LIMA PULUH SATU: LO SAMA SIAPA SEMALAM?

1553 Kata
“Lo serius, Kak? Kok gue nggak tau?” April mencecar Mei dengan pertanyaan seputar kabar yang baru saja diberitakannya. “Masa kaya ginian gue main - main, sih. Ini kan lo tau. Nggak mepet loh. Masih banyak waktu.” Mei menjawab pelan. Mereka tinggal berdua di kursi pojokan sudut ruang makan, yang menyatu dengan dapur, dekat dengan kamar April. Ayah sudah mengobrol dengan Jun dan Ayah. Sementara Didit keliling untuk ronde berikutnya. Lagi, Mei melihat mata April yang meredup saat menatap Jun. Adakah sesuatu yang terjadi baru - baru ini? Atau Jun belum minta maaf pada April tentang kejadian malam minggu lalu?  “Bang Jun udah minta maaf, kan?” “Tentang?” April nggak menoleh pada Mei. Alih - alih dia malah menunduk, memainkan tali kulotnya yang terjuntai melewati kaus oblongnya. “Karena dia ninggalin lo di restoran malam minggu kemaren.”  Dor! Dor! Dor!  Ibarat lagi adu duel tembak, Mei langsung main tembak nggak pakai ancang - ancang. Membuat April langsung diam tak berkutik. “Dek?” Panggilnya setelah April hanya diam selama beberapa saat. April menggelang. “Udah biasa. Bukan hal yang baru Abang itu kaya gitu. Kita kan udah memaklumi itu.” Rasanya Mei ingin bangkit dan menggigit punggung kursinya. Gemas luar biasa. “Nggak bisa dong. Biar pun kamu udah maklum, dan hal kaya gini udah biasa, tapi Bang Jun tetep aja salah. Dia wajib minta maaf sama lo!” Melihat Mei yang murka, April malah panik sendiri dan berusaha menenangkan kakaknya itu.  “Udah, udah. Nggak papa. Udah, Kak. Tarik nafas…. Tahan dua menit, eh eh, detik dua detik…. Hembuskan…. Mau es krim?” Tawarnya. “Gimana coba caranya pergi.” Sungut Mei masih merasa sebal campur gemas luar bisa. Rasanya pengen ketawa histeris juga dengan tingkah ajaib April. “Masalah pamit sih, gue serahin ke lo. Kan lo ahlinya.” “Dasar lo menambah - nambah kerjaan. Lo tunggu di luar sana.” *** Jun memandangi punggung ramping, yang sedang membelakangi rumah April dan Mei sekarang ini. Dia langsung beranjak keluar tadi begitu Mei kasih kode kalau April keluar. Jun menimbang - nimbang apa yang sekarang harus dilakukannya. Dia nggak boleh cemen dan langsung balik badan masuk lagi ke dalam. Bisa di sunat lagi beneran dia sama Mei.   Masa depannya gelap seketika. Yang jelas dia harus minta maaf sama April untuk malam itu. Itu harus. Tapi caranya….  “Pikirin Jun, pikir.” Dia bergumam pelan sendiri. April berdiri beberapa meter di depannya. Belum menyadari kalau Jun juga sudah keluar di teras. “Pril, maaf. Masa gitu doang?” Dia bermonolog pelan dalam bisikan. “Pril, malem ini lo cantik.” Ya kali?! Bisa di geplak dia sama April kalau tau - tau jayus begitu. Ini April, bukan teman kencannya yang langsung meleleh jadi Jelly kalau dia berbicara sambil berbisik memuji mereka. April memang naksir sama dia, tapi nggak tau ya. Kok bisa hatinya sekeras batu. Jun jadi pusing sendiri bagaimana harus menaklukkan April. Beberapa menit berlalu tanpa ada apapun yang melintas di kepala Jun, bikin Jun gemas sendiri. Padahal udah dibantu sama Mei buat cari kesempatan. Kalau dia cari sendiri sama April, sudah pasti, nggak tau kapan dapatnya. April ini orangnya keras kepala. Kalau lagi marah dan nyuekin orang, bisa berhari - hari lamanya. Nggak di diemin sih, nyatanya juga tadi sore dia diajak ngobrol. Kalau dia tanya kerjaan juga April masih nyahut. Tapi Jun jadi gatel sendiri karena mereka nggak bisa seperti sebelumnya lagi.  