Jun duduk kembali, urung beranjak dari mejanya saat melihat April masih sibuk berkutat di depan komputernya. Diangkatnya pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Dua jam lagi acara lamaran Mei akan dilangsungkan. Kalau mereka nggak pulang sekarang, mereka bisa jadi telat mengikuti acaranya.
Padahal cewek itu dari semalam sudah ribut menerornya lewat pesan singkat dan chat untuk nggak telat di acaranya hari ini.
“Lo nggak pulang?”
Kepala bercepol longgar dengan beberapa juntaian anak rambut yang membingkai wajahnya itu tersentak, mendongak padanya.
“Ya?” Tanyanya.
“Lo nggak pulang? Acara Mei bentar lagi dimulai.”
“Hah?” Dengan linglung dia mengecek jam di bagian pojok kanan bawah desktopnya, padahal dia memakai jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Tapi sepertinya April melupakan keberadaan benda penunjuk waktu tersebut. “Astaga, jam segini! Aduh, belum selesai. Tandain dulu, tandain.” Dia menggumam sendiri. Kebiasaan kecil April saat dia sedang gugup dan panik.
Jun diam saja di tempatnya memperhatikan April yang mulai membereskan pekerjaannya dengan rusuh. Bukannya tak mau membantu, tapi dia kangen banget melihat sisi natural April. Beberapa waktu ini, rasanya, April berubah bagai robot yang sudah di stel hanya untuk bekerja dan menjawab otomatis dengan ‘ya, Pak’, baik, Pak’, ‘oke, Pak’, saya follow up segera dengan pihak terkait’. Dan itu menyebalkan banget rasanya buat Jun.
Dan kalau dia mendekat selangkah saja sekarang, maka kemungkinan besar April lagi - lagi akan menarik diri.
April sudah selesai membereskan mejanya dan mematikan komputernya. Dia sedang mencari keberadaan ponselnya sambil bergumam.
“...jek, ojek… ojek…. Ayo, dong, dapet plis, jangan delai…”
Gantian Jun yang tersentak. April mau ngojek?! Padahal ada dia di sini?! Cewek ini! Sampai sejauh mana dia akan mengabaikan keberadaannya?! Akhirnya karena nggak tahan, dia bangkit menghampiri April dan merebut benda pipih yang sedang menampilkan suatu aplikasi transportasi online dari tangan April. Menutup semua aplikasinya dan mengantonginya di… saku celana. Kalau April mau ambil, silakan ambil sendiri, rogoh - rogoh celana Jun. Jun nggak keberatan, kok.
“Loh….”
“Lo pulang bareng gue. Kalau sampe lima menit nggak turun ke lobby, hape lo gue buang ke selokan depan.” Katanya datar dan langsung berbalik meninggalkan April yang terbengong hebat. “Jangan lupa matiin lampu sama kunci pintunya.”
***
April melongo sampai beberapa saat setelah Jun keluar dari ruangan mereka.
“Lah! Juni, kok lo asem bener, sih!” Serunya saat menyadari apa yang terjadi.
Buru - buru dia beranjak, meraih tasnya, mematikan semua lampu ruangan serta mengunci pintu sebelum melesak ke lift untuk mengejar Jun. Ini belum jam pulang, tapi Jun sudah membuat ijin untuk mereka berdua untuk pulang cepat, seolah - olah sedang ada urusan pekerjaan yang ditangani.
Sekarang sih, nggak begitu banyak yang julid kalau dia pergi berdua dengan Jun keluar kantor. The power of jabatan sebagai sekretaris Jun. Tapi April bukannya nggak tau kok, kalau masih suka ada yang julidin Jun dan dia. Bilang kalau dia godain Jun, jadi simpenan Jun, kasih Jun jampi - jampi, cuma pajangan aja soalnya April nggak becus kerja, banyak!
Hal - hal yang sekarang nggak terlalu dia pikirin. Nggak ada waktu buat mikir begituan dia sekarang. Dia punya goal yang lebih tinggi saat ini. Dan goal tersebut butuh banget perhatiannya.
Saat dia keluar dari lift di lantai lobby, Jun baru selesai ngobrol dengan Pak Ano. Mungkin tentang pekerjaan, tapi bisa juga mungkin, itu tentang rencana company anniversary kantor sedang sama - sama mereka persiapkan.
April sudah berjalan menuju Jun saat anak resepsionis memanggilnya.
“... tipan, Pak Jun.”
“Dari siapa, ya?” April mendengar Juni bertanya pelan karena dia sudah lumayan dekat dari tempat mereka berdiri.
“Wah, maaf, Pak. Saya kurang tau. Tadi dianter sama kurir c*m bilang ada kiriman buat Pak Jun, gintu aja. Saya juga cuma ngecek luarannya, polos, pak. Ngak ada apa - apaan lagi.”
“Oh, okay, nggak papa. Makasih, ya. Oh, April udah turun, Ayo langsung berangkat aja, Makasih ya.” Katanya ramah pada pegawai resepsionis.
Jun itu ramah, sama semua orang di kantor ini, ramah. Tutur bahasanya baik. Tapi seperti yang April tau pasti, setiap kali Jun ngobrol sama kaum hawa, pasti nggak akan melepas kecentilannya. Seperti yang barusan, seharusnya senyum saja cukup, tapi Jun masih juga menambahkan kedipan sebelah mata yang membuat gadis belia itu memerah sampai ke akar rambut.
April memutar matanya dan mengikuti Jun masuk ke dalam mobil. Demi ponselnya! Baginya ponsel masih barang mahal, dan dia belum mem budget kan tabungannya untuk ke arah sana sama sekali.
“Langsung pulang?” Jun bertanya. Jaga - jaga, mana tau April ternyata sudah bikin janji sama salon untuk acara malam ini. Meskipun suasana di antara mereka masih super canggung, tapi Jun nggak mau cuma diem aja. Cukup dia dicuekin sama April seminggu terakhir ini. Mumpung ada kesempatan, dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Singkat sih, tapi kalau bisa dia ingin meluruskan semua kesalahpahaman malam tempo hari dan meminta maaf.
April diam mendengar pertanyaannya. Badannya agak kaku sebentar. Kemudian dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu. “Boleh mampir ke toko ini?” Dia memberi kartu nama sebuah toko pada Jun.
“Toko?” Jun membaca tulisan berembos emas yang tertera di atas kertas persegi tipis berwarna dasar cream tersebut.“Nggak ke salon?” Tanyanya lagi melirik April sekilas sebelum kembali memfokuskan kembali pada jalanan yang padat di depan mereka.
“Nggak usah. Nggak ada waktu. Mepet banget.” Lagian gue bokek. Duit gue abis buat beliin lo kado ulang tahun tempo hari, tambahnya dalam hati.
Sebenarnya April gelisah. Takut kalau nanti Mei ngambek karena dia mengira April nggak menghargai acaranya dengan tampil seadanya saja. Padahal dia sudah kasih tahu jauh - jauh hari. April juga bukannya nggak berusaha. Tapi dia beneran bokek. Uangnya habis untuk beli kado Jun yang menurutnya mahal. Untuk bolpoin dengan harga di atas tiga juta, baginya itu harga yang mahal sekali. Tapi karena ini Jun, dan karena cuma setahun sekali, dia rela untuk menghabiskan separuh gajinya hanya untuk barang yang akan dia berikan pada Jun saja. Belum uang bulanan rumah, ongkos - ongkos dan sebagainya. Dan hadiah untuk lamaran Mei hari ini. Itu adalah uang terakhirnya. Dia banyak memesan taxi akhir - akhir ini. Apalagi alasannya kalau bukan cowok di sebelah kanannya ini. Dan ongkos taxi tentu jauh, jauh lebih malah daripada ojek biasa.
Sekarang, dia benar - benar tipis. Uangnya hanya bisa untuk bertahan sampai gajian berikutnya, yang mana masih sekitar sepuluh harian lagi.
April mengangguk mantap. “Iya, nggak papa. Nanti dandan sendiri aja di rumah.”
“Lo? Dandan sendiri?”
Itu bukan hinaan, kok. Itu fakta. Jadi April nggak akan marah karenanya. April memang nggak bisa dandan. Dia bahkan nggak tau bedanya eyeshadow merah dengan blush on, dan cream blush dengan lipstick. Sepayah itu.
“Eh… iya. Eh?!” April berseru bingung karena Jun sudah membelokkan mobilnya memasuki halaman sebuah salon yang lumayan terkenal di kota mereka.
“Turun. Dandan dulu sana, baru abis itu kita pulang. Jangan bikin mood Mei rusak. Ini hari bahagianya dia.”
Tentu saja apa yang Jun bilang itu bener, tapi rasanya bagai belati yang ditusukkan berulang - ulang ke tubuhnya. Sakit. Ini hari bahagia Mei. tentu saja Mei yang lebih penting.
“Eh, eh, Jun.” Jun membuka pintu penumpang dan setengah menyeret April turun. “Tunggu, Jun., tunggu!” April bingung luar biasa. Sakit hatinya sudah tercecer entah ke mana berganti dengan rasa panik. Dia beneran bokek! Sisa uangnya nggak akan cukup! Bahkan untuk service termurah di sini aja, masih kurang!
“Apa lagi? Kita nggak punya banyak waktu, Pril. nanti kalau kita telat, kita kena omel juga sama si Mei.”
“Gue….”
“Hmm?”
Mereka berdiri berhadap - hadapan di depan pintu salon yang kini sudah terbuka otomatis. Beberapa pasang mata yang ada balik meja resepsionis memandangi mereka dengan heran.
“Jun, gue bokek. Serius. Pulang aja, yuk. Gue dandan sendiri aja di rumah, nggak papa.” Akhirnya April mengaku juga dengan wajah merah padam.
Mengakui hal seperti ini, bagi April adalah sesuatu yang memalukan. Padahal sudah menjadi rahasia umum kalau keluarganya memang kondisi finansialnya bukan dari golongan yang lebih. Tapi entah. April nggak suka kalau dipandang sebelah mata sama orang orang lain gara - gara kondisi ekonominya. Dan dia baru saja melanggar hal prinsip baginya.
“Permisi, Kak, mau masuk atau nggak, ya. Ini ruangan ber AC,kalau pintunya kebuka terus…”
“Masuk. Nanti. Sebentar.” Jun menjawab singkat saat seorang petugas akhirnya menghampiri mereka, menarik April menjauh dari pintu otomatis sehingga kedua pintu kaca tersebut bisa menutup kembali.
“Hei.” Katanya tenang. “Sejak kapan gue nyuruh lo bayar sendiri kalau lagi jalan sama gue? Sekarang lo masuk. Gue ambilin pesenan lo yang ini. Abis itu kita pulang bareng - bareng. Gih, buruan.”
PS:
Abis vaksin, kok bawaannya ngantuk lemes ya.
Aku baru bangun tidur terus inget kalau belum update hari ini wkwkwkwk
Maapin~