Mei melirik adiknya di kursi belakang dari mirror pocket yang dipegangnya untuk touch up. Meskipun pembawaan April sekilas terlihat biasa saja, ceria dan slengek an seperti biasanya, tapi hari ini Mei melihat lagi. Tatapan mata sendu itu. Mei dan April itu dekat, sedekat perbedaan di antara mereka mengijinkan.
Di kursi belakang, April duduk diam saja. Biasanya dia juga diam, dia jarang memulai pembicaraan kalau nggak diajak ngorbol duluan kecuali dengan keluarganya dan Jun. Mei paham, kalau perangai adiknya ini bertolak belakang dengannya. Dia bukan matre, dia cuma realistis. Dan sebagai perempuan, wajar dong, menginginkan atensi dan sedikit kemewahan. Wanita kan memang diciptakan dengan insting yang selalu mengejar itu. Jadi Mei merasa nggak salah dengan sifatnya.
Lagipula, dia tidak pernah sampai membahayakan hidup orang lain dan menggadaikan kehormatannya secara individu maupun keluarganya untuk mewujudkan apa yang dia mau. Jadi sah - sah saja, dong. Kebetulan, dia punya pekerjaan yang bagus, yang bisa mencukupi hasrat hedonnya. Sebelum bekerja dan sebelum berpacaran dengan Didit, dia juga punya beberapa pacar yang kebetulan bisa mencukupi kebutuhannya. Oh, nggak kebetulan lagi, dia memang memilih mereka yang bisa mencukupi kebutuhannya. Tentu saja dengan memanfaatkan wajahnya. It works.
“Dek?”
“Hmm?” April menjawab melamun. Matanya masih menatap kosong ke luar jendela mobil. April jarang melamun. Matanya selalu berbinar dan fokus pada sesuatu. Itu yang membuat April menarik. Matanya April cantik. Kepribadiannya cantik. Otaknya pun cantik. Mei harus mengakui bahwa dia kalah dari April untuk tiga point tersebut. Tapi urusan wajah, dia berani diadu.
“Malem minggu kemaren bukannya lo bilang keluar sama Bang Jun? Kok pulangnya dianter motor matic?”
April menengok padanya dengan tatapan setengah terpejam. Hanya menunjukkan kalau dia memperhatikan, tapi wajahnya seperti berharap kalau hal ini nggak akan pernah dibahas lagi. Kenapa? Mei jadi semakin penasaran kalau ditutup - tutupi begitu.
“Gue pulang sama Janu.” April menjawab singkat. Tanpa menjelaskan apapun.
“Janu yang nganter lo pulang malem - malem minggu kemaren?” Dia memastikan.
“Janu tuh, cowok lo, Pril?” Didit di sebelahnya nyeletuk. Dia memberi isyarat dengan sudut matanya, menggeleng sedikit, memperingatkan Didit untuk nggak menanyakan ini pada April lebih jauh lagi.
“Iya.”
“Kok bisa sama Janu padahal lo pergi sama Jun? Atau lo bohong sama Mama Papa?”
Didit manyun. Sebal karena dia nggak boleh tanya - tanya sedangkan dari tadi Mei terus bertanya pada April. Emansipasi sih emansipasi, tapi kan ini namanya nggak adil!
Mei mengumpat dalam hati saat tau - tau mereka sudah sampai di depan kantor April. Lah kok sudah sampai?! Cepet banget sih! Kan harusnya butuh lima belas sampai dua puluh menit ke sini? Mana pertanyaannya belum dijawab sama April. Aduh, nggak bisa konsen deh dia ini.
“Gue emang pergi sama Jun. Tapi ditinggal, dia ada janji sama temen kencannya. Jadi gue pulang sendirian terus ketemu Janu. Janu yang anterin gue pulang. Gue masuk dulu, Kak. Makasih Bang Didit.”
***
“Udah dong, Beb. kamu udah dari tadi loh misuh - misuh terus maki - maki si Jun. Kamu bilang aku nggak perlu khawatir tentang hubungan kamu sama Jun. Tapi kalau kayak gini, gimana aku nggak cemburu coba… Astaga!”
Mei dengan bar - bar menepuk mulut Didit yang sembarangan bicara tentang hubungannya dan Jun.
Mei sampai capek sendiri sudah berkali - kali mengatakan dan meyakinkan pada Didit bahwa dia dan Jun nggak ada hubungan apa - apa selain Abang dan Adik. Yah, walaupun dulu dia dan Jun pernah saling icip dan sedikit kebablasan karenanya, tapi serius, mereka nggak ada apa - apa.
Saat itu, Jun hanya ingin membantu Mei karena dia bilang dia penasaran akan sesuatu, tapi ternyata malah hasilnya di luar ekspektasinya. Dan karena itu, dia jadi punya senjata untuk menggali sesuatu yang sebenarnya sudah lama dia curigai tapi masih hanya berupa spekulasi.
Perasaan April pada Jun.
Mei biarpun self - centris, tapi dia peka untuk hal ini, ya! Dan dia gemes banget karena sudah lama bengat hubungan mereka ini nggak ada kemajuan yang berarti. April sama Jun santai, dia ini yang kelojotan gemes sendiri.
“Makanya jangan ngawur kalo ngomong. Aku mikirin April, Yang.” Mei menjawab gemas.
“Ngapain April dipikirin. Orangnya baik - baik aja, nggak sakit gitu, loh.”
“Dasar kamu, Yang. Nggak peka.”
Mei mencibir Didit yang nggak peka sama keadaan. Yah, cowok sih, ya. Wajar.
Dengan cowok yang berstatus tunangan ini, dia sudah amat nyaman sekali sampai sudah lupa bagaimana caranya jaim kalau di depan Didit. Mereka sudah berhubungan sejak… Bahkan Mei lupa berapa lama mereka bersama. Tiga tahun? Empat tahun? Atau lebih lama ya?
Awalnya, sama seperti pacar - pacarnya yang dulu, motifnya berpacaran dengan Didit tentu saja karena cowok ini bisa dijadikan supir dan ATM berjalannya. Terdengar tak punya hati? Dia yakin Didit juga begitu kok awalnya. Hanya memacari Mei karena dia cantik dan classy sehingga nggak akan malu - maluin kalau diajak jalan atau nongkrong.
Tapi lama - lama perasaan Mei jadi lebih tulus. Didit berbeda dengan cowok - cowok yang selama ini dikencaninya. Didit nggak ragu buat bantuin dia kalau dia lagi dalam masalah. Dulu, Mei sama seperti April. Dengan orang yang bukan keluarga ataupun teman dekat, dia akan menjaga jarak sejauh mungkin. Menyimpan rapat masalahnya dan tak akan membaginya.
Dan ternyata Didit melihat Mei seperti itu. Cowok itu sering sekali menghibur Mei saat dia butuh penghiburan. Saat Papa terkena PHK padahal saat itu April belum lulus kuliah, dan Nenek sakit keras. Walaupun April kuliah dengan beasiswa dan nyaris tak pernah meminta sedikitpun dari Mei dan Papa, tapi itu justru yang membuat Mei kepikiran.
Biar bagaimana pun, Mei ini anak sulung. Dan dia tau apa yang akan dihadapi April menjelang kelulusan. Didit membantunya. Awalnya tentu saja ditolak mentah - mentah oleh Mei. Dia nggak mau merasa berhutang budi. Walaupun status Didit adalah cowoknya, mereka memulai hubungan ini bukan dengan perasaan yang tulus.
Hubungan mereka tak pernah sepi. Didit bukan cowok yang mau mengalah hanya karena Mei cewek. Dan Mei adalah cewek dengan gengsi yang tinggi. Mereka lebih sering saling teriak daripada saling mesra - mesraan. Dalam urusan ranjang sekalipun. Yah, Mei dan Didit bukan pasangan yang gaya berpacarannya innocent. Dari awal, Didit tau kalau bagi Mei, dia bukan yang pertama. Dan Mei juga tau bahwa Didit nggak mengharapkan gaya pacaran ala anak SMP yang hanya cukup gandengan tangan saja bersamanya.
Dan lama - kelamaan, perasaan mereka pun berubah menjadi lebih mutual dan saling membutuhkan layaknya pasangan kekasih beneran. Mei nggak berpikir dua kali untuk mengiyakan saat Akhirnya Didit melamarnya. Hanya saja, dia meminta Didit menunggu sebentar. Dia ingin memastikan April bisa berdiri sendiri secara emosional dan financial sebelum dia bisa fokus dengan keluarga kecil yang akan dia bangun dengan Didit.
“Kok aku yang nggak peka.”
“Dia lagipatah hati tau.”
“Gara - gara si Janu itu?”
Kok jadi Janu, sih?! Mei memukul pelan lengan Didit, membuat tunangannya itu kembali mengaduh.
“Kayaknya kau harus kasih Bang Jun pelajaran, deh. Nggak banget sih dia jadi cowok! Pantes jadi perjaka tua!” Bukannya menjawab, Mei malah mengancam Jun. Mengepalkan tangannya gemas nggak habis pikir.
“Kok jadi Jun lagi, sih??
“Ih, Sayang. Terus siapa lagi? Aku mau hajar itu Bang Jun karena udah bikin April sakit hati. Bukan gitu caranya treat cewek yang kita suka, tau!”
“Hah? Siapa nih? Jun? Suka sama April? Atau April suka sama Jun?”
PS: Hai hai, enaknya bulan depan aku lanjut tetep update April sama Jun, atau hiatus dulu dan update karyaku yang judulnya Nyanyian hujan dulu ya? Jangan bilang update dua2 nya aja, Kak, karena aku nggak akan kuat gais hiks T_T
Kasih tau menurut kalian gimana di komen ya