Dan akhirnya…. Nekad. Jun dan nekad sepertinya memang kembar siam. Nggak terpisahkan. Jun berjalan menuruni teras menghampiri April dan langsung menggandeng tangan April lalu menariknya menjauh dari rumah. “Jun? Kok Lo? Eh, Juni! Jangan diseret. Kak Mei mana?!” Jun nggak mengindahkan pertanyaan bingung dari April, dia tetap menggandeng April untuk pergi dari sana. Lebih tepat kalau dibilang setengah menyeret karena April sampai harus terseok - seok demi menyamakan langkah agar nggak jatuh tersungkur. Mereka jalan ke depan, ada minimarket dan ada ruko - ruko serta gerobak nasi goreng mas - mas di sana. Tadi kata Mei, dia janjiin April es krim. Tapi beberapa langkah sebelum keluar gang dia berhenti. Memepet April di sebuah tembok gedung tua terbengkalai yang ada di antara perumahan tempatnya tinggal dan peradaban di luar perumahan kecil mereka. “Aduh! Sakit! Dikira gue karung beras apa main lempar - lempar ke tembok?!” April berteriak marah. “Si.. heh, lo ngapain mepet - mepet gue?! Ih, Juni… Mmmh!” *** “Aduh! Sakit! Dikira gue karung beras apa main lempar - lempar ke tembok?!” Katanya berteriak marah. “Si.. heh, lo ngapain mepet - mepet gue?! Ih, Juni… Mmmh! April melotot sebal. Memang ya, si Jun ini luar biasa sekali nggak ada akhlaknya. Orang lagi ngomong malah mulutnya disumpel pakai telapak tangannya yang sebesar tapak tangan dewa yang ada di serial kera sakti. Meskipun diam, dan kelihatannya seperti matanya saja yang bekerja keras memelototi Jun, tapi aslinya dia ini sedang sibuk luar biasa. Di luar dia melototin Jun. Di dalam, dia sedang mengomeli dirinya sendiri yang bisa - bisanya jadi deg - degan luar biasa sekarang ini. Cuma gara - gara dipepet Jun ke tembok, yang bikin posisi mereka sekilas mirip seperti pasangan yang mau… Nggak juga, nggak. Dia sudah deg - degan sejak tadi saat Jun menariknya menjauh dari rumah. Dia nunggu Mei, tapi yang muncul malah Jun, dan tanpa pembukaan apapun langsung main seret aja. Dia lama nggak bersentuhan dengan Jun secara langsung. Gandengan? Secara sadar tentu aja nggak. Paling cuma salaman kalau di kantor dulu. Buat formalitas. Pelukan? April lupa malah kapan terakhir kalinya. Apalagi sampai cipika cipiki. Semua itu tentu saja hasil dari usahanya sendiri menghindari kontak fisik yang nggak perlu dengan Jun. Kalau masalah dibonceng sepeda dan dia pegagan baju Jun di bagian pinggang… apa itu termasuk kontak fisik? Kayaknya nggak, kan. “Kemaren malem lo abis pergi sama siapa?” “Hah?” “You heard me, right. Jawab.” April berkedip cepat dua kali. Reaksi alaminya saat dia sedang kaget, gugup dan bingung. Bisa lebih cepat dan lebih dari dua kali kalau apa yang dirasakannya kombo alias datang sekaligus. Dan barusan adalah salah satunya. Tapi dia berhasil menahan diri untuk hanya berkedip dua kali saja saat melihat mata Jun memicing. Barusan itu dia sedang setengah melamun, jadi dia kaget karena Jun tiba - tiba bertanya dia pergi sama siapa kemaren malem. Dia juga bingung, kenapa Jun bisa mengasumsikan kalau dia pergi ke suatu tempat?! Faktanya dia semalaman di kantor! Dikerjain sama fans nomor wahidnya. Penggemar yang tanpa malu menyatakan dirinya sebagai pemuja Jun. Dan dia juga gugup karena posisi mereka yang… amat dekat ini. Dia bahkan bisa merasakan nafas hangat Jun menerpa wajahnya.  Tapi dia nggak boleh merasa tersipu - sipu sekarang. Ingat? Dia masih marah sama Jun. Dan sumpah susah banget bagi April menahan diri buat nggak kedip beberapa kali saat ini karena gugup luar biasa. Atau menelan ludah besar - besar. Jun akan tau. Mereka paham banget satu sama lain. Sedikit saja, Jun bisa curiga, dan April nggak mau itu. “Apa yang mau gue jawab? Hak lo apa tanya gitu?!” Setelah fase gugup yang nyaris nggak taman - tamat, bukannya menjawab seperti yang dimaui Jun, April malah meledak marah. Apa- apaah, Jun?! “Emangnya gue nanya sama lo malem  minggu kemaren lo pergi sama siapa?! Kenapa lo ninggalin gue?! Kenapa lo! Sumpah! Jahat banget! Sama! Gue!” April menekankan kata perkata sambil memukuli Jun. Yang sebenarnya adalah percuma karena Jun sama sekali nggak bergerak mundur karena pukulannya. Malah sekarang tangannya yang ngilu luar biasa karena mukul badan Jun yang sekeras batu.  “Jadi bener lo pergi sama Janu kemaren? Kemana aja? Kenapa malem banget baru pulang? Apa nanti kata tetangga yang lihat kamu pulang malem - malem begitu dianter cowok?” April melihat Jun melongo. Kok jadi Janu, sih? Siapa Janu sampai dibawa - bawa ke dalam pembahasan mereka saat ini? Salah apa Janu sampai harus jadi kambing hitamnya Jun? April menggeleng tak percaya. Hatinya sakit, tenggorokannya tercekat dan matanya panas. Jun ternyata seegois itu. Double standard. April sudah mencoba buat nggak bertanya apapun tentang malam itu. Mencoba buat nggak marah secara bar - bar meskipun sakit hati luar biasa, tapi sekali saja dia pulang telat, dan itu juga gara - gara dikerjai Bu Sabrina, Jun langsung menuduhnya pergi sama Janu. “Screw you, Jun.” Bisiknya lirih sambil sekuat tenaga mendorong Jun menjauh dan bergegas pergi dari sana. Dia berteriak frustasi saat belum genap tiga langkah dia pergi, dia sudah diangkat dan lagi - lagi di himpit di antara tembok dan badan Jun. Tapi kali ini April nggak diam dan terus melawan.  Batasnya sudah sampai. Badannya gemetaran karena marah dan isakannya menuntut untuk nggak lama - lama ditahan di tenggorokan hingga membuat lehernya seperti mau meledak! “Juni minggir!” Sentaknya keras saat Jun masih saja menahannya di sana. Bukannya menuruti permintaannya, Jun malah merangsek maju sampai tubuhnya menempel pada tubuh April. Membuat April terpaksa mendongak, karena kalau dia tetap menunduk, lehernya mungkin akan patah dihimpit Jun.  Matanya yang berkaca - kaca bertemu pandang dengan mata Jun yang menatapnya tajam dengan ekspresi wajah yang belum pernah April lihat sebelumnya. “Jun…” “Maaf.” Hanya itu yang Jun bilang sebelum menundukkan kepalanya menghampiri kepala April.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN