Jun melirik gadis yang malam ini tampil polos dengan kulot dan kaus longgar, duduk bersama Ayahnya di pojokan ruangan. Berbeda dengan orang - orang yang berdandan untuk acaranya ini. Bukan acara sih, toh dia nggak mengundang siapa - siapa, jadi nggak perlu formal juga. Dia saja cuma pakai celana pendek dan juga kaus.
Tapi dia tadi sempat mendengar Papa menegur April, membandingkan gadis itu dengan Mei yang memang selalu saja tampil menjadi pusat perhatian. Untungnya Ayah membela, mengatakan bahwa mereka ke sini kan untuk makan, nggak perlu dandan buat makan.
Wajahnya yang sepanjang malam ini terlihat tak tertarik, sekarang berbinar ceria. Kadang Jun bisa mendengar dia tertawa mendengar cerita Ayah. April memang dekat dengan Ayah. Di mata teman - teman Ayah, April adalah anak bungsunya. Saking seringnya diajak kemana saja Ayah pergi dulu. Sekarang memang sudah jarang. Ayah sudah semakin sepuh, lebih senang menghabiskan waktu liburnya di rumah daripada menghabiskannya dengan bermain - main mengunjungi rumah teman lama atau kenalan.
“Diliatin aja terus sampe matanya lari sendiri ke sana. Samperin napa, lo cemen amat, Bang.” Mei menegur, membawakan minuman untuknya. Di sebelahnya Didit memandanginya dengan pandangan mengasihani. Asem bener pasangan ini.
Bukan nggak mau nyamperin, tapi Jun lihat tatapan mata itu lagi. Tatapan terluka tapi maklum. Tatatapan tak apa tapi tersakiti. Sesaat di awal acara tadi dia melihatnya. Dia sering melihat tatapan itu akhir - akhir ini. Saat ulang tahun Mei, saat tadi April memberikan kado untuk April di kantor.
“April nggak ada cerita apa - apa sama lo, Mei?” Dia menerima gelas yang disodorkan Mei padanya dan duduk di sampingnya. Di sebelahnya Didit mengikuti. Ini cowok kok asal ngintil aja kemana calon bini pergi.
Mei mengernyit bingung. “Tentang?”
“Apa aja.” Jun mengangkat bahunya. “Sepertinya dia lagi banyak pikiran.”
“Jelas sih, kalau itu. Kalau gue naksir orang tapi orangnya malah belagu ya sakit lah. Kepikiran yang macem - macem.” Mei menjawab, Tapi Didit yang mendengus di sebelahnya. Sopan banget mereka. “Lo mau pergi sama April nggak?”
“Hah?”
“Tapi lo harus janji dulu, kalau lo nggak akan ninggalin dia kayak tempo hari. Apalagi kalo lo sampe ninggalin dia ketemu sama si Fran.”
“Kalo sama yang lai… Astaghfirullah!” Jun terlonjak kaget gara - gara cubitan kecil mirip gigitan semut rang - rang yang disarangkan Mei di pinggangnya.
Gosong deh ini, gosong. Yakin dia kalau bakal gosong. Babai kulit putih mulus gue, Jun menangis dalam hati.
“Kan tadi bilangnya sama Fran aja.”
Mei langsung melotot garang. Melihat itu, Didit terkekeh dan menengahi. “Bang, ke lapangan ayok. Kita gelut di sana.”
Di depan Mei, nama Fransisca seperti haram diucapkan. Dia layaknya Voldemort yang tak boleh di sebut namanya. Mei mengenal Fransisca secara pribadi. Dan hubungan mereka, bukan hubungan yang terjalin baik.
Fran adalah teman SMA Mei. Teman sekampus juga. Tapi meskipun begitu, hubungan mereka dari awal memang nggak akur. Mei nggak suka merasa disaingi. Merasa ditiru, dijiplak. Kalau mau stand out, pakai cara kalian sendiri. Jangan curi spotlight Mei. Itu motto eksis Mei. Dan itu yang dilakukan Francisca. Menjiplak Mei.
Apapun yang Mei punya, dia harus punya juga. Siapapun yang dekat dengan Mei dia harus dekat juga. Bahkan seringnya, Fran berpacaran dengan mantan Mei. Lalu memamerkan pada gadis itu betapa mesranya mereka dan betapa mantannya itu lebih royal pada Fran daripada pada Mei.
Bagi Mei, mantan itu nggak beda jauh sama sampah. Harus disingkirkan dan dibuang pada tempatnya. Didaur ulang? Hmm… Mei nggak pernah mempertimbangkan membeli barang - barang daur ulang yang berasal dari limbah. Jadi… Nggak, deh. Yang bikin mei jengkel luar biasa adalah, dia sering sekali mengambil teman - teman Mei. Menghasut mereka agar nggak kembali dekat dengan Mei. itu yang membuat Mei dongkol setengah mati.
Jun dan Fran bertemu mungkin sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Sama seperti yang sudah - sudah. Awalnya karena Fran lihat Jun anter Mei kuliah. Dan kebetulan mereka ketemu di kelab. One night stan, ala - ala Jun sih. Tapi seperti kata Jun kemarin, Jun nya yang gatel, ketagihan sama si Fran gara- gara service nya bagus.
Dongkol banget dia pas denger begitu.
“Bang, gue serius mau bantuin lo buat dapet Apri. Tapi kalo lo masih mau main - main ya nggak papa. Sono aja. Lupain April tapi, Dia tetep jadi adek lo.”
***
“Ayah!”
“Eh Mei.”
Mei cengengesan sambil mendekat pada dua orang yang asyik mengobrol di pojokan sejak tadi. Siapa lagi kalau bukan April dan Ayah.
“Lupa, belum kenalin calon Mei sama Ayah.”
“Loh?!” Ayah menegakkan duduknya. “Beda lagi?”
Mei dan April yang duduk di sana tertawa. Ayah tampilannya aja sangar. Tapi aslinya… Jenaka dan penyayang. Lembut banget. Cuma memang kalau lama nggak ketemu, dulu pas masih kecil banget, April sama Mei suka langsung nangis pas lihat Ayah. Posturnya tegas, tegap, senyumnya tipis cuma di sudut bibir, pandangan mata tajam, dan dengan badan sebesar ini… sudah pasti hanya yang punya mental kuat yang mau mendekat dengan sukarela.
“Ih Ayah. Sama. Tapi dulu kan, Mei kenalinnya masih pacar…”
“Sekarang suami?”
“Doakan, Om. Semoga bisa secapatnya.” Didit yang menyahut.
Senyum di wajah Ayah langsung menghilang seperti tetesan air di jalanan aspal yang panas. April dan Mei masih menahan tertawa, sementara Didit sudah pucat pasi. Bertanya - tanya di mana yang salah dengan kalimatnya tadi. Dia berdoa semoga dia masih diberi umur panjang. Paling nggak, sampai saat dia bisa halalin Mei aja. Jadi kalau ketemu Munkar Nakir dia bisa jawabin pertanyaan mereka tentang bagaimana sisa akhir hidupnya.
Tapi kalau begini… apa sempat? Gusti. Lindungi Didit.
“Siapa yang ngajarin kamu manggil Om? Panggil Ayah, kaya yang lain.”
Tawa April dan Mei tersembur tak tertahankan melihat perubahan di wajah Didit, dari ramah, bingung, pucat menjadi lega luar biasa.
“Ayah di rumah sampai kapan?” Mei bertanya lagi.
“Kenapa ini? Pada tanya begitu. Pada kangen sama Ayah? Ini tadi anak Ayah juga tanya hal yang sama.”
Mei meringis. Ayah Salim memang sayang banget sama April. Manifestasi dari dia yang suka banget merampok perhatian Papa dan Mama mereka sehingga April nyaris nggak terlihat dulu. Sekarang sih, dia sudah nggak papa. Dia malah berterima kasih sama Ayah Salim karena kehadirannya dan sosoknya mampu menyelamatkan April yang bisa saja hancur sejak dini.
Mei mengakui kok, tabiatnya memang buruk dari kecil. Sampai sekarang juga masih. Kalau dia berantem dengan April, 95 persen itu pasti karena dia yang cari gara - gara. Dan kalau Mei nakal sampai main tangan, April hanya akan diam saja memandangnya dengan mata berkaca - kaca dulu. April itu tipenya nggak tegaan kalau sama orang yang dia sayang. Jarang banget April balas pukul Mei. Kalau pun terjadi, bukan Mei yang menangis, tapi malah Aprilnya yang nangis karena merasa bersalah.
Sifat April yang seperti itu, menurut Mei saat beranjak dewasa adalah sikap yang bodoh. Itu sama saja dengan April membuka diri selebar - lebarnya pada dunia untuk disakiti. Bodoh.
Tapi setelah Mei dewasa, dan mau sedikit mengerti perasaan April, dia mau nggak mau jadi belajar mengalah. April orang paling nggak egois, yang mementingkan orang lain lebih dulu dari pada dirinya. Dan yang terpenting, April itu adiknya. Jadi sesebal - sebalnya Mei sama April, dia mencoba untuk melindungi April juga dengan caranya.
“Kan kalau Ayah masih di sini sampai minggu depan… bakalan sempurna banget moment nya.” Kata Mei malu - malu.
April mengernyit. “Minggu depan? Ada acara apaan?”