"Nggak mau!! Kenapa??!"
Jun menatap wanita cantik di depannya ini dengan wajah datar tak tertarik.
"Gue pengen udahan. Itu alasannya."
Jun mundur, bersiap untuk meninggalkan Fran di rooftop dan kembali ke ruangannya. Dia harus ngecek kerjaan April, dan buru - buru pulang. Dia punya 'sesuatu yang serius' untuk dibicarakan dengan April. Tapi tangannya segera dicekal Fran. Membuatnya nggak bisa bisa pergi ke mana - mana.
"Siapa? Siapa yang bisa muasin lo lebih daripada gue?!" Hah? Saking kagetnya, Jun sempat cengo sesaat. "Sabrina? Cewek tua nggak laku itu?" Jun baru ngeh sekarang arah pembicaraan Fran dan malah bergidik geli. Astaga, masa Fran mengira seleranya yang seperti itu? Lepas dari Fran buat deket ke Sabrina? Jun menggeleng nggak habis pikir. “Gue yang tau lo luar dalem, Jun!” Idih, ngarep. “Bahkan tanpa lo minta, tanpa lo ngomong.”
“See, hubungan kita udah nggak fun. Lo lupa, kita seharusnya no string attached. Dan lo udah langgar itu dengan bikin diri lo terlalu attached sama gue sampe bikin gue nggak nyaman.” Fran menggeleg gusar nggak terima pada apa yang Jun katakan. “Kita berdua sama - sama dewasa. Jadi sikapi ini dengan dewasa. Udahan. Jangan drama. Gue harus lanjut kerja. Lo bisa turun sendiri atau mau gue panggilin security biar diantar turun?”
***
“Mas Jun ada hubungan apa sama Fran?”
Seandainya bisa kaya di komik - komik yang sering dia baca itu, dia ingin sekali berteriak kencang sampai keluar api dari mulutnya saat ini. Dongkol, kesal bukan main, dan marah! Udah dong, dia mau selesein ini kerjaan terus pulang nyamperin April. Ada yang mau dia tanyain sama gadis itu.
Kenapa keinginan sederhana kayak gitu aja sekarang jadi susah banget?
Baru saja dia turun dari rooftop, meninggalkan Fran di sana yang memanggil - manggil dia tapi nggak dia gubris sama sekali, sekarang di ruangannya, Sabrina sudah menunggu. Rasanya, jiwa julid nan ketus dan sesitifnya ingin langsung menjawab; urusan lo apa? Emang gue siapa lo? Penting banget buat lo?
Tapi dia ingat kalau Sabrina juga salah satu drama queen di kantor ini. Dia inget dalang dari semua penderitaan April di kantor ini. Meskipun belum pernah terjadi sampai yang parah banget, tapi itu nggak keren sama sekali. Mentang - mentang senior, mentang - mentang atasan, bawahannya ditindas terus. April juga, sih! Masa berani galaknya cuma sama Jun doang?!
Okay, ini semakin lebar, karena otaknya malah mencari pelampiasan lain yang bahkan orangnya sudah nggak ada di kantor ini; April. Dia harus berhenti.Fokus beresin Sabrina, kelarin kerjaannya dan pulang. Titah otaknya pada seluruh bagian tubuh.
“Rin, saya masih ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan. Bisa tolong balik lagi ke meja kamu?” Katanya pelan, berusaha terdengar se chill biasanya.
Susah aslinya. Di saat otak dan hatinya bergelegak membara ingin memuntahkan lahar api. Kesal luar biasa.
“Mas Juned, jawab saya dulu. Itu kenapa Fran dateng ke sini dan nyari Mas Juned?”
Jun mengusap wajahnya gusar sembari mendesah keras. Hanya itu yang bisa dilakukannya sekarang karena dia nggak bisa salto di dalam ruangannya yang tak menyisakan seberapa luas space kosong.
“Kamu kenal Fran dari mana?” Sepertinya akan sulit menyingkirkan Sabrina begitu saja dari kantornya. Jadi akan mencoba beradaptasi. Bukankah kemampuan adaptasinya bagus? Jadi dia berjalan ke balik mejanya dan duduk di kursinya. Di pojokan meja kerjanya, April sudah menumpuk kembali map - map yang tadi pagi dia berikan untuk di cek dan follow up. Dia meraihnya dan mulai mengecek. Dia membaca memo - memo yang ditinggalkan April di sana.
April kerjanya amat rapi dan taktis. Walaupun kadang agak kurang praktis, tapi nggak susah buat diikuti. Apalagi dasarnya memang anaknya rajin, dengan otak yang bisa diajak aktif berpikir. Selama ini, Jun belum tertarik untuk mengoreksi cara kerja April. Selama pekerjaannya beres tepat waktu, dia puas.
