“Hah? Siapa nih? Jun? Suka sama April? Atau April suka sama Jun?”
“Sayang! Yang bener, dong!” Mei berseru saat Didit mendadak mengerem mobilnya.
“Yang mana yang bener?”
Wah, minta di getok memang ini si Didit. Mei melotot sebal. Didit baru saja mengerem mobilnya di tengah jalan, dan bikin mereka nyaris saja mari konyol sia - sia ditabrak oleh pengguna jalan yang lain.
“Nyetirnya ih yang bener. Kita belum jadi nikah, jangan mati dulu!” Sentak Mei kesal luar biasa.
“Ih, Beb, amit - amit. Masa ngomongnya mati - mati udah?” Didit nggak terima, menoleh pada Mei sambil melotot.
“Ya makanya yang bener.”
“Kamu juga yang bener. Ditanyain juga dari tadi nggak jawab - jawab.”
“Iya, iya dua - duanya bener. Mereka berdua sama - sama naksir satu sama lain.”
Didit bersiul, mulai menjalankan mobilnya lagi karena sudah di klakson beberapa mobil di belakangnya. Kalau didit nggak ngebut sedikit, mereka berdua bakal telat masuk kantor ini.
“Terus? Kenapa mereka nggak jadian?”
“Kalo aku tau emangnya aku bakal nanya - nanya April tadi? Ngebut, Yang! Telat kita, ih”
***
Dan ternyata keadaan April yang mendadak jadi cengar cengir kalau ada dia atau Papa dan Mama nggak cuma sehari itu. Besoknya pun masih berlanjut. Mei nggak tahan! Serius, dia jadi geregetan sendiri. Jadi malam ini dia berinisiatif buat nyamperin Jun. Kalau dia beruntung, sekalian nempelang si Abang jadi - jadiannya itu karena udah bikin adiknya jadi begini. Bagian terakhir itu, bukan karena Mei nggak berani, cuma Jun itu kan badannya dua kali lebih besar dari Mei ya, jadi dia harus lihat sikon nanti. Kalau gegabah, salah - salah dia yang kena banting sama Jun.
Ditinggal sendirian demi janji kencan sama cewek lain, katanya?! Walaupun bukan Mei yang mengalami, rasanya Mei juga merasakan kekecewaan dan kemarahan April. Jun ini kok nggak gentlemen banget, sih jadi cowok!
“Kok beli begituan?” Didit mengernyit bingung saat pulang kerja hari ini Mei meminta untuk mampir ke minimarket besar dan mengambil beberapa botol bir.
Memang sih, sejak sama Didit, Mei sudah jarang melarikan diri pada cairan haram itu. Ceritanya taubat. Lagian, dia suka nggak enak kalau ketahuan Mama pas mabok. Tatapan terluka Mama itu loh. Nggak kuat dia. Dari kecil di ajarin yang baik, disekolahin yang bener, diajarin ngaji sama ilmu agama, masa gedenya temenan sama amer dan sek* bebas? Tapi pembelaan Mei sampai saat ini sih, karena dia hidup di lingkungan kayak gitu. Jadi terbawa pergaulan. Dia bakal coba buat ngurangin, tapi kalau buat lepas seutuhnya, masih agak susah.
Tau sih, ini cuma alibi saja. Dosa kok pake alasan. Dosa ya dosa aja, ganjarannya jadi teman setan nanti di neraka. No tawar - tawar club. Tapi mei juga bukannya yang nggak ingin lepas dari dunia itu kok. Dia tuh sirik minta ampun kalaiu lihat April. April itu contoh anak baik, yang nggak pernah terpengaruh oleh Hedonnya dunia. Makanya, dia juga mau jaga April biar adiknya itu tetep lurus. Yang penuh soda sampai berbuih biar dia aja, eh, maksudnya dosa. April biar tetap murni kaya s**u.
“Malam ini aku mau main ke tempat Bang Jun ya, Yang. Jangan digangguin dulu.”
“Mau ngapain?!” Didit berseru nggak terima. Ya jelas nggak terima. Siapa yang mau terima ceweknya, bukan, Mei kan tunangannya, bukan ceweknya lagi. Tunangannya bilang mau main ke rumah tetangganya yang merupakan akar dari rasa cemburunya, bawa amer dan bilang jangan diganggu. Pikiran cowok mana yang masih bisa inosen di saat begini?!
“Aku ikut.” Mei melotot saat Didit bilang mau ikutan.
“Ya jangan, dong!” Bisa - bisa rencananya buyar, dan dia cuma dapet maboknya aja kalau Didit ikut. Ini tunangannya gimana sih, mau bantuin apa nggak?!
“Kok nggak boleh?!”
“Aidit Syahputra, kalo kamu ikut, nanti yang ada Jun nggak jadi cerita tentang malam kemaren dia ninggalin April ke resto, dan sia - sia aku bawa amer dua botol ini ke rumah dia. Info nggak dapet, mabok iya.”
“Oh.” Didit menganggu - angguk, mulai paham kemana maksud Mei.
Sementara Mei yang di ‘oh’ in sama Didit sudah manyun - manyun nggak karuan.
“Tapi harus banget kalian berdua aja?” Walaupun sudah ‘oh’ tapi Didit tetap saja nggak rela. Mei kan tunangannya. Dan ide kalau Mei akan menghabiskan malam sambil minum - minum dengan Jun membuatnya nggak senang. Sama sekali nggak senang.
“Terus sama siapa lagi? Ngajakin Mama? Atau Bunda? Kamju yang bener aja dong, Yang. Ih, serius aku nggak bakal macem - macem di sana. Kamu masih sok cemburu aja ama Bang Jun.” Mei manyun karena merasa dicurigai.
Tapi ternyata Didit tak goyah dan malah ikutan cemberu. “Gimana nggak cemburu. Dia cowok yang kamu bangga - banggain ciumannya sebagai one of the best kiss. Berasa aku apaan.”
Mei terenyum melihat Didit yang ngambek begini. Cepat - cepat dirangkulnya pinggang tunangannya itu dan dielus - elus punggung bawahnya. Mei itu mungil. Kalau April masuknya kategori jenjang, maka dia itu pendek. Dengan heels setinggi dua belas centimeter begini saja, dia cuma sebatas leher bawah Didit. Padahal Didit nggak tinggi banget loh. Cuma 178 aja, selisih dikit sama April. Tapi memang Jun itu raksasa sih, Didit pun mengakui itu. Jun tinggi banget, dan bahunya lebar banget, jadi kesannya lebih mirip Arnold Swazeneger.
Mereka masih di antara rak - rak mini market. Milih barangnya sih sudah. Mereka hanya masih di situ karena Didit agak ngambek saja.
“Sayangku ngambek, ya. Cemburu?” Katanya menggoda Didit dan memasang tampang super innocent. Sesuatu yang Mei tau amat disukai Didit. Apalagi kalau dia pakai seragam sekolah atau seragam suster, sambil nunggu Didit pulang kerja di apartemen cowok itu.
“Dam* jangan mulai. Jangan di sini.” Didit menolah noleh mengecek beberapa pengunjung yang ada di dekat mereka. Mereka nggak beruntung. Jam pulang kerja begini, supermarketnya lumayan rame. Dia jadi nggak bisa membalas Mei. “Ayo ke kasir, Bisa - bisa kita nanti viral kalo lama - lama di sini.
Berhasil! Mei bersorak girang dalam hati walaupun yang terlihat di luaran dia sedang tersenyum biasa saja. “Bisa jalan?”
“Jangan mulai, kamu, Beb, Abis ini kita pulang dulu ke apartemen ku.” Dia langsung menyeret Mei dan membawa keranjang belanjanya langsung ke meja kasir. Untungnya nggak antri. Mungkin pelanggan lain masih ingin sibuk berbelanja, jadi kasir sepi.
Setelah selesai bertransaksi, Didit nyaris menarik Mei menuju mobilnya, dan buru - buru menarik tunangannya itu naik ke atas pangkuannya segera setelah pintu mobilnya tertutup.
“Kamu tanggung jawab. Ada yang lagi ngamuk.” Didit berkata di sela ciuman mereka dan sengalan nafasnya yang satu - satu.
“Di sini? Nggak jadi di apartemen?” Mei berkedip.
Meskipun kaca film di mobil Didit lumayan tebal, tapi tetap saja berpotensi ketahuan orang lain.
“Cium sekali lagi, abis itu kita ke apartement. Bisa gila aku lama - lama.”
Tak sampai sedetik setelah Didit mengucap kalimat tersebut, bibit mereka kembali beradu dan terpagut. Saling mencoba mendominasi satu sama lain, tak ada yang mau mengalah. Mintanya memang ciuman aja, tapi blouse Mei jadi tau - tau sudah melorot hingga bahunya kelihatan. Suara desahan dan erangan juga bersahut - sahutan, membuat kaca mobil Didit seketika mengembun. Semoga nggak ada satu makhluk hidup pun yang kebetulan lewat di dekat sana. Kasihan mereka, kena polusi suara. Suara doang sih nggak papa. Kalau suaranya bisa bikin mupeng kan repot.
“Bang Jun is indeed a good kisser, but not as good as you, Sayang.”