Sebuah mobil taksi berhenti di rumah dengan gaya minimalis bercorak khas Bali. Di depannya terdapat pohon Bunga Bougenville berwarna merah muda. Bunganya yang lebat, menambah cantik tampilan pada rumah tersebut. Asri dan juga nyaman, begitulah gambaran bangunan berlantai dua tersebut.
Zeevanya Gabriella, wanita berambut panjang bergelombang turun dari taksi berwarna biru setelah ia membayar biaya sewanya. Tubuhnya yang mungil dengan tangan yang penuh barang, ia nampak kesulitan membuka pintu pagar yang terkunci. Padahal ia sedang buru-buru karena kantung kemihnya terasa penuh. Anya ingin segera ke toilet dan buang air kecil.
Begitu Anya masuk, ia sudah disambut dengan suasana rumah yang sangat sepi. Anya hanya tinggal berdua dengan ibunya, sedangkan ayahnya sudah meninggal dunia saat ia berusia lima tahun. Biasanya rumahnya ramai saat pagi dan malam karena seharian ibunya sibuk di warung nasi yang menjadi usaha mereka.
“Oh God, aku sudah nggak tahan lagi,” gumamnya dengan wajah pucat.
Ketika pintu pagar berhasil terbuka, Anya bergegas masuk dan langsung membuka pintu kayu rumahnya. Untung saja tidak ada drama. Ia langsung meletakkan koper serta barang lain dengan sembarangan. Setelah itu, ia berlari ke arah toilet dan segera masuk ke sana. Mengeluarkan cairan yang sudah ditahan saat dalam perjalanan pulang dari bandara.
“Ah, rasanya benar-benar plong.”
Anya keluar dengan raut wajah lega. Kantong kemihnya terasa kosong dan sudah tidak menyiksa lagi. Lantas, ia kembali merapikan koper serta beberapa barang yang sebelumnya ditinggalkan begitu saja. Anya membawa beberapa box berisi oleh-oleh yang ia bawa dari luar kota. Selain untuk ibu dan rekan kerjanya. Anya juga akan memberikan oleh-oleh tersebut kepada Arlo – saudara sepupunya.
“Sebaiknya aku bawa sekarang saja. si Arlo pasti sudah ngiler, nunggu aku bawa gudeg langsung dari Jogja,” gumamnya.
Rumah Arlo tepat berada di sebelah rumah Anya. Saudara sepupu dari pihak ibunya itu, sudah hampir tiga tahun di sana. Anya dan Arlo seumuran, sehingga sering diledek sebagai saudara kembar meski wajah mereka sama sekali tidak mirip. Saking dekat hubungan mereka, Anya sampai memiliki kunci rumah Arlo, begitu juga sebaliknya. Kapan pun ia mau datang, tidak perlu menunggu sepupunya pulang dari bekerja. Anya sudah seperti pemilik dari rumah tersebut.
“Arlo! Kamu di mana?” teriak Anya saat sudah sampai di dalam rumah sepupunya. “Ini titipannya, buruan ambil. Kalau enggak, aku balikin lagi ke Jogja,” ancamnya.
Tidak ada tanggapan dari si pemilik rumah. Hari sabtu, biasanya saudaranya ada di rumah karena libur kerja. Apalagi mobilnya masih berada di garasi, sudah pasti pria itu tidak ke mana-mana.
“Ke mana, sih? Tumbenan nggak nyaut. Mau telpon, tapi hape-ku ketinggalan di rumah,” gerutu Anya.
Akhirnya gudeg yang dibawa dari Yogyakarta, Anya simpan di atas meja. Pergi selama seminggu untuk urusan pekerjaan, membuatnya rindu dengan ibu dan sepupunya. Setelah dari sini, ia berencana untuk pergi ke warung nasi tempong milik Agni – ibunya.
Anya pergi ke dapur untuk mengambil air. Seperti biasa, ia membuka kulkas dan melihat apa saja isinya. Sudah jadi kebiasaan saat datang ke sini, mengambil makanan yang dimiliki Arlo tanpa perlu izin. Apa pun yang Arlo miliki, juga merupakan milik Anya. Tentu saja aturan ini dibuat oleh Anya sendiri dan sepupunya dipaksa untuk setuju.
“Tumben kulkasnya si Arlo kosong kayak hatiku. Buah pun nggak ada, Cuma ada air dingin. Mungkin dia lagi diet.”
Anya memutuskan untuk mengambil air dingin lalu menuang ke dalam gelas. Meneguk beberapa kali dan mengisi kembali hingga penuh.
“Kayaknya si Arlo lagi tidur. Kebiasaan tidur sore padahal nggak bagus. Sebaiknya aku lihat saja di atas. Kalau memang tidak ada, mungkin pergi tanpa bawa mobil.”
Kaki Anya menaiki anak tangga yang tidak terlalu banyak. Di tangannya masih membawa gelas berisi air. Saat Anya berjalan menuju lantai dua, ia merasa ada yang aneh dengan rumah Arlo. Suasananya tidak seperti biasa. Saat ini lebih terasa hangat dan juga tenang. Anya sadar kalau desain interior rumah sepupunya sudah berubah.
“Ditinggal seminggu, kenapa rumahnya si Arlo jadi berubah begini?” gumam Anya heran. “Wah, sepertinya dia sudah punya pacar, makanya ganti suasana,” sambungnya.
Tanpa rasa canggung, Anya mengetuk lalu membuka pintu kamar milik Arlo. Mencari keberadaan sepupunya yang ternyata tidak ada di dalam sana. Tetapi, samar-samar ia mendengar suara gemericik air yang bersumber dari kamar mandi. Dan akhirnya rasa penasaran Anya mulai terjawab.
“Oh, anak ini ternyata lagi mandi. Pantesan dipanggil nggak jawab. Ya sudah, aku tunggu di bawah saja.”
Saat Anya ingin pergi, matanya kembali menangkap sesuatu yang ganjal di kamar tersebut. Anya seperti masuk ke dalam kamar orang asing. Posisi tempat tidur dan lemari sudah berubah. Bahkan sofa santai yang biasa ia duduki, sudah menghilang.
Anya mengurungkan niatnya ke luar kamar. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya bertahan di sana dan memperhatikan setiap sudut kamar tersebut. Beberapa lukisan yang terpasang di tembok, membuat kening Anya mengernyit.
“Sejak kapan si Arlo suka lukisan?” tanyanya. “Wah! Rumah dan juga kamar ini benar-benar berubah total. Jangan-jangan ini anak mau nikah makanya ganti suasana. Tapi mau nikah sama siapa? Pacar saja tidak punya,” gumamnya sendiri.
Gelas berisi air yang ada di tangannya, diteguk perlahan untuk menenangkan perasaannya. Terlalu banyak yang berubah sampai membuat Anya merasa tidak nyaman. Bahkan saking seringnya berada di rumah itu, hidungnya bisa mencium kalau aroma rumah ini sudah berbeda.
“Apa mungkin rumah ini sudah terjual?” Tiba-tiba Anya ingat akan hal ini. Lalu ia menggeleng pelan, menepis kecurigaannya. “Mana mungkin. Mobilnya Arlo saja masih di garasi dan dia juga nggak kasih kabar mengenai hal ini. Yang sedang di kamar mandi sudah pasti dia, kan?”
Disaat Anya berpikir seperti itu, ia mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka. Anya berbalik dan mendengar suara derap langkah. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Dan saat ia berbalik badan, sebuah kejutan tidak terduga ada di depan mata.
Di depan matanya kini tengah berdiri seorang pria dengan kondisi bertelanjang d**a. Hanya mengenakan celana santai dan handuk kecil di leher. Tubuhnya kekar dan rambut panjangnya terlihat basah. Wajahnya begitu tampan meski sedang menatap heran.
“Kamu siapa?” tanya si pria.
Anya dan pria itu saling menatap dengan raut wajah terkejut dan bingung. Pria asing itu diam tempatnya. Suasana menjadi hening tanpa ada jawaban dari Anya. Tetapi, tidak lama terdengar teriakan dari bibir wanita itu dan membuat si pria menjadi bingung.
“Kamu siapa? Kenapa ada di kamar Arlo?” tanya Anya balik dengan wajah panik. Tangannya sudah mengangkat gelas dan siap melepar ke arah pria yang tengah mendekatinya.
“Harusnya kamu jawab pertanyaan saya, kamu siapa? Kenapa masuk ke kamar orang tanpa izin?”
“Kamu penjahat yang mau merampok rumah Arlo, ya! Atau jangan-jangan kamu lagi sekap Arlo di kamar mandi?”
Pria itu perlahan mendekat tanpa peduli dengan reaksi Anya yang panik sekaligus takut. Bahkan wanita itu berjalan mundur tanpa berniat menurunkan gelas yang ada di tangannya.
“Sepertinya kamu salah paham. Biar saya jelaskan.”
“Jangan mendekat!”
Tanpa bisa Anya kontrol, tanganya langsung melempar gelas yang dipegang ke arah pria asing itu. Lemparannya tepat mengenai sasaran. Gelas kaca tersebut mendarat keras di kening pria yang diteriaki penjahat oleh Anya. Penjahat yang sempat membuat Anya berpikir kalau pria itu sangat seksi dengan tampilannya saat ini.
Pria itu mengerang kesakitan. Memegang kening yang berdenyut nyeri serta kepalanya yang mendadak pening. Gelas langsung pecah ketika mengenai pria itu. Tidak lama, cairan berwarna merah segar mengalir dari luka di kening. Tatapan pria asing itu ke Anya begitu tajam dan penuh dengan tanda tanya.
“Kenapa kamu melakukan ini kepada saya?”