Jun berkedip dua kali menyadari bahwa lagi - lagi pikirannya kembali pada April sampai dia nggak memperhatikan kalau Sabrina sudah mulai penjelasannya. Dia nggak terlalu ngeh awalnya perempuan itu ngomong apa. Tapi dia menangkap intinya,
“... Dia pacaran sama mantan saya, padahal selama ini kalau saya ada masalah dengan mantan, saya larinya ke dia buat minta pendapat. Siapa yang tau kalau ternyata malah jadi amunisi dia buat deketin mantan. Saya sempet labrak mereka pas lagi… berduaan di dalam kamar apartemen Fran. Sejak saat itu kami nggak ngobrol lagi.”
Another drama. Mata Jun terpejam, tapi di balik mata yang mere itu Jun merotasikan matanya jengah.
“Jadi mas Jun ada hubungan apa sama Fransiska Damayanti itu?”
***
Janu seperti deja vu. Sepanjang jalan pulang dari kantor tadi, sampai sekarang mereka sudah hampir sampai di kompleks perumahan di mana April tinggal, gadis itu diam saja. Ini hawanya mirip nggak sih, dengan kejadian malam minggu beberapa saat lalu?
April cuma menyapanya saat dia turun dari lift tadi, meninggalkan scene yang lagi rame di lobby saat Pak Jun mendadak ditemploki oleh perempuan bergaun mini nan ketat. Tapi untungnya sih, bdannya bagus. Jadi nggak bikin sakit mata. Cuma bikin istighfar sama sedikit nyut - nyutan aja buat para kaum adam. Setelahnya gadis yang sedang diboncengnya ini hanya diam saja. Sesekali Janu mendengar desahan beratnya. Kenapa, deh.
“Jan, gue turun sini aja ya.” Mendadak April ngomong, membuat Janu kaget. Untung dia nggak latah. Kalau latah, terus nggak sengaja puter gas dan bukannya ngerem, dan memmbuat mereka sukses nyungsep di parit pinggir jalan. Bukan masalah basah sama sakitnya, malu!
“Tapi kan rumah lo masih masuk kompleks, Pril.” Janu bukannya modus, bukannya nggak mau nurut. Tapi dia kan punya prinsip. Dia bilang mau anter April pulang. Pulang berarti ke rumah. Nah ini belum sampai rumahnya April. Kalau ada apa - apa sama April nanti gimana? Pertanggung jawaban yang berat.
“Nggak papa, Jan. Gue kebetulan mau mampir di minimarket situ. Ada yang mau gue beli.” Tambah April karena Janu masih seperti ragu - ragu dan enggan untuk berhenti.
“Mau beli apa? Gue tungguin sini aja, ya. Gue anter sampe rumah.” Kata Janu menghentikan laju motornya di depan sebuah brand minimarket kenamaan.
April tertegun sebentar. Janu ini… beneran abaik apa modus, sih? Kalau dari yang dia tau, semenjak kenal belum lama ini, anaknya memang baik banget. Gentle dan soft. Lagi - lagi April menghayal. Pasti beruntung banget nanti yang jadi pasangan Janu kalau dia beneran se soft dan se thoughtfull ini. Coba Jun…. April menggeleng. Membuang pikiran ngawurnya. Lagi - lagi dia membandingkan Jun dengan orang lain. Kaya dia seneng aja dibandingin sama orang lain juga.
April turun, memberikan helm nya pada Janu. “Nggak usah, Jan. Kesian lo nanti sampe rumah kemaleman. Duluan aja. Lagian udah deket. Ini jalan juga lima menit sampe.”
“Tapi kan situ gelap. Kalo lo kenapa - napa gimana?”
April meringis. Kalau ini beneran sifat Janu, mungkin nanti dia bakal jadi pasangan posesif, tipe prajurit. Pasangan yang bakal lindungin pasangannya dan bakal selalu bikin pasangannya merasa jadi putri raja.
“Nggak ada. Jangan bikin gue ikutan parno. Udah lo pulang aja.”
“Beneran?”
“Iyaaa. Gue udah biasa jugaan lewat situ sendirian malem - malem. Nggak ada apa - apanya. Kan gue premannya di sini. Tunduk sih, semuanya kalau sama gue.”
“Bahasa lo.”
“Hahahaha.”
“Ya udah, gue pulang beneran ini?”
April mengangguk. “Iyaaa. Makasih yaaa. Besok - besok lagi. Ati - ati balik.”