ENAM PULUH TIGA: WE DON'T TALK ANYMORE

1363 Kata
“Nyalon segala, mo buat apaan?” “Kakak gue dua hari lagi lamaran. Ya kan masa gue dateng buluk. Diambeg nanti gue.” Jawaban Janu selanjutnya membuat cowok itu sukses mendapatkan toyoran sebal April tepat di kepalanya. Untung April masih ingat kalau Janu itu baik dan masih bisa dimanfaatkan. Berasa barang layak pakai aja, masih bisa dimanfaatkan. Jadinya April cuma kasih toyoran aja. Bukan sesuatu yang lebih bar - bar yang sebenarnya ingin April lakukan padanya. “Ngapain nyalon, biasanya juga lo asal dateng. Kaya ondel - ondel juga nggak masalah.” “Janu nggak peka, ih.” “Udah gue bilang tadi, kan. Makanya dia jomblo.” April ngegas, masih sebel dengan ledekan Janu.  Janu nggak tau aja kalau April aslinya sensitif banget sama komenan model begitu. Komen - komen yang menyangkut fisik dan penampilannya. Tapi karena mereka sedang di kantor dan kedua temannya ini bukan orang yang dekat banget sama dia secara emosional, akhirnya dia cuma diam saja. “Gue nggak tau, sih, ini masuk ke budget lo apa nggak, tapi gue ada langganan di perempatan deket traffict light dekat pasar besar. Nanti gue kasih lo nomornya deh.” “Aaa makasih Septi! Lo emang ibu peri gue, nggak kayak seseorang!”  Janu langsung menoleh nggak terima ke arah April dengan mulut penuh. Terlihat sekali wajahnya dibuat seakan - akan dia amat sakit hati gara - gara perkataan April. Dia merasa terdzolimi. Kurang baik apa padahal dia ini sama April? Masih saja dinistakan. “Btw, gue udah selesai makan nih. Gue langsung balik turun ya, gue nggak mau sampe lembur - lembur apalagi bawa kerjaan pulang. Thanks, Jan, makan siangnya. Pan kapan gantian gue yang traktir. Babaii.” *** Jun sampai di ruangan kantornya setelah dealing terakhir dengan vendor. Mereka sudah saling sepakat. Tinggal tunggu tim Pak Ano bikin reservasi saja. Layer pertama pekerjaan tambahannya sudah selesai. Dia capek luar biasa. Lahir dan batin. Rasanya seperti bagian dalamnya kosong.  Dia nggak bisa memutuskan apakah ini langkah yang bagus. Dia sibuk banget seminggu terakhir. Dan masih akan tetap sibuk sampai seminggu berikutnya. Saking sibuknya, dia jadi belum punya waktu untuk ngobrol dan menjelaskan semuanya pada April. Setelah malam itu, seolah - olah dia menghindari April. Bukan maunya. Dia ingin menjelaskan semuanya, tapi dia belum menemukan saat yang tepat. Tipikal cowok. Selalu mencari waktu yang tepat, bukan menyesuaikan dengan waktu yang ada. Dan inilah akibatnya. Nggak ada yang tepat. Dia dan April malah semakin jauh dari hari ke hari. Setiap hari, paling dia hanya melihat April sebentar sebelum keluar untuk tugas dadakan yang dibebankan padanya oleh Pak Ano untuk membantu persiapan ulang tahun kantor. Dan di waktu singkat itu dia nggak bisa fokus pada hal lain karena harus menyelesaikan tanggungan pekerjaannya sendiri agar operasional kantor masih tetap jalan.  Dia mengernyit melihat meja April yang berantakan tapi orangnya nggak ada. Dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Ah, masih jam makan siang. Mungkin masih makan? Di Rooftop? Awalnya dia ingin mengajak April makan di luar. Mumpung hari ini pekerjaan mereka nggak terlalu banyak, dia mau meluruskan kesalahpahaman di antara mereka tempo hari. Dia sudah menolak ajakan genit sabrina yang selama seminggu kemarin harus menjadi partnernya mencari vendor dan dealing dengan mereka. Seminggu yang amat berat bagi Jun, kalau boleh jujur. Tapi sepertinya April nggak se selo itu dilihat dari banyaknya tumpukan kertas dan map yang berserak di mejanya. “Sibuk banget dia kayaknya. Padahal kayaknya gue tadi pagi nggak kasih kerjaan banyak,” gumamnya heran.  Dia mengambil selembar kertas acak dari meja April dan membacanya sekilas.  “Daftar undangan… ini bukannya seharusnya tugas devisi acara? Ngapain dia yang ngerjain?” Jun mengernyit heran.  Dia mengambil lembaran lain dari meja April. Masih sama. Hampir semua yang berserakan adalah hal - hal yang berkaitan dengan anniversary perusahaan. Dia jadi gusar. Anak ini, apa dia nggak ngerjain tugas yang dia kasih? Kenapa malah ngerjain hal - hal beginian? Kan udah ada bagiannya masing - masing?! Dengan perasaan geram dan gusar, dia keluar dari kantornya. Mengunci pintunya dengan kunci cadangan yang dia bawa. Masing - masing April dan Jun bawa satu kunci ruangan. Ruang para menejer, menejer editorial, menejer finance, HR, IT, Operational, semuanya harus dikunci saat tidak ada yang berjaga di dalam. Itu untuk menghindari terjadinya hal a- hal yang tak diinginkan. Dulu pernah ada kejadian laporan audit mereka leaking sebelum waktunya, dan itu dimanfaatkan oleh perusahaan pesaing untuk menggaet klien cetak mereka. Makanya dibentuklah tindakan jaga - jaga seperti ini. Agak ribet. Tapi dari pada rugi. Jun menaiki lift menuju rooftop. Tempat yang paling mungkin didatangi April untuk makan siang. Gadis itu jarang sekali makan di luar kantor. Seringnya nitip pada OB yang setiap jam makan siang akan berkeliling mengumpulkan orderan para karyawan, pesan dari layanan pesan antar makanan atau nitip sama temannya. Dia sampai di lantai tertinggi gedung kantornya dan segera keluar. Membuka pintu menuju rooftop dan langsung memaki dalam hati. “Ini nih, alasan kenapa gue nggak pernah mau makan di kantor.” Jun mengerem langkahnya cepat - cepat dan bersembunyi di balik tembok sebelum aula besar berisi meja - meja berpayung atap yang tersebar di seluruh rooftop yang sekarang nyaris penuh dengan para karyawan yang sedang beristirahat. Dan dari semua itu, terlihat jelas di sana mereka yang menamai mereka dengan sebutan fans nya.  Jun sampai merinding membayangkan kalau mereka sampai melihatnya di sini.  “Amit - amit jangan sampe.” Sepagian tadi dia sudah menguatkan diri dengan Sabrina yang tingkahnya dari hari ke hari semakin bikin pusing dan bikin emosi. Penolakan dari yang halus sampai terguran dengan nada tersinggung sudah pernah dicoba Jun. Mental. Malah tadi saat di parkiran kantor sebelum turun dan masuk ke dalam gedung Sabrina dengan nekadnya bilang hal ini padanya, Flashback “Saya tau kalo Mas Juned bukan orang yang suci. Wanita dan dunia malam bukan hal baru buat Mas Juned. Saya nggak masalah kalau Mas Juned hanya pakai saya sekali. Saya rela, kok. Mas Juned masa sih, nggak tertarik sama sekali sama saya?” Jun nyaris berteriak saat Sabrina malah berpose nggak jelas sehingga rok pendeknya jadi semakin pendek membuat pahanya nyaris tak tertutup apapun dan kedua aset wanita di atas perutnya yang harus Jun akui ukurannya di atas rata - rata wanita seukurannya terpampang jelas di depannya karena Blazer yang awalnya dikenkan wanita itu kini terbuka, hanya menyisakan tanktop putih saja. “Sekali aja, Mas. Abis itu saya ikut deh, kata Mas. Kalau mau lanjut, saya nggak akan keberatan. Saya cuma pengen punya momen kebersamaan sama Mas Juned yang bisa saya ingat seumur hidup saya.” Jun melongo. Ini barusan… Kok bisa, sih?! “Rin, kamu sadar, kan, barusan kamu itu ngomong apa? Apa pantes cewek…” “Sadar. Sadar banget, malah. Pantes nggak pantes sih, tergantung Mas lihatnya kayak gimana. Bagi saya, yang sudah berjuang bertahun - tahun agar dinotis oleh Mas Jun, ini adalah bentuk keputusasaan saya. Bagi seorang wanita yang mendamba seseorang yang amat dekat tapi nggak bisa digapai, ini adalah bentuk usaha saya. Tapi kalau dilihat dari kacamata wanita baik - baik, ya jelas nggak ada etisnya sama sekali.” Jawabnya acuh, mengedikkan bahunya. Membuat blazer yang awalnya hanya menempel saja di bahunya kini melorot, sehingga bahu putih terawatnya itu terekspos bebas di depan mata Jun. Jun menelan ludah, membaca istighfar serta sholawat dan apapun yang kebetulan lewat di pikirannya saat ini agar tidak tergoda. Kalau masalah badan oke, Sabrina amat memenuhi persyaratan oke tersebut. Wajah juga Sabrina cantik. Meski memakai kacamata, tapi dandanannya selalu on point. Tapi lagi - lagi, senakal - nakalnya Jun, dia punya batasan untuk nggak  “Sudah, Rin. Lupain yang barusan kamu omongin. Kita anggap kamu nggak pernah ngomong ke saya tentang itu…” “Kenapa? Mas Juned nggak usah munafik. Saya lihat kok mata Mas Juned ke mana aja. Dan saya juga lihat Mas Juned tertarik sama saya.” Jun menelan ludahnya susah payah saat Sabrina menekankan kata tertarik sambil melihat ke pangkuan Jun.  Si*l! Dia ketahuan, ini? Jun mengusap wajahnya gusar. “Kamu bener, saya bukan orang suci. Tapi saya punya batasan. Dan kamu adalah kolega saya di kantor. Saya nggak mau gara - gara ini kita jadi nggak professional kerjanya. Seharusnya kamu juga berpikir sejauh itu sebelum bertindak sejauh ini, Rin.” Flashback End
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN