EMPAT PULUH LIMA: MISSION BEGIN

1192 Kata
“Bang Jun~!!! Assalamu’alaikum!" Mei terkikik geli mendengar dirinya sendiri. Ada ya, orang mau ngajakin maksiat tapi salam dulu. Sama kali kaya dia yang tetep baca bismillah kalau mau minum amer. Memang dia nih yang unik. Rumah Jun sepi. Biasa kalau jam segini Bunda sih, yang masih ada di depan TV biasanya. Yah sebelas dua belas sama Mama. Apalagi kalau nggak lagi gandrung sinetron? Iya itu yang lagi heboh banget di seantero jagat. Sampe masuk infoteinment gosip juga. Kebetulan Mei memang nggak terlalu suka nontot TV. Untuk yang satu ini, dia berbagi kesamaan dengan April. Tapi bedanya, Mei lebih suka hangout dengan para pacarnya dari dulu, sedangkan April lebih suka di dalam kamar nonton film sendiri atau nonton drama korea. Dari dulu April memang anak rumahan. Anak baik. Mei masuk sampai ke ruang tengah. Dahinya mengernyit karena nggak menemukan makhluk hidup lain selain dirinya. "Pada kemana deh, sepi amat ini rumah." Gumamnya heran. Tapi tentu saja hal seperti itu tidak meruntuhkan niatnya. Dia langsung menuju ke kamar Jun dan mengetuknya. Tok! Tok! Tok! "Bang Jun. Abaaang," Dia menunggu setelah mengetuk. Di dalam kamar terdengar suara gaduh seperti orang jatuh, membuatnya mengernyit heran. Sebenarnya Bang Jun ngapain di dalam? Jangan bilang lagi solo? Eww! Mei bergidik karena pikirannya. Cklek! "Elo, Mei." "Astaghfirullah, anak bujang jam segini udah molor?" "Capek banget nih, dari kemaren baru kelar. Ini tadi ketiduran dari sore. " "Ih bablas tuh, pasti kelewat maghribnya tadi." Mei mencibir Jun. Sekarang gantian Jun yang memandangi Mei dari atas ke bawah, lalu fokusnya berhenti pada rambut setengah basahnya. Dan balik mencibir. "Gaya lo. Lo juga kelewat kan tadi." Mei melotot. "Ngawur! Gue Maghrib ya tadi." "Maksudnya maghrib - maghrib begituan sama si Didit?" "Astaghfirullah, sebejat - bejatnya gue, gue nggak pernah ya begituan paa adzan. Sembarangan!" Juni terkekeh melihat wajah Mei yang merah dengan mata melotot - melotot. "Terus lo ke sini mah ngapain?" Mei mengangkat plastik yang dibawanya. Bibirnya meringis lebar. Membuat Jun lagi - lagi mencebik. "Gaya lo astaghfirullah - astaghfirullah, sholat, tapi mau aja dinaikin sama Didit, masih ngajakin mabu pula." Mei merengut sebal. Dia menghela nafas meminta kesabaran tiga kali lipat untuk menghadapi Jun. Dia minta tiga kali lipat karena dia tau, sabarnya sedikit. Jadi kalau cuma dikali dia nggak cukup. "Seenggaknya ye, gue masih sholat, masih inget Tuhan. Kalo gue nunggu sholat gue diterima sama Tuhan, kapan gue sholatnya? Keburu mati dong gue! Lagian kan nggak tiap hari begininya. Ini kalo nggak besok lo ulang tahun juga gue nggak bakal ngajakin! Are you in or not?" "Di belakang ya." "Iyalah." "April nggak ikut?" "April pergi sama si siapa itu temennya, Juna?" "Janu. Kemana?!" Sebenarnya sih Mei nggak tau April pergi sama siapa. Tadi tanya sama Mama cuma bilang adiknya itu belum pulang. Dia sok ngide aja ini bilang kalau Aprilnya lagi pergi sama Janu. Pengen tau reaksi Jun. "Mana gue tau. Gue tunggu belakang ye." *** Saat melewati ruang tengah, Mei sama sekali nggak menemukan keberadaan Bundam Mungkinkah sudah istirahat? Tapi pintu depan nggak dikunci? Rumah mereka walaupun memiliki luas yang sama, tetapi interior dan tatanan dalamnya jauh berbeda. Rumahnya adalah default asli saat pertama kali rumah tersebut dibeli Papa hampir tiga puluh tahun yang lalu. Tak pernah di renov. Hanya ruang makan yang di rombak dan sekarang menjadi kamar April. Sedangkan rumah Jun, tatanan rumahnya lebih modern. Di dapur ada kitchen set dan juga island teble kecil yang berfungsi sebagai meja makan juga. Di rumahnya, hanya ada kitchen set yang baru - baru ini di pasang. Tepatnya setelah dia memiliki penghasilan sendiri. Mei berjalan menuju ke halaman belakang. Ini juga yang membedakan antara rumah Jun dengan rumahnya. Halaman belakang Jun luas. Cukup luas untuk hitungan halaman belakang rumah yang berada di sebuah kompleks perumahan. Mei menuju ke pojokan mengambil segulung tikar dan menggelarnya. Tikar saja, malas kalau harus angkat meja dan kursi lipat sendiri. Halaman belakang ini memang fungsinya adalah tempat berkumpul. Hajatan di sini, acara keluarga di sini, ulang tahun di sini, arisan Ibu - ibu kompleks juga di sini. Makanya di pojokan situ ada banyak tumpukan tikar dan meja serta kursi lipat. "Ck! Lama." Dia berdecak saat melihat Jun akhirnya keluar menyusulnya. Sudah memakai kaus dan berganti celana juga, nggak cuma boxer doang kaya tadi. "Nggak sabaran." Jun membalas. "Nggak gentle, nyuruh cewe nunggu." "Sekali - kali lah. Masa gue mulu yang nungguin cewe. Emansipasi!" Mei menggeleng nggak habis pikir. Jun itu mulutnya lebih julid dari dia dan April. Tapi memang nggak bisa dibandingkan sih. Dia dan April kan nggak julid. Malah mereka cenderung cuek sama urusan orang. Prinsip mereka, ngapain ngurusin urusan orang kalau urusan sendiri aja keteteran. Selo banget. "Lah, Bang lo nggak bawa gelas. Ambilin napa." "Lah lo pimter banget nggak ambil sekalian?!" "Ish protes mulu. Ambilin buruan!" Jun nggak punya pilihan lain selain menurut. Mei kalau nggak diturutin, bakal merepet nggak habis - habis. "Nih." Katanya meletakkan dua buah gelas di atas tikar saat dia kembali. Mei dengan cekatan menuangkan minumannya ke masing - masing gelas dan kemudian memberikan salah satunya kepada Jun. "Hari terakhir lo umur tiga puluh, Bang. Beberapa jam lagi nolnya netes jadi angka satu." "Ini nyelametin apa ngeledek, udah, gue nggak tau." Mei mengedikkan bahu dan membenturkan gelas mereka pelan sebelum menengak isi gelasnya. "Suka - suka lo mau ngartiin gimana." Mereka kemudian terdiam selama beberapa saat. Saling merenung. Mei sendiri sedang memikirkan pertanyaan yang pas yang nggak membuat Jun curiga tentang malam Minggunya bersama April kemarin. Tapi dia malah keduluan Jun. "Didit nggak marah, lo ke sini lagi?" Memang sejak bulan lalu, tepatnya sejak insiden Nenek di perayaan ulang tahun Mei, Mei mewanti - wanti agar Jun jaga jarak dulu dengannya. Bagi Didit, Jun adalah ancaman terbesarnya. Mei sampai capek sendiri mengingatkan kalau dia dan Jun itu nggak pernah ada apapun. "Gue udah ijin lah. Kan gue calon istri yang baik." Jun sontak tertawa terbahak - bahak. "Preet. Nggak ada calon yang baik yang malah bangga - banggain ciumannya sama orang lain di depan calonnya." Selain amer, Mei juga membawa beberapa snack untuk teman minum. Salah satunya adalah tortilla chips. Dan karena hanya itu yang bisa dilempar pada Jun, akhirnya dia mencakup dan melemparkannya pada cowok itu. "Pantes April males sama lo. Mulut lo nggak nyenengin." "Itu April aja yang nggak tau kalo mulut gue bisa kaaih dia sesuatu yang nyenengin. Coba dia mau kepo dikit terus tanya lo." Mei memandang Jun dengan wajah jijik. Pendekatan model begini sih kalo buat April mental. April bukan cewek yang menye - menye yang langsung meleleh setelah digombalin. Yang ada April kabur sambil muntah - muntah. "Jadi akhirnya lo PDKT terang - terangan sama April, Bang? Udwh mantep jadi adik ipar gue?" "Maksud lo apaan, sih." Jun mengelak, menuang sendiri minuman ke dalam gelasnya san menenggaknya dalam satu kali tegukan. Wajahnya mengernyit saat tenggorokannya terasa terbakar karena efek alkohol. Rasanya Mei ingin menggebuknya dengan botol minuman yang dibawanya. Dia udah nge gape in begini, tapi Jun masih nggak mau ngaku. Gue comblangin April sama yang lain baru tau rasa lo! Batin Mei geram. "Lo ngajakin dinner April ke resto yang pernah gue rekomendasiin?" "Yap. Tapi gue tinggalin dia di sana sendiri." PS: Nah, lunas yaaaa double up nyaa ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN