3. BERKAH ATAU COBAAN

1252 Kata
Tubuh Anya membeku saat mendengar suara dari belakang. Tentu saja ia masih ingat siapa si pemilik suara. Ia mencoba untuk menoleh ke belakang tapi hatinya menolak. Justru dengan jahatnya ia punya pikiran kabur agar tidak malu saat berhadapan dengan Kin. “Zeevanya? Ah maksud saya Anya. Saya sedang bicara dengan kamu.” Anya menelan liurnya dengan susah payah. Perlahan ia memutar badan, dan mendapati Kin sedang menatapnya heran. Wajahnya terasa panas karena sedang menahan rasa malu atas isi kepala kotor yang baru saja ia ucapkan dengan bibirnya. “Wajah kemu tegang begitu. Barusan kamu ngomong apa dan dengan siapa?” tanya Kin kembali. “Enggak, kok. Aku nggak ngomong apa-apa. Cuma menggumam nggak jelas,” jawabnya penuh dusta. Berharap pria di hadapannya tidak curiga sehingga melepaskannya tanpa penghakiman. Kin pun mengangguk. “Oh, saya kira kamu lagi ngomong sesuatu.” Anya tersenyum canggung tapi dalam hati senang karena Kin tidak mendengar apa yang sempat ia gumamkan. Entah di mana ia akan menaruh mukanya karena tertangkap basah membicarakan pria itu dengan dirinya sendiri. “Mas Kin ada perlu dengan aku?” Kin menyerahkan kantong berisi bungkusan gudeg yang tadi Anya bawa. “Sepertinya kamu melupakan ini.” “Buat Mas Kin saja,” ucap Anya. Tidak mungkin menerima makanan yang sudah dilihat oleh Kin. “Nggak usah dikembalikan. “Saya tidak suka makanan ini. Jadi daripada dibuang, sebaiknya kamu bawa lagi. Dan saya yakin ini untuk Arlo, bukan saya.” “Yakin Mas Kin nggak mau?” Kin mengangguk. “Tidak.” “Ya sudah kalau begitu, aku bawa pulang lagi.” Anya menjatuhkan tubuhnya di atas kasur miliknya. Ia menghadap ke langit-langit dengan pandangan menerawang. Apa yang terjadi hari ini, membuat perasaannya campur aduk. Rasa bersalah dan malu karena sudah melukai orang. Tetapi senang karena punya tetangga baru. “Astaga! Kenapa aku bisa melakukan hal sebar-bar itu?” tanya pada diri sendiri. “Walaupun sikapnya baik, tapi aku yakin dalam hatinya masih kesal. Sepertinya setelah ini, Mas Kin pasti berpikir ulang untuk berteman denganku. “ Ingatan Anya kembali pada saat ia melihat bagaimana tubuh indah yang dimiliki tetangga barunya. Penampilan Kin benar-benar terawat. Ini membuat Anya penasaran, kira-kira berapa umur pria itu. “Kalau statusnya duda, artinya dia sudah cukup dewasa. Dia definisi duda yang sangat menggoda. Badannya bagus, ditambah rambutnya yang sedikit panjang, benar-benar duda idaman.” Anya segera sadar dari pikiran kotornya. Ia beranjak dari posisi tidur, lalu menggeleng keras. Menepuk pipinya agar tidak lagi membayangkan hal-hal yang tidak pantas. “Ya Tuhan, sepertinya aku harus segara mandi agar pikiranku menjadi lebih waras,” gumamnya. *** “Mama nggak habis pikir apa yang ada di pikiran kamu, Anya. Kok bisa-bisanya melakukan kekerasan sama tetangga baru kita.” Anya hanya bisa terduduk dengan wajah menunduk. Mendengarkan omelan sang ibu yang sedang menghidangkan makanan. Setelah mandi, Anya tertidur. Dan bangun saat ibunya pulang. Padahal ia belum sempat cerita, tetapi ibunya sudah langsung mengomel kepadanya. “Namanya juga panik. Masa Mama nggak paham sama reaksiku,” gerutunya. Agni mendelik, menatap putrinya yang nampak tidak segar karena baru bangun tidur. “Panik sih panik. Tapi kamu tanya baik-baik dulu, kenapa Kin bisa ada di sana. Ini malah yang punya rumah kamu aniaya.” “Ya sudahlah, Ma. masalah juga sudah selesai. Aku sudah ajak Mas Kin ke klinik untuk mendapatkan pertolongan. Yang penting aku sudah tanggung jawab dan minta maaf,” jelas Anya melakukan pembelaan. “Lagi pula, salah Mama dan Arlo. Kenapa tidak cerita kalau rumahnya sudah laku terjual. Mana aku tahu kalau kenyataannya begitu,” gerutunya kembali. “Mama dan Arlo memang lupa kasih tahu. Tapi tetap saja kamu salah. Mama malu sekali kalau nanti bertemu dengan Kin. Punya anak perempuan, tapi bar-barnya nggak ketulungan.” Anya berdecak sambil memutar bola matanya. “Mama