Jun melihat April dengan mata berkilat. Amarahnya menguap tanpa sisa berganti dengan ketakutan dan kekhawatiran. Dia bikin April nangis. Selama ini, setelah mereka beranjak dewasa, April bukannya nggak pernah nangis di depan Jun. Malah biasanya Jun juga ikut andil menggodanya sampai tangisnya semakin menjadi - jadi.
Tapi belum pernah April terlihat seterluka ini. Ekspresi terluka di wajahnya, tangisnya yang tanpa isakan dan hanya berupa lelehan bening yang terus turun tanpa henti dan kalimat - kalimatnya barusan sukses menampar Jun berkali - kali bahkan tanpa gadis itu menggerakkan tangannya.
"Pril…."
Jun diam karena April menggeleng pelan. Mengangkat tangannya dan melambaikannya dengan lemah ke arah pintu.
"Pril…" Tapi bukan Jun namanya kalau nggak keras kepala. Mungkin egonya yang belum mau pergi karena belum mendapat jawaban apapun dari April. Mungkin juga dia hanya ingin memastikan April baik - baik saja sebelum dia pergi.
Kalimat terakhir April tadi… dia nggak beneran kan? Masa Mama serius punya niat untuk menghilangkan April?
"Apa lagi?" April menjawab serak. Matanya kini fokus pada Jun, tapi pandangannya tetap jauh. Seolah - olah Jun berada jauh darinya bukannya hanya berjarak kurang dari semeter saja. "Kalo dengan lo percaya gue jalan sama Janu malam itu bikin lo lega, kalo dengan berpikir gue sama Janu jadian bikin lo merasa nyaman, ya udah nggak papa. Keep going. Gue nggak punya apapun buat gue sampein ke lo."
Lah kok gitu?! Terus nasib mereka gimana? April udah nggak naksir lagi sama dia?! Mendadak dia merasa nggak terima.
"Kalau ada yang sebenarnya kenapa nggak lo bilang aja yang sebenarnya?"
"Gue bilang pun… apa lo bakal denger? Bakal percaya?"
"Kok lo jawabnya gitu?" Jun yang juga aslinya masih agak labil emosinya mulai sedikit ke trigger.
"Lo mau gue jawab gimana?" Kini mata April sudah sepenuhnya terfokus pada Jun. Beradu tatap, saling mengukur dan mengira. Air matanya sudah kering, tapi sakit hatinya masih terasa. Nggak berkurang sama sekali.
"Yang sebenarnya lah! Jadi lo bener sekarang jalan sama cowok itu?!"
April tertawa dipaksakan. Pengen denger yang sebenarnya tapi spekulasinya masih ditonjolin terus. Gimana bisa April bilang yang sebenarnya kalau begini? Yang ada, Jun akan terus menyangkal dan minta pembuktian. April bisa kasih bukti yang bagaimana lagi, sih?
"So why? Dia single, gue single. Nggak ada salahnya, kan?"
April berharap nggak ada orang rumah yang lagi di dekat tembok kamarnya. Mungkin suaranya akan sedikit teredam dari luar, tapi kalau niat nguping pasti bakal kedengaran. Bukan apa - apa. April takut nanti reaksi mereka bakal gimana - gimana.
Mama menganggap Jun selayaknya anak mereka sendiri. Saat kecil dulu, Mama sering bilang jangan suka bikin Jun dan Bunda repot pada mereka berdua. Atau jangan sering - sering main ke sana hanya untuk minta jajan.
Keluarganya bukan keluarga berada. Meskipun ukuran rumah sama, jelas status mereka berbeda. Dan April paham sekali. April khawatir, kalau Mama tau, Mama bakal sedih, karena April menyukai Jun. Gara - gara perasaan April, hubungan yang lebih dekat daripada tetangga ini akan renggang.
"Tapi lo suka sama gue, Pril." Jun membantah nggak terima. Badannya maju merangsek April, membuat April benar - benar terhimpit antara Jun dan tembok.
April menarik nafas gemetar. Mencoba melegakan sesaknya meskipun tak ada kelegaan yang dirasakan setelahnya. Dengan mantap, dia menjawab, Jun.
"Iya. Gue emang suka sama lo. Bahkan, faktanya, cinta gila sama lo sejak gue SMP. Gue pikir gue bisa nyembunyiin perasaan ini. Gue pikir gue udah berusaha banget biar nggak centil caper sama lo biar lo nggak risih sama keberadaan gue, sama tingkah gue." April tertawa lagi di tengah penjelasannya. " Kayaknya gue yang ke ge er an sih emang. Buktinya lo selama ini tau dan lo nggak kasih gue tanda apapun. Ya sori, gue cuma April. Gue bukan mbak - mbak dengan body dan dandanan badai yang nyamperin lo tadi sore di kantor. Gue paham, kok, gue nggak punya kesempatan sama sekali. Nggak usah khawatir, gue nggak bakal ngapa - ngapain lo. Janji. Kasih gue waktu bentar lagi. Gue pasti move on dari lo."
***
"Pril, makan dulu, Nak. Kamu beneran nggak kerja? Nggak papa?" Mama mengetuk pintu kamarnya. Membuat April yang sedang duduk bersender pada tembok di atas kasur menoleh.
"Bentar lagi, Ma. April belum laper. Iya, nggak papa. April cuma pengen istirahat." Serunya tanpa beranjak dari tempatnya.
Ini nggak sopan sih, tapi April sedang nggak ingin ketemu orang dulu. Wajahnya bisa bikin orang koma bangun lagi saking seramnya dan akan salah mengira kalau April lah si malaikat maut.
"Kamu nggak sakit, kan?"
Mama pasti masih trauma yang pas dia pingsan belum lama ini.
"Nggak, Ma. Cuma capek dikit aja. Pengen istirahat."
"Lauk sama sayur di atas, meja ya, Nak. Mama mau ke rumah Bu Indah dulu. Bantu - bantu, anaknya khitan besok."
"Iya, Ma."
Dan kemudian rumah terasa sunyi. April kembali meletakkan kepalanya di atas lututnya yang tertekuk di depan d**a. Mencoba mengosongkan pikiran, jika mungkin.
Hari ini dia sengaja ambil libur. Padahal besok hari minggu, tapi dia malah libur. Meninggalkan pekerjaannya yang biasanya menggunung di akhir minggu kian menumpuk.
Sudah, sudah! April nggak mau memikirkan hal itu dulu. Memikirkan pekerjaan membuatnya otomatis memikirkan Jun juga. Tadi dia selain menghubungi Pak Ano untuk ijin, dia juga menghubungi Jun lewat pesan chat. Tapi terakhir kali dia lihat sekitar sepuluh menit yang lalu, pesannya itu belum di balas. Bahkan dibaca pun belum.
Biarlah. Yang penting sudah ijin.
Semalam… April nggak tidur sama sekali. Nggak bisa. Saat akhirnya Jun pergi meninggalkan kamarnya, tak ada pembahasan lebih lanjut. Semuanya dibiarkan menggantung.
"April april, apa sih yang lo arepin. Dari awal, lo udah tau kalau lo sendiri yang bakal suka, bakal berharap, dan bakal sakit pada akhirnya." Dia bergumam memarahi dirinya sendiri untuk yang ke entah berapa kalinya. Sengatan panas di sudut matanya datang lagi. "He's out of your league. Lo nggak selevel sama dia. Dia baik sama lo, dia keliatan care sama lo, bukan berarti karena lo special. Bangun, please."
Saat matanya berair, entah kenapa bagian dalam dad*nya ikut terasa sakit, sehingga dia memukul - mukulnya, berharap bagian tersebut menjadi lega sedikit saja. Berkurang rasa sakitnya sedikit saja.
Sekitar lima belas berlalu sebelum akhirnya tangisnya reda dan terhenti dengan sempurna, membawa satu tekad baru dalam dirinya. Dia mengusap pipi basahnya dan beranjak dari kasurnya untuk mencuci muka. Ada hal yang harus dia lakukan. Dan kalau kemarin dia merasa agak ragu, maka sekarang dia yakin sejuta persen!
Dia harus melakukannya. Dan hal itu dimulai dengan… mencuci muka, dan sarapan. Karena dia butuh tenaga untuk rencananya ini.
PS. Curhat dong...
tau nggak, aku tuh jadi ragu - ragu nanti pas di bagian April dinakalin Juni hiks
Takut kena semprit huhuhuwaaa