ENAM PULUH: ADA APA LO SAMA DIA?!

1139 Kata
Senyum April menghilang saat lampu belakang motor Janu menghilang di tikungan. April baru saja berbohong pada Janu. Dia nggak ingin membeli apapun dari toko waralaba ini dan sebenarnya dia juga agak merinding kalau lewat lorong gelap menuju kompleks perumahannya setelah malam gelap. April nggak takut hantu. Alasan dia takut pada lorong itu adalah…. Kejadian kemarin malam. April meremas kedua tangannya bergantian dengan gugup. “Baru kemarin malam, ya, Rasanya udah lama banget. Hari ini banyak banget yang kejadian.” Gumamnya. Dan semuanya, dari pagi hingga akhir hari begini, nggak ada yang menyenangkan untuknya. Matanya menunduk sayu. Memandangi layar hitam ponselnya. Nggak. Sebenarnya ada satu berita bagus. Bagus banget. Berita yang dia nanti - nantikan sejak tiga bulan lalu. Berita tentang kelanjutan beasiswanya. Dia lolos seleksi taham pertama! Iya, kan. Ini berita yang luar biasa menyenangkan. Tadi sewaktu menerima dan membacanya saja dia nyaris berteriak sambil lompat - lompat. Untung dia segera bisa menguasai diri dan tahu tempat kalau dia sedang berada di kantor. Dan telepon dari Janu juga menyelamatkannya tadi. Tapi sekarang ini, berita yang paling dia nantikan itu malah seperti amat biasa saja. Nggak wow sama sekali. Awalnya dia berencana untuk mengabarkan ini pada Mama Papa dan Mei. Tapi… Nanti kalau dia yang lebay sendiri dan reaksi semua orang biasa saja bagaimana? Memikirkan itu, lalu mengingat kejadian tadi sore di mana Jun di kelilingi oleh Bu Sabrina dan satu orang lai perempuan yang April nggak tau namanya siapa membuat matanya kini berembun. Yang jelas cewek itu cantik banget, dia yang perempuan saja mengakui kalau cewek itu cantik. Pantes sih, kalau Jun nggak pernah melirik dia untuk bisa move on dari Mei. Kalah jauh lah April nya. “Hiks.” April menutup mulutnya, Kaget sendiri karena dia menangis di tempat umum. Tapi kalau mau pulang dalam keadaan berantakan begini… Nanti kalau ketahuan Mama, dia harus bilang apa? April menoleh ke sekelilingnya. Nggak terlalu rame. Dia melihat ada kursi kosong di pojokan teras minimarket tempat Janu tadi menurunkannya dan pindah ke sana. Menghadap tembik, dia memberi waktu untuk dirinya sendiri melampiaskan apa yang dipendamnya selama ini. Nggak papa, keluarin aja, Pril. Sebentar aja, tapi nanti abis ini kamu balik kuat lagi, ya. Begitu katanya pada diri sendiri. *** April baru saja selesai makan malam dengan Mama, Mei dan Didit. Papa belum pulang. Dan tumbenan Mei dan Didit pulang on time. Bawa tambahan laun untuk makan malam. Dia pamit ke kamar lebih dulu l karena pun kalau dia di sana, dia nggak terlibat dalam pembicaraan rencana lamaran dan pernikahan yang sedang dibahas Mei dan Didit bersama Mama. Selain itu, suasana hatinya masih lumayan buruk walaupun sudah menangis sesorean tadi. Nggak cukup. Hatinya masih terasa senut - senut kalau ingat. Dan dia jadi sedih lagi. Senyum riangnya menghilang saat pintu kamarnya tertutup. Dia bersandar agak lama di pintu yang tertutup itu, menenangkan hatinya, jika mungkin. Rasanya susah sekali menelan kekesalan yang menyumbat tenggorokannya yang kalau dibiarkan lebih lama akan menginvasi matanya dalam bentuk cairan bening panas menusuk, menuntut untuk dikeluarkan. Dia beranjak masuk ke kamarnya, meraih ponsel dan headsetnya, lalu berselancar di situs penyedia video untuk mengembalikan moodnya. Sebentar saja, dia sudah larut dalam video komedi pendek yang dia tonton. Suara tawa pelan keluar dari bibirnya. Saking asyiknya, April sampai nggak sadar kalau ada yang membuka pintu kamarnya dan mendekat padanya dengan gusar. April menoleh kaget saat kasur di sebelahnya tiba - tiba melesak. "Lo.. hpph!" Jun! Dan cowok itu datang - datang langsung naik ke tempat tidurnya, memojokkan April di antara tembok, kasur dan tubuh kekarnya sambil salah satu tangannya membekap mulut April. Membuat April refleks memberontak. "Malam sebelum ulang tahun gue. Pas lo pulang tengah malem. Lo sama dia, kan?" Jun bertanya dengan suara pelan. Tapi jelas sedang marah. "Tadi siang, lo juga telponan sama dia, kan? Sejauh apa hubungan lo sama dia? Kalian pacaran?!" April menelan ludahnya takut - takut. Saat mendengar pertanyaan Jun, reaksi pertamanya adalah marah. Tapi rasa marahnya segera menguap berganti dengan ketakutan saat melihat kilat mata Jun. Dia sudah tak terhitung banyaknya melihat Jun marah. Padanya, pada Mei, Bunda, pada semua orang. Tapi baru kali ini dia melihat kilat mata itu. Yqng dilihat April di sana adalah kemarahan murni. Bahkan April sudah tak lagi melihat sosok Jun di sana. Salah satu tangannya berusaha menepis tangan Jun dari mulutnya tanpa hasil. "Jadi lo pacaran sama dia?! Lo udah bisa move on dari gue?! Lo udah nggak naksir gue lagi?!" Perlawanan April mendadak berhenti. Matanya membulat, lalu pandangannya menjadi kosong. *** April memandang Jun dengan tatapan kosong. Dia tak lagi melawan Jun untuk melepaskan bekapan tangan besar Jun di mulutnya. Tubuhnya mendadak lemas. Jun tahu. Selama ini Jun tau tentang perasaannya, dan dia nggak bilang apapun. Bagi April, itu adalah penolakan yang amat jelas. Jun nggak mau dia jadi lebih dari seorang tetangga samping rumah yang kebetulan adalah adik Mei. Hatinya sakit sekali sampai dia nggak bisa merasakan apapun lagi selain rasa perih di da*anya yang seperti berusaha melubangi April. Air matanya mengalir begitu saja dalam tangisan bisu. "Pril?" Akhirnya Jun melepaskan bekapannya. Panis sendiri melihat April menangis tanpa suara dengan pandangan kosong begini. Dia… tadi nggak menyakiti April, kan? Dengan sigap dia mengangkat April dan mendudukkannya. Membuatnya bersandar di tembok. "Pril lo nggak papa, kan? Yang sakit bagian mana?" Kalau saja rasa sakit yang dirasakan April saat ini nggak separah ini, dia pasti sudah tertawa terbahak - bahak mendengar pertanyaan Jun barusan. Dia apa - apa sekali. Dan rasanya semua badannya saat ini terasa sakit. Dari ujung rambut hingga ujung kepala. Tapi yang paling sakit adalah bagian dad*nya, sampai membuat dia susah untuk bernafas. "Pril…" "Selama ini lo tau." April berbicara pelan dengan nada melamun. Matanya masih memandang kosong ke depan, penuh linangan air mata. Jun berhenti bergerak di depannya. Kemarahan Jun mungkin sudah sedikit reda. Setidaknya, April nggak merasakan aura panas menyesakkan seperti tadi lagi. "Selama ini lo tau gue naksir lo. Dan lo diem aja. Lo bikin gue jadi kayak badut, berusaha bersikap biasa sama lo, berusaha biar lo tetep nyaman dengan keberadaan gue… dan seperti biasa, sia - sia. Gue ngebadut sendirian. I wonder, why God sent me to this world while no one wants me. I wished Mama had aborted me." "Heh! Ngomong apaan, sih lo!" April diam, nggak menjawab lagi. Orang bilang, menangis tanpa suara hanya dilakukan oleh seseorang yang benar - benar terluka. Saking dalam dan besarnya rasa sakit yang mereka rasakan, sampai - sampai mengeluarkan suara saat menangis pun tak kuasa lagi. Mungkin itulah yang dirasakan April saat ini. She shattered into pieces. PS: Jariku kena kusen pintu gais,,, sampe luka dan bengkak, hiks, sumpah nggak enak banget buat ngetiknya... sakit senut2 Double up nya sekarang aja, besok... lihat lagi ya, kalau udah nggak bengkak dan bisa dibuat ngetik enak, aku up, kalau nggak, senen aku double yaa pagi sore hiks...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN