April sedang amat bersemangat akhir - akhir ini. Dia giat dan rajin sekali. Apapun dia lakukan agar nggak berpikir tentang Jun. Dia bahkan minta tambahan tugas untuk mempersiapkan ulang tahun perusahaan pada Pak Ano. Yang tentu saja diterima dengan senang hati dan tangan terbuka oleh Pak Ano dan panitia penyelenggara acara.Awalnya, dia agak canggung pas masuk kerja pertama kali setelah kejadian malam itu. Nanti kalau ketemu Jun, dia harus bagaimana? Dia sampai berangkat lebih pagi dari biasanya agar nggak bertemu dengan Jun. Takutnya nanti Jun ke rumah dan dia yang nggak bisa bersikap natural malah akan mengundang tanda tanya dari keluarganya. Jun sih jangan ditanya. Jun dan Kakaknya Mei, sama - sama jago akting. April sampai bingung sendiri kadang kapan mereka lagi akting dan kapan mereka lagi beneran alias nggak acting.
Tapi ternyata ketakutannya akan bertemu Jun harus dipupuskan. Jun sepertinya sedang nggak tertarik buat ketemu dia. Di agenda kegiatan kantor Jun yang masuk di April, satu hingga dua minggu ini, Jun akan lebih sering berada di luar kantor. Dari sembilan jam kerja, paling April harus menahan diri bertemu dengan Jun selama dua hingga empat jam saja setiap harinya.
Gampang, kok. Nggak lama. Awalnya April berpikir begitu. Tapi ternyata, dua jam itu luar biasa lama!!! Apalagi saat April nggak ngapa - ngapain karena pekerjaannya sudah selesai. Itulah yang melatarbelakangi bertumpuknya kerjaan di mejanya saat ini.
“Woy, makan dulu. Gue udah beliin makan, nih. Gue tunggu di rooftop ya.”
April baru hendak mangap, ingin membantah, tapi sambungan telponnya sudah terputus sepihak. Siapa lagi tersangkanya? Janu.
Cuma dia yang care sama dia. Ada Septi dan juga Novi. Tapi mereka juga sibuk dengan persiapan ulang tahun perusahaan. Cuma Janu yang masih nganggur. Anak IT belum harus bekerja apapun sebelum back end nya selesai. Susunan acara, rundown, konsep, venue dan segala macam.
April melihat keadaan mejanya yang jauh dari rapi. Menghela nafas dan kemudian mengangkat bahu sebelum meninggalkan ruangan. Dia mengunci ruangan Jun dan beranjak ke rooftop. Di lift, dia kebarengan dengan para penggemar Jun dari bagian editorial. Tenang saja, bagi mereka April sama sekali bukan saingan. Bahkan, April ini nggak terlihat. Awalnya memang dia dimusuhi dan banyak digosipkan yang nggak - nggak. Tapi lama - lama mereka jadi bosan sendiri. Mungkin karena ternyata Jun dan April memang nggak ada apapun. April tersenyum ironis memikirkan hal tersebut.
“Enak benget jadi Bu Sabrina. Hampir tiap hari keluar buat nengok sama dealing venue gala party sama Pak Jun. Bisa puas - puasin mandangin wajah Pak Jun yang adem, teduh dan bersahaja itu.”
“Bener benget! Asem, ih! Iri gue. Gue yang kalau tiap hari pagi sore bisa lihat wajah pak Jun aja udah bersyukur dan bisa tidur nyenyak, nggak bisa relate sama keberuntungan Bu Sabrina.” Yang lain menyahuti. Mereka ada empat orang di sana. Lima orang termasuk April.
April nyempil di pojokan. Di lift yang sedang heboh dengan pembahasan Jun dan Bu Sabrina, April cuma sekedar numpang nafas doang sampai rooftop. Dia nggak pengen mendengar hal - hal ini.
“Kalau gue yang dikasih kesempatan itu, udah gue terkam duluan Pak Jun nya.”
“Lah, lo yakin Bu Sabrina nggak nerkam duluan? Siapa tau mereka sering banget keluar kantor berdua itu aslinya cuma alibi? Surveynya sejam, sisanya nyangkut di…”
“Ssst! Jangan kenceng - kenceng. Itu yang di belakang sekretarisnya Pak Jun tau.”
“Ya terus? Gue sih, bodo amat. Laporin ya udah laporin. Kesempatan buat gue bisa masuk ke ruangan pak Jun. Kalau sampai gue dipanggil, gue beli sepasang lingerie baru, khusus buat ngerayakin datangnya kesempatan itu buat gue!”
“Gila lo! Hahahaha,”
“Tapi ide gila lo boleh juga. Daripada nggak ngapa - ngapain kan ya.”
Dulu, mengabaikan gosip ini lebih mudah karena Jun ada di pihaknya. Sekarang, April jadi mulai overthinking sendiri. Akan kebenaran gosip - gosip yang memang tak berdasar tapi santer terdengar tentang mereka berdua.
Belum sempat April berpikir lebih jauh, lift yang mengantar mereka sudah sampai di rooftop, dan bergantian mereka keluar. April mencari keberadaan Janu. Janu yang sudah lebih dulu di sana, duduk bersama Septi, melambai.
“Gue penasaran deh. Itu sekretarisnya si Pak Jun, sama anak IT yang baru itu… jalan bareng? Perasaan mereka sama - sama terus, ih.”
“Pantesan tahan goda seruangan sama Pak Jun. Udah punya cowok. Lumayan juga cowoknya, walaupun nggak se greng Pak Jun kalau buat gue.”
“Bener bener bener.”
“Gue sih tetep Pak Jun seleranya. Bisepnya itu loh. Bikin nyebut sambil ngiler.”
April menggelengkan kepalanya jengah, mempercepat langkahnya agar cepat sampai di meja teman - temannya. Nggak mau lagi dia mendengar komenan yang seperti itu. Kalau dia nggak kenal orangnya sih nggak papa. Ini Jun! Jun! Bukan karena dia juga punya pemikiran serupa tapi… oke, dikit. Dikit aja, tapi nggak sampai segitunya, kok. Bagi April, keinginannya lebih agar Jun bisa menatap dirinya dengan lembut dan penuh cinta. Dan sekarang dia tau keinginan kecil dan sederhana itu tak akan mungkin terwujud.
“Aih, den ayu. Diajak makan kok mukanya ditekuk aja.” Septi yang memang keibuan karena sudah ibu - ibu menyapanya saat dia duduk di kursi yang masih kosong di meja mereka. Payung lebar yang menaungi tiap - tiap meja yang ada di rooftop ini nggak mampu mendinginkan panas hati dan otaknya.
“Nggak usah ngomong apa - apa. Kami tau lo sibuk. Nih minum dulu es nya biar dingin. Makan juga nih sukaan lo apaan saus mentai ini.” Janu langsung nyerocos menyodorkan padanya dengan bar - bar minuman dan makanan jatah April.
Sejenak dia bengong. Lalu baru ngeh kalau Janu mengira dia bete karena pekerjaannya banyak. Nggak tau saja mereka kalau semua itu dia yang request ke Pak Ano. Dia mengangkat bahu tak acuh dan meminum es coklatnya. Senang karena dia nggak perlu menjelaskan apapun lagi pada dua orang di depannya ini.
“Untung Novi nggak ikut. Kamu bisa diprotes habis - habisan sama dia karena makan nasi saus sambil minum es coklat begitu.” Septi mengingatkan.
Untung ada Septi dengan komentar absurdnya, yang bisa membuat April kembali tertawa lepas. Sejenak dia lupa dengan bebannya yang dia pikul hampir semingguan ini.
“Hahahaha gue mah nggak diet - dietan, si Novi padahal nggak gendut, loh. Masih aja takut makan. Ngomong - ngomong dia ke mana?”
“Masih meeting sama finance. Biasa kan mau akhir tahun. Banyak yang harus di siapin. LPJ setahunan ini, proyeksi dana tahun depan, neraca tahunan, audit, belum lagi pendanaan buat ulang tahun kantor ini. Btw, acaranya harus banget malem, ya?” Septi mendesah putus asa.
“Memangnya kenapa malem? Apa bedanya sama siang pagi sore?” Janu bertanya. Semenjak Janu ‘agak’ dekat dengan April, secara otomatis dia dekat juga dengan Septi dan Novi. Beberapa kali kalau April sedang nggak bisa diganggu sampai nggak sempat makan siang, maka mereka biasa juga makan hanya bertiga tanpa April.
“Pril, temen lo ini kenapa nggak peka, sih?”
“Emang. Makanya dia jomblo.” April menjawab asal, membuatnya mendapat ganjaran berupa lemparan tisu dari Janu. “Heh, kurang ajar. Gue ngomongnya kan bener. Lo emang nggak peka.”
“Hubungannya gala malam hari sama gue nggak peka apaan, deh, Asem, kalian!”
“Kalo malam anak gue mau sama siapa? Day care kan day doang, nggak ada night care. Night care buat bapaknya.”
April tertawa mendengar penjelasan Septi. Bisa melawak juga ternyata temannya yang lempeng ini.
“Kan bisa sama Bapaknya, Septi. Masa bikinnya berdua tapi yang rawat lo aja. Membelah diri aja kalo gitu.”
Kali ini Janu yang diganjar dua lemparan tisu masing - masing dari April dan Septi.
“Poinnya bener, sih, Jan. tapi nanti pulang - pulang tetep gue senewen. Bukannya langsung istirahat sampe rumah, yang ada gue emosi lihat kapal pecah.”
“Nggak separah itu. Kasih laki lo kepercayaan dikit. Itu gara - gara dia tergantung banget sama lo. Yakin deh, apalagi nanti kalo lo pulang masih agak cakep abis dandan nyalon gitu kan, auto mblendung lagi abis itu lo.”
Astaga bahasa Janu! April dan Septi langsung melotot, sementara yang dipelototi hanya mengangkat bahu tak acuh. Nggak merasa bersalah sama sekali.
Sebentar. Kok mendengar kalimat Janu tadi, rasanya April melupakan sesuatu. Apa ya… Yang jelas bukan bagian mblendung nya… tapi bagian… ah! Salon! Dia lupa kalau dua hari lagi Mei tunangan.
“Sep, lo punya salon langganan yang harga bersahabat nggak? Gue butuh dua hari lagi nih, tapi gue bokek.”