"Gue ditinggal sendiri di dalam. Dia pergi, katanya ada janji sama cewek lain."
April tertawa kecil pas Janu melotot padanya. Memang kedengarannya agak absurd sih. Bukan cowoknya, tapi cinta banget. Eh taunya ditinggal pergi sama cewek lain. Tragis.
“Gue udah kenal dia dari kecil. Rumah kami sebelahan. Dia tuh first crush gue. Cinta monyet gitu, Sayangnya dia cuma nganggep gue sebagai adek.” April menjelaskan secara singkat kisahnya dengan Jun. Janu nggak mungkin tahu kan, kalau yang lagi dia ceritakan ini Jun, salah satu manager tertinggi di perusahaan tempat mereka kerja?
“Lo suka dia sejak kapan?” Tanya Janu.
“Udah lupa. Mungkin SMP?”
“Sekarang umur lo berapa.” Janu mendengus, membuat April mengernyit bingung. Ini arah pembicaraannya kemana? “Cinta monyet itu ilang pas lo beranjak dewasa.”
“Mungkin gue naksirnya aja yang kelamaan.”
Lagi - lagi Janu tertawa. “Gue kasih tau. Naksir itu, cuma bertahan empat bulan. Sama kaya Cinta pada pandangan pertama. Aslinya nggak ada. Yang ada itu naksir pada pandangan pertama. Dan cuma bertahan empat bulan aja.” Janu menoyor - noyor kening April. Membuat April cemberut dan menampik tangannya kesal.
“Sok tau lo.”
Dan mereka berdua pun tertawa. April baru tau, ternyata selain Jun, ada juga orang lain yang lumayan nyambung sama dia. Dia kan Jokes nya garing, kalau kata teman kuliahnya sih, April ini ahli banget kalau suruh bikin jokes bapak - bapak, jadi banyak yang krik - krik kalau April gabung.
Selain itu, dari kecil juga dia cuma terbiasa denga Mei dan Jun saja, Anehnya, dia nggak punya teman lain selain mereka sementara Jun dan Mei punya banyak teman lain di luar sana.
April mendesah lega. Beban di dadanya yang tadi di tumpuk oleh Jun kini terangkat sudah. Janu memang teman ngobrol yang nyenengin.
“Thanks ya Jan. Gue udah nggak papa, kok.” Katanya mendadak merasa malu.
Ada emang orang kayak April, yang baru kenal sebentar tapi udah minta tolong dianterin muter - muter beli hadiah dan mendadak ketemu juga saat dia lagi breaking down begini. Dan dua - duanya karena orang yang sama; Jun.
"Santai. Kalo lo masih pengen misuh - misuh dan maki - maki cowok itu juga boleh. Nggak di sini tapi. Gue bawa lo ke tempat yang tepat. Kalau di sini nanti gue digoreng beneran sama itu Ibu - ibu yang jual gorengan."
April tertawa tambah kencang. Tapi dia menggeleng, menolak tawaran Janu. Buat apa? “Dasar. Nggak lah, ngapain juga gue maki - maki dia. Gue tuh sad girl, percuma juga gue maki - maki dia tapi nanti pas dia balik ke gue, gue dengan senang hati menerima dia lagi.” April mendesah dalam. “Lagian nanti lo dicariin sama istri lo nggak pulang - pulang padahal udah jam segini.”
“Buset.” Janu menengok ke belakang, padanya. “Gue tampangnya kaya cowok yang udah bisa nanggung anak orang? Being in a relationship isn’t my thing. At least at the moment.” Yah, pas udah klik sama orang, orang itu malah lagi nggak tertarik buat jalin hubungan apapun. “Lo beneran secinta itu sama dia?”
“Gue kuatirnya iya. Padahal gue udah niat buat move on sekitar sepuluh tahun yang lalu.”
Janu yang menopangkan kedua sikunya ke paha, merosot satu sehingga dia nyaris tersungkur ke depan. “Sepuluh tahun?!” April mengangguk, masih menatap Janu khawatir. Itu barusan Janu ngantuk apa gimana, sih, kok nggloyor begitu. “Dan lo masih kaya gini? Move on yang kaya gimana yang lo maksud?”
“Ya… gue mencoba meyakinkan diri gue sendiri bahwa gue sama dia itu nggak ada harapan. Jadi gue nyuruh hati gue jangan baperan sama dia dan move on, buka hati buat cowok lain mungkin?” April menerangkan dengan nggak yakin.
“Itu lo bilang move on?!”
April mengangguk nggak yakin. Ada yang salah dengan caranya move on?
“Itu sih lo nya aja yang denial, bilangnya move on, tapi masih kegirangan kalo dia deketin lo.” Nah iya, bener. April emang kayak gitu. Berasa jadi lele dikasih pelet kalau Jun mendekat.
“Tapi gue sekarang udah bisa nolakin ajakan dia loh. Nggak selalu ngikut aja.”
“Bahkan sama pacar lo, soulmate lo, suami lo, lo juga tetep harus kayak gitu. Lo harus punya pendirian. Punya keberanian buat speak up your mind. Cinta sama orang itu bukan berarti lo harus samain selera lo sama dia, nggak berarti lo harus kehilangan jati diri lo buat nyenengin dia. Karena lo juga berharga, Pril. You deserve your own happiness.”
***
Mungkin semesta memang sedang berpihak pada April. Saat dia semalaman nggak bisa tidur besoknya, memikirkan harus bagaimana dia nanti saat bertemu dengan Jun, Tuhan berbaik hati padanya dengan mengirimkan Jun dinas keluar kantor. Tanpa dirinya. Membuatnya seketika sujud syukur saat Jun mengiriminya pesan memo sebelum berangkat tadi. Dan nggak cuma hari ini aja, tapi dua hari! Nikmat Tuhan yang mana lagi yang April dustakan?!
“Kak, gue nebeng, ya?” Pintanya pada Mei yang baru keluar dari kamarnya, menuju ruang makan untuk sarapan. Di rumah ini, memang selalu rutin sarapan bareng. Karena hanya saat itu semua anggota keluarga di rumah ini ada di rumah, Makan siang, Mama cuma sendirian. Makan malam, kadang Mei atau April lembur, jadi seringnya nggak komplit. Makan malam hanya bisa dilakukan dengan personil komplit di malam senin. Dengan catatan Mei nggak lagi kencan dengan Didit.
“Nggak bareng Bang Jun?”
“Dia ada tugas ke luar kota. Ya?” Dia memasang puppy eyes yang mungkin bagi orang lain bukannya menggemaskan malah mengundang amarah. Tapi kan kalau nggak dicoba juga nggak akan tahu.
“Iya, iya. Tapi nanti pulang gue nggak bisa jemput. Gue naik ojol ntar kalau nggak nebeng temen. Didit ada survey lokasi ke daerah.”
April membuat tanda OK dengan jarinya dan mengikuti Mei ke ruang makan. Lega, setidaknya, dia barusan berhasil menyimpan berapa puluh ribu saldo e-wallet nya saat ini. Memang masih akhir bulan, tapi kan dia kemarin habis beliin Jun hadian buat ulang tahunnya lusa, dan itu sama sekali nggak murah. Jadi selagi bia, dia mau beririt ria.
Didit bekerja di salah satu perusahaan kontraktor besar di kota mereka. Dia adalah lulusan teknik sipil, jadi tugasnya adalah untuk mengecek lokasi proyek dan mencocokkannya dengan desain yang sudah dibuat oleh tim arsitek dan menyesuaikannya agar bisa dilanjutkan pada tim purchasing.
Bonus dari satu kali proyek yang Didit handle bisa sama atau lebih besar dari gaji April selama empat bulan. Nggak heran lah kalau Kakaknya sekarang makmur. Eh, tapi nggak juga sih. Gaji Mei juga lumayan kok. Mungkin malah dua kali lipat gaji April saat ini. Tapi dengan gaji sekretarisnya saat ini, April juga sudah merasa cukup dan berlebih. Jadi dia nggak akan protes pada siapa - siapa.
“Kita berangkat on time abis makan, ya.”
Dan itu bagi April adalah perintah untuk menjejalkan sarapannya ke mulut sebanyak yang dia bisa.
“April, Nak, pelan - pelan, nanti kamu keselekm loh.”
Uhuk! Uhuk!
“Kan, Mama bilang juga apa.”