berlebihan sekali. Mas Kin saja nggak marah, kenapa malah Mama yang heboh.” “Anak nakal, dikasih tahu malah bilang mamanya heboh.” Agni menjewer kuping putrinya. “Harusnya besok pagi kamu bawa berita ini di radio. Biar gempar masyarakat Denpasar karena kelakuan kamu.” “Ma, sakit!” “ANYA! ANYA! Namanya dipanggil dengan nada tinggi membuat Anya dan termasuk Agni terkejut. Siapa lagi pemilik suara itu kalau bukan Arlo. Salah satu orang yang dianggap oleh Anya sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Meski orang waras juga tahu kalau ini semua memang salah Anya sendiri. “Apaan, sih? Bisa nggak jangan teriak-teriak. Ini sudah malam, Ar,” protes Anya. “Kasih tahu saudara kamu, Ar. Kalau jadi perempuan jangan main lempar gelas ke kepala orang,” ucap Agni yang duduk di sebelah putrinya. Arlo menarik kursi di seberang Anya, lalu duduk di sana. Wajahnya nampak panik sekaligus penasaran dengan apa yang saudaranya lakukan. Awalnya berniat pulang, tapi ia tidak bisa karena harus menyelesaikan lembur, yang tidak bisa ditinggalkan. “Jadi, ceritakan apa yang sudah kamu lakukan ke Mas Kin?” Anya menghela napas, dengan raut wajah tidak semangat. “Ya sepertinya yang kamu dengar di telpon kalau aku membuat Mas Kin terluka.” Semuanya Anya ceritakan kepada Arlo. Sudah tidak peduli bagaimana delikan dari dua orang yang bersamanya. Arlo sudah pasti menyalahkan dirinya, tapi sudah terjadi, mau bagaimana lagi. “Anya!” Arlo menepuk jidatnya sendiri. Wajahnya nampak frustrasi. “Kok bisa-bisanya muka polos dan seganteng Mas Kin, kamu lempar pakai gelas. Anya, kamu terlalu berpikir negatif. Dia sudah beli rumahku secara cash, malah dapat bonus lemparan dari orang bar-bar kayak kamu. Astaga, aku nggak tahu lagi caranya berhadapan dengan Mas Kin.” “Masalah sudah selesai, jadi kamu nggak perlu malu. Aku juga sudah minta maaf dan dia nggak marah sama sekali.” Arlo menghela napas dan terus menatap sepupunya. “Pokoknya kamu harus bersikap baik terhadap Mas Kin. Dia itu orang baik, jadi aku nggak mau hubunganku dan dia jadi renggang karena masalah ini. Apalagi dia sudah beli rumahku tanpa banyak tawar.” Kening Anya mengernyit sambil menatap heran ke Arlo. “Ya ampun! Kamu suka sama Mas Kin, ya? Sampai segitunya takut dia marah.” “Kamu kok ngomong sembarangan, Nya.” Agni mencubit gemas lengan putrinya. “Mama, kok malah nyubit aku?” “Iya soalnya Tante Agni sebel sama mulut kamu, Anya.” “Kenapa jadi main keroyokan, sih,” gerutunya. Arlo lantas beranjak dari duduknya. “Pesananku sudah dibawa, kan?” Anya memutar bola matanya dengan ekspresi malas. “Tadi marah-marah, sekarang nanyain titipan. Dasar manusia menyebalkan!” “Jangan berantem. Tinggal satu rumah, harus akur. Kalau tidak, sebaiknya kalian sewa kos saja. Mama nggak suka ada keributan seperti anjiing dan kucing,” ancam Agni kepada anak dan keponakannya. Setelah berdebat dengan ibu dan sepupunya, kini Anya sudah di dalam kamarnya. Ia membuka jendela yang menghadap langsung ke rumah Kin. Niatnya membuka jendela adalah mencari udara segar. Gerah rasanya mendapat omelan dari dua orang sekaligus. Anya tidak marah, hanya merasa terpojokkan. Saat melamun ke arah jendela rumah Kin, tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang tidak biasa. Terlihat bayangan dari pria itu. Anya baru sadar kalau jendela tersebut merupakan jendela kamar yang ditempati oleh Kin. “Eh? Mas Kin kok buka baju?” Anya menelan liurnya melihat bayangan tersebut. Jantungnya juga berdegup kencang. Pemandangan yang harusnya tidak ia lihat sebagai wanita. “Nggak boleh. Jangan ganjen deh, Nya,” gerutu Anya pada dirinya sendiri. Anya mengalihkan pandangan dan berusaha tidak menatap siluet Kin. Tetapi entah mengapa rasanya sulit. Ia heran kenapa bisa bersikap seperti ini pada pria yang baru beberapa jam ia kenal. “Entah ini berkah atau cobaan. Punya tetangga baru, tapi menggoyahkan keteguhan hatiku sebagai wanita.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN