EMPAT PULUH SATU: MAKASIH JANU

1042 Kata
Janu melirik kaca spionnya motor matic nya sekali lagi. Memang mereka naik motor, Janu boncengin April, bikin sebagian besar badan April ketutupan sama badannya sendiri, dan wajah April juga sebagian tertutup helm dan juga kacamata tebal yang Janu nggak tau apa gunanya. Emangnya April minus ya, sampai pakai kacamata? Selama ini dia pakai lensa kontak berarti? Nah nah melantur! Bukan itu tadi niatnya melirik kaca spion. Dia mau mengecek keadaan April. Sudah setengah jalan menuju rumah April, tapi gadis itu tetap diam saja di belakangnya. Biasanya kan April cerewet. Ada aja yang dia ceritakan. Mulai dari cerita lucu sampai tebakan bapak - bapak. Dan selain itu Janu juga ingin memastikan sesuatu. Meskipun samar, tadi Janu sempat mendengar suara isakan. Dan nggak butuh jadi orang super peka kalau April lagi nangis, apalagi dengan bahunya yang gemetar begitu. April kenapa, deh. “Mau mampir suatu tempat dulu? Beli minum?” Janu bertanya, menolehkan wajahnya setengah ke belakang Agar April bisa mendengarnya saat mereka berhenti sejenak di lampu merah. Janu sengaja nggak berbalik sepenuhnya pada April biar April nggak merasa nggak nyaman sama Janu karena ketahuan menangis. “Boleh. Makasih.” Jawaban April pelan singkat, dan suaranya tertahan. Membuat Janu yakin beratus - ratus persen kalau dia memang sedang menangis. Begitu lampu berubah warna jadi hijau, Janu langsung melajukan motor maticnya ke minimarket terdekat. Dia menunggu sampai April turun dan duduk di salah satu kursi yang disediakan di teras minimarket, kepalanya dibiarkan tetapl menunduk, lalu Janu, dia sendiri masuk ke dalam. Mengambil sesuatu yang manis untuk April dan air mineral untuk dirinya sendiri. Dia juga beli tisu ukuran travel pack buat April. Setelah selesai di meja kasir dia mengangsurkan apa yang dia beli buat April. “Buat lo. Minum dulu biar mood nya enakan. Kalau mau cerita juga boleh, gue dengerin.” *** Pas turun dari motor matic nya Janu tadi, sebenarnya April sudah menguatkan tekad buat nggak nangis lagi. Malu lah dia, masa nangis di depan Janu. Dia kenal sama Janu kan belum lama banget ini. Masa tau - tau udah mewek aja, sih di depannya. Tapi saat dengar apa yang Janu bilang, dia nggak kuat, pertahanannya yang masih amat rapuh itu kembali jebol lagi. Seandainya Jun punya sedikiiiit aja kepekaan Janu.  Ya maaf kalau jadinya malah mebandingkan yang ini dan yang itu. April setengah khilaf dan masih  kesal pada Jun. Dia ngeh nggak ya, kalau April sekarang hancur lebur begini gara -gara dia. Dia bakal hibur April kayak dulu nggak, ya. Dia udah mundur jauh banget dari jarak amannya bersama Jun. Tujuannya adalah biar dia nggak merasa sakit hati lagi karena Jun, tapi rasanya setiap kali Jun bikin ulah, selalu saja April yang merasakan sakitnya. “Pril? Hei, kok malah nangis lagi. Sori nih, lo nangisnya agak ngumpet di belakang gue aja gimana? Gue nggak enak nih, dipelototin sama ibu - ibu penjual gorengan yang di depan itu. Dikira gue yang bikin lo nangis.” Janu agak memiringkan tubuhnya sedikit condong ke depan sehingga April bisa bersembunyi di belakangnya dan puas menangis lagi. Duh udah dong, April, dia memgingatkan dirinya sendiri. Malu tau sama Janu. Mana nangisnya kejer deres banget tadi. Dikira Janu nanti dia baru saja di putusin pacarnya. Walaupun ini memang tentabg hati dan cinta - cintaan, tapi kan bukan kayak gitu.  "Thanks ya, Nu. Sori udah bikin lo malu." Kata April setelah agak tenang. Dia mengelap matanya dengan tisu yang tadi di belikan Janu untuknya.  "Santai, elah… lo udah beneran nggak papa? Maaf maaf aja nih, sebelumnya. Gue nggak masalah anterin lo pulang, yang jadi masalah nanti kalau gue anterin lo pulang masih kayak tadi, yang ada gue nggak bolehin pulang sama orang tua lo. Disangka gue yang bikin lo begini." Kata Janu panjang lebar. April mau nggak mau tertawa. Benar juga. Kok dia nggak mikir sampai sana. "Hahaha sorry. Bentar lagi boleh? Atau lo buru - buru? Ada yang nungguin?" Janu membenarkan duduknya. Mereka sudah duduk dengan normal lagi, bersisih - sisihan. Sekarang April jadi merasa agak malu sama Janu. Mewek tiba - tiba di depan orang yang nggak deket banget sama kita itu… awkward. Syukurnya Janu bersikap biasa saja, jadi April nggak tambah malu lagi. Janu menggeleng menjawab pertanyaan April. "Nggak ada, santai aja. Acara gue barusan selesai tadi, ini gue otw pulang kok." "Abis malming sama Mbaknya ya." April menggodanya. Agak lucu karena muka bengkaknya sama sekali nggak pada tempatnya untuk menggoda ataupun mengejek Janu. Tapi Janu di sebelahnya cuma terkekeh. "Maunya sih gitu. Malem minggu, malmingan gitu. Sayang - sayangan sama pacarnya, kaya yang lain. Tapi sayangnya malam minggu bagi gue cuma sabtu malem. Another day in a week to work. Gue abis pulang kerja." Hah? Kerja? Janu double job? "Gue kalau malam minggu ngelesin anak - anak SMP di daerah utara sana. Makanya pulangnya lewat resto tempat lo nunggu taxi tadi." Jelasnya tanpa diminta April. "Lo ngapain dah oergi ke resto begituan sendiri? Ajak - ajak gue kek kalau mau makan enak. Nggak bakal nolak, kok. Serius!" Mereka tertawa. April lega dia masih bisa tertawa. Dia berterima kasih pada Janu karena sudah mau menjadi pelipur laranya malam ini. Sampai ditemenin begini dan memastikan April tenang sebelum mengantarnya pulang.  Janu cowok yang baik. Seandainya saja dia ketemu Janu duluan, atau perasaannya pada Jun menghilang lebih cepat sehingga dia bisa naksir sama Janu gitu. Pasti semuanya lebih mudah.  Lah kalo Janu nya mau sama lo, Pril! Hatinya berseru mencemooh, menyadarkan April dari lamunannya. Oh, iya ya. Dia lupa satu hal. Cinta itu kan butuh dia orang buat akhirnya bisa bekerja secara maksimal. Kalau dia doang yang naksir sama Janu, apa bedanya dengan waktu dia naksir Jun. Kok April ini jadi orang oon banget. Nggak belajar sama sekali dari pengalaman. "Tadi gue dateng ke situ nggak sendirian." April memulai ceritanya dengan nada pelan. Memainkan gumpalan tisu di jari - jarinya. "Jangan bilang lo tadi kabur karena lo lagi berantem sama cowok lo di dalem, Pril?!" April ketawa lagi. Mending kalau dia datang sama cowoknya ke resto itu. Dia datang ke sana sama seseorang yang di luar bayangan Janu. "Nggak, bukan gitu. Gue nggak berantem, dan walaupun gue cinta banget sama dia, dia bukan cowok gue." Janu menoleh, wajahnya mengernyit bingung pada cerita April. "Gue ditinggal sendiri di dalam. Dia pergi, katanya ada janji sama cewek lain."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN