April sampai rumah sebelum maghrib tiba. Kesibukan di dalam rumah bikin dia deja vu. Dua bulan, dengan pemandangan yang sama, tapi bukan untuk dia. Nyesek? Masihkah harus ditanya? Sedih? Maunya nangis sambil guling - guling, tapi April nggak sepemberani itu untuk nangis di depan umum.
Benar loh. Nangis di depan umum itu, butuh perjuangan dan keberanian yang amat besar. Dan April cemen. Jadi tempat terbaik untuk dia menangis adalah di balik selimut di atas kasurnya, menghadap tembok di malam hari saat semuanya sudah terlelap atau saat rumah sepi.
April masuk rumah diam - diam. Bermaksud biar nggak mengganggu kesibukan beberapa orang yang ada di sana. Ada Bunda juga bantuin Mama. Kalau kata Bunda sama Jun sih, masakan Mama memang mantuliti. Makanya rumah sebelah selalu excited kalau Mama yang jadi kokinya.
Bahkan Papa juga hari ini sampai pulang cepat. Sama seperti yang dilakukan Papa saat perayaan ulang tahun Mei. Biarpun rasanya dadanya seperti diremas, tapi April tetap tersenyum saat bertemu pandang dengan mereka. Dan mendadak senyumnya menghilang saat tatapannya bertemu dengan satu sosok yang rasanya sudah amat lama sekali sejak terakhir kali dilihatnya.
Air mata yang diam - diam ditahannya kini menyeruak keluar, siap untuk terjun bebas di pipi Aril.
“Anak Ayah,” Orang tersebut membuka lebar lengannya, membuat pertahanan April runtuh saat berlari menyongsongnya, masuk ke dalam pelukannya.
“Ayah.. hiks.”
Iya, itu Ayah Jun. Tapi bagi April, beliau seperti Ayah perinya. Meskipun sosoknya besar, kekar dan lumayan seram, kepribadian Ayah sama sekali nggak seram. Ayah amat penyayang. Dan yang paling penting, Ayah selalu memanggil April dengan ‘anak Ayah’. Rasanya April seperti benar - benar menemukan figur Ayah dalam sosok Ayah Salim.
April tahu, ini nggak adil buat Papanya. Dan April sudah sekuat tenaga bersikap adil demi menjaga perasaan orang tuanya agar nggak merasa tersaingi. Tapi di saat rentan, April memang lebih memilih Ayah salim untuk mengadu.
“Lah kok nangis. Kangen banget ini sama Ayah?” Bunda menggoda dengan suara penuh tawa.
Bunda juga baik sama April. Tapi beliau adil. Nggak membedakan antara Mei dan April. Berbeda feel nya dengan Ayah yang selalu menganggap April layaknya anaknya sendiri. April selalu dipanggilnya ‘anak Ayah’ sedangkan Mei hanya, ‘Mei’ saja. Itu membuat April merasa special. Dia seperti menemukan oase perhatian di tengah gurun tandus orang - orang yang terlihat mengabaikannya. Meskipun tak sengaja.
“April, yang sopan, Nak. Masa Ayah baru pulang malah disambut mewek. Kasih wajah cantik, dong.” Papanya menegur.
April segera menarik diri. Bahunya masih bergetar menahan tangis yang belum tuntas. Dia mengelap wajah basahnya dan mencari tangan Ayah untuk salim.
“Maaf, Ayah. April nggak sopan.” Katanya terbata. “April kangen banget sama Ayah.” kalimat terakhirnya diucapkan dengan amat lirih. Entah ada yang mendengar atau nggak.
Ah, nggak penting. Nggak ada yang peduli juga April kangen atau nggak. Dia hendak berbalik dari sana saat telapak tangan besar Ayah mendarat di puncak kepalanya. “Sama, Ayah juga kangen sama anak Ayah. bebersih dulu ya, nanti kita ngobrol lagi.”
***
Sebenarnya, malam ini April nggak mau ikutan. Bukan mau caper, malah biar nggak ada yang harus capek - capek kasih dia perhatian. Niatnya, dia ikut pembukaan aja, terus mau pergi gitu sama Janu. Dia bahkan sudah janjian tadi sama cowok itu.
Tapi sekarang setelah melihat Ayah pulang, dia jadi bimbang, kan. Dia kangen sama Ayah. Pengen ngobrol banyak sama pria paruh baya itu. Tapi itu berarti, dia harus ikut acaranya sampai selesai. Tapi kalau nggak ikut… Ayah pulangnya cuma sebentar. Dan biasanya butuh waktu lama lagi sampai beliau bisa kembali pulang. Ini aja, terhitung sejak lebaran kemarin sampai saat ini baru pulang lagi. Setengah tahun lebih.
Kalau kangen kenapa nggak telpon. April nggak berani ganggu Ayah dinas. Dulu, pernah pas April masih kecil, dia kangen sekali dengan sosok pria itu. Kangen didongengin, kangen dengan nasihat lembut yang disampaikan dengan suara besar dan dalamnya, kangen pokoknya. Dan dia nekad menelpon posko Ayah pakai telepon rumah. Apesnya, dia ketahuan sama Papa. Dan diceramahilah April. Kata Papa waktu itu,
“Ayah kan lagi kerja. Tugas negara, kenapa April ganggu. Bang Jun yang anak Ayah saja nggak gangguin Ayah. Nanti kalau Ayah jadi nggak konsen gara - gara April, terus negaranya nggak ada yang jaga, diserang sama musuh, siapa yang salah?”
Waktu itu April baru sembilan tahun. Jadi dia percaya kata Papa dan malah menyalahkan dirinya sendiri karena mengganggu Ayah menjaga negara. Setelah itu, sekangen apapun April pada Ayah, dia cuma bisa diam, dipendam sendiri, paling kalau nggak tahan banget, dia bakal minta ijin Bunda buat nginep di sebelah dan tidur berselimutkan sarung Ayah.
Saat April jauh lebih kecil dari itu, April malah pernah mengira kalau orang tuanya ya Ayah. Bukan Papa. Saking seringnya dia dibawa sama Ayah. Dan Ayah selalu bilang sama siapapun kenalannya yang dia jumpai bahwa April adalah anak Ayah. Setelah lebih matang dan dewasa, dia jadi paham, kalau dia bisa saja menyakiti perasaan Papa dengan bersikap seperti itu. Nggak ada orang yang rela diduakan. Pun orang tuanya. Jadi April hanya diam - diam saja saat bersama Ayah. Nggak sesering dulu saat masih kecil.
Tapi sepertinya, semua orang nggak ada yang memahami itu. Tetap saja, April diduakan. Orang tuanya lebih memprioritaskan Mei. Ayah Bunda, karena memang bukan orang tua kandungnya, tentu saja lebih memprioritaskan Jun anaknya. Mei lebih sering sibuk dengan kegemarannya tentang kecantikan dan kemewahan. Dan Jun lebih memuja teman - teman wanitanya yang jauh lebih menarik dilihat daripada April.
“Ya, Pril?”
April tergagap saat sebuah suara terdengar di ponselnya. Dia lupa kalau dia sedang menelpon seseorang.
“Hei, Jan. Sori ya. Kayaknya harus batal malam ini. Gue kemungkinan nggak bisa pergi - pergi. Ada acara di rumah.”
“Oh?”
“Ini… lo inget kan cowok sebelah rumah…”
“Yang lo naksir mam*us sama dia itu?”
“Hmm.” April bersyukur Janu ingat, jadi dia nggak perlu lagi mengulang cerita yang sama. “Dia ulang tahun kan, terus dia undang keluarga gue gitu buat rayain.”
“Owalah. Iya, gue paham.” Jeda. April bingung harus bilang apa lagi sekarang sama Janu. Udahan? Langsung tutup aja, nih? Tapi kok kayaknya… “Manfaatin kesempatan lo.”
“Hah?” Kok mendadak kesempatan? Kesempatan apaan? April bingung.
“Ya apa, kek, coba nyatain perasaan apa gimana. Mumpung ini hari special dia.”
“Lo nyuruh gue buat nembak?”
“Kalo lo berani sih. Gue tunggu PJ nya aja.”
“Kok anda asem. Ini sama keluarga besar dan lo nyuruh gue nembak. Nggak ada akhlak lo jadi temen.”
“Hahahaha. Tapi gue temen yang pengertian, kan.”
“Yeyeye. Makasih ya, Jan. Sori banget, dadakan.”
“Yap, santai aja. Gue tutup dulu ya. Belom mandi gue. Good luck, Pril.”
PS:
Janu tegar syekaliih, mau tante kenalin sama cewek cakep nggak Jan?