberapa kali.” “Oh. Apa mamaku atau si Arlo nggak cerita soal keberadaanku?” Kin menggeleng. “Tidak. Kami hanya membicarakan hal mengenai rumah saja.” “Begitu,” gumam Anya. “Jadi, Mas Kin mau maafin aku, kan?” “Karena kamu masih memiliki niat baik mengantar saya ke klinik, jadi saya maafkan. Tapi …” Wajah yang sudah semringah, kini kembali menegang. “Tapi apa, Mas?” “Kembalikan kunci rumahnya, agar kejadian seperti tadi tidak terulang lagi.” Anya tersenyum canggung. “Mana mungkin, Mas. Sekarang aku sudah tahu Mas pemiliknya, jadi nggak mungkin aku tuduh sebagai penjahat.” “Kamu benar. Tapi saya menghindari kamu masuk ketika saya baru saja keluar dari kamar mandi. Kamu pasti paham maksud saya,” ucap Kin. Wajah Anya langsung memerah setelah apa yang ia dengar dari Kin. Dengan perasaan malu, ia menyerahkan kunci yang sebelumnya ia pegang kepada pemilik rumah yang baru. “Ini, Mas. Sekali lagi saya minta maaf, ya.” “Iya, saya sudah memaafkan kamu,” balas Kin. “Sekarang kamu sudah boleh pulang. Saya mau istirahat dulu.” “Tapi pecahan gelas di kamar?” Kin mengibaskan tangannya. “Biar saya yang bersihkan. Kamu santai saja.” “Baiklah. Oh iya, kalau istri Mas Kin tanya keningnya kenapa, biar saya yang jelaskan.” Pria itu kembali tersenyum. “Saya duda jadi kamu tidak perlu takut.” Wajah Anya langsung berbinar tanpa bisa dikontrol. Fakta mengejutkan ini memuat hatinya bersorak. Tetapi ia bingung, kenapa senang dengan status Kin yang tidak terikat hubungan sebagai suami orang. “Kalau begitu, aku pamit pulang ya, Mas. Sekali lagi maaf atas kejadian tidak mengenakkan ini.” Akhirnya Anya keluar dari rumah tersebut. Ia masih berdiri di depan pagar, dan belum keluar dari halaman rumah Kin. Wajahnya masih terlihat tidak b*******h, setelah kejadian barusan. Namun, beberapa detik kemudian ia tersenyum lebar. “Wah, jadi tetangga baruku seorang duda. Kalau dudanya seganteng ini, bisa berbahaya buat kesehatan jantung,” ucapnya dengan wajah semringah. “Kamu ngomong apa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN