“Ma, Pa. Mei juga udah selesai sarapannya. Mei masuk dulu, mau siap - siap sebelum Didit jemput.” Mei ikutan pamit tak lama setelah April berangkat.
“Mei,” Mei berhenti saat Papa memanggil. “Kamu sama Didit sudah baik - baik aja?”
Mei tersenyum, lalu mengangguk mantap. “Papa tenang aja. Kami baik - baik aja. Kok. Duluan ya Pa, Ma.”
Setelah kejadian di malam perayaan ulang tahun Mei malam itu, Papa datang padanya, bilang bahwa dia menyesal sudah menghardik dan mengancam Didit akan membubarkan pertunangan Mei dan Didit jika dia terus saja curiha tak berdasar. Papa juga minta tolong Mei buat mintakan maaf ke Didit. Tapi Papa nggak menyesal dengan apa yang dibilang pada Didit. Papa benar - benar serius.
“Papa nggak bisa kasih anak Papa ke orang yang nggak percaya sama perasaan kamu. Belum - belum kamu sudah mau di dzolimi aja. Walaupun kamu cinta banget sama Didit, kalau dia nggak mau berubah, Papa nggak setuju.”
Mei nggak marah sama Papa. Okay, mungkin awalnya sebel. Tapi setelah dipikir lagi, Papa melakukan itu karena nggak mau Mei disakitin. Mei udah dewasa, udah bisa mikir bener, kok. Walaupun harus mendidih dulu.
“Pagi~”
Mei mengernyitkan wajahnya bingung pada orang yang baru saja datang ke rumahnya ini.
“Astaga, Mei. Semalam parah panget ya, sampe wajahnya begitu banget.”
Jun mengaduh tanpa suara saat Mei menendang tulang keringnya. Memang harus bar - bar sama manusia setengah Grizly ini. Bisa - bisanya.
“Napa? Kurang kenceng nendangnya? Kenapa nggak sekalian pake TOA itu tadi ngomongnya biar satu RT aja tau semua kalau semalem kita abis kobam bareng.” Mei melotot,
Yang depelototin meringis seakan tiada dosa.
Bukan apa - apa, seperti yang kemarin dijelaskan. Mei cuma nggak ingin Papa Mama tau kalau anaknya itu pendosa. Biarlah mereka tau yang baik - baik saja tentang anak - anaknya.
Tapi ada yang aneh.
Mei mengernyitkan dahinya lagi. Mengingat - ingat apa yang se aneh itu sampai dia merasa ada sesuatu yang amat salah di sini.
“Kenapa, sih lo? Eh eh, gue ulang tahun ini, mana kado gue? Mama aja bikinin gue tumpeng tumpuk tiga. Masa lo nggak ikasi gue hadiah, sih?!”
Mei menepuk dahinya pelan. Oh iya!!! Sampe lupa, kan Mei sama yang itu.
“Lo ngapain masih di sini? Bukannya lo berangkat bareng April ke kantornya?”
“Hah April? Emang dia udah berangkat?”
***
April berangkat sendiri, iya. Dia nggak bareng sama Jun. Masih berasa agak gimana gitu kalau ketemu cowok itu. Dan lagi, dia hari ini harus mampir suatu tempat untuk ambil pesanan brownies yang dia pesan khusus tiap ulang tahun Jun sejak beberapa tahun terakhir.
April sampai di kantor masih cukup pagi. Dia senang karena sepertinya kejutan mininya buat Jun akan berhasil. Semoga cowok itu suka meskipun April baru bisa kasih kayak gini aja.
Belum banyak karyawan yang datang jam segini. Ada pun palung mereka lagi ngunpet di pantry, bikin kopi, atau sedang touch up di toilet karena tadi nggak sempat di rumah ataupun di jalan.
Dia sampai di kantornya nggak bertemu siapapun kecuali cleaning service outsourcing yang direkrut oleh kantornya. Dan bahagianya, kerena seruangan sama bos, jadi ruangannya bersih lebih dulu. Para cleaning servisnya membersihkan dengan sistematis, kok. Dimulai dari ruang para atasan, ruang kerja para karyawan, lalu baru setelah itu semua, mereka akan beberes pantry dan toilet.
“Buruan umpetin umpetin. Nanti ketahuan Juni.” Bisiknya pada dirinya sendiri.
Meja kerjanya dilengkapi dengan lemari kecil yang berada di bawah laci. Dia menyimpan browniesnya di lemari dan mengeluarkan hadiah untuk Jun yang awalnya berada di dalam tasnya.
“Kalian di situ dulu sampai saatnya tampil. Okay?”
Nggak, April nggak gila. Dia hanya punya kebiasaan untuk ngomong sendiri saat dia gugup, excited, ketakutan atau sedih. Manifestasi dari kurangnya teman yang dia punya sejak kecil.
Payah, sih memang dia. Anak - anak lain, mau se introvert dan se nggak gaul apapun mereka di sekolah, mereka tetap punya teman ngobrol dan main. Banyak dari mereka nggak pernah sendiri kalau jalan pulang ke rumah atau berangkat sekolah. Nggak kayak dia. Kalau selalu saja sendiri. Bareng sama Mei kadang. Tapi Mei dulu tuh untuk ukuran anak - anak, dia nyebelin banget. Dia nggak mau bareng sama April karena nanti dia jadi di ceng - cengin sama temen - temennya abis jalan sama anak yang nggak populer.
Akibatnya, April jadi sering banget ditinggal sendiri. Dan karena pulang sendirian itu sepi, jadilah April mengajak ngobrol dirinya sendiri.
“Well, anteng di sana jangan sampai ketahuan.” Katanya menutup lemari dan lacinya, lalu mulai menyalakan komputer desktopnya. Setelah siap, dia kemudian mengecek email, siapa tau ada tugas dadakan yang di kasih Jun ke dia. Tapi nihil. Dia juga mengecek ponselnya. Siapa tau, kan. Jun mengirim pesan ke sana. Tapi sama saja. Di sana juga sepi notifikasi.
Brak
Dia terlonjak pelan saat pintu kantornya dibuka. Jun datang! Jun datang!
Tapi belum sempat dia bereaksi apapun, belum juga menyapa ‘pagi, Pak’ seperti biasanya, di belakangnya sudah ada Bu Sabrina masuk membawa bingkisan besar dengan heboh, diikuti beberapa karyawan lainnya yang membawa kado - kado serupa.
“Mas Juned selamat ulang tahun!!!”
“Selamat ulang tahun Pak Jun.”
“Pak Jun, Happy birthday!”
“Selamat hari burung Pak Jun!”
“Stay healthy and fabulous, Pak Jun!”
Sebentar saja, ruangan Jun yang nggak terlalu besar langsung penuh seketika. Nggak cuma April yang bengong terkaget - kaget, Jun pun sampai melongo dan mendadak nge bug.
“Eh… eh, iya iya. Makasih, makasih. Duh, jadi ngerepotin. Taro sini aja, sini aja.” Kata Jun memberi komando untuk menaruh bawaan mereka di kursi tamu ruangan Jun.
“Aduh, sekarang ruangan Pak Jun jadi sempit yah, jadi nggak seru lagi mau main ke sini.”
April berkedip cepat saat merasa disindir dan dilirik tajam oleh salah satu dari mereka. Lah kok jadi dia tersangkanya? Bukan dia loh yang minta di tempatin di ruangan ini. Gimana, sih?! Lagian kan dari tadi April ini duduk anteng di mejanya. Siapa juga yang nyurung keroyokan main ke ruangan Jun? Satu - satu kan bisa. Malah nggak perlu rebutan caper buat dapat atensi Jun. Nggak pinter emang mereka sih.
Tapi mungkin cuma April aja sih, yang terlalu sensitif. Soalnya, waktu Jun akhirnya ngomong lagi, dia udah biasa aja nadanya. Nggak ada defensif - defensifnya sama sekali.
“Makasih ya, perhatiannya sama saya. Saya terima itikad baik kalian sama saya ini. Tapi mending sekarang kita bubar ya, biar nggak ada yang merasa terganggu pas kerja.”
Apa nih, apa nih?! Kok April lagi - lagi merasa sedang disindir?!
Tapi kalimat Jun ternyata efektif buat mereka. Setelah meletakkan bawaan mereka satu per satu di tempat yang ditunjuk Jun tadi, satu per satu mereka keluar. Tapi sebelumnya ada yang minta salaman, cipika cipiki ada juga yang minta selfie bareng. April menjaga ekspresinya tetap datar dan sesekali senyum ramah melihat keganjenan Jun.
Iya, Jun juga ganjen. Kalau Jun nggak ganjen, pasti mereka nggak ada yang berani kayak gitu. April nggak suka lihatnya. Duh, belum apa - apa, masih pagi juga, dia sudah terpanggang api cemburu. Dan ini bukan sekali - kalinya. Pemandangan kaya gini hampir rutin terjadi dari dulu. Dari dia masih sekolah dulu juga begitu.
Dia ingat pas dia lagi jalan ke rumah Jun bawa brownies, brownies yang sama yang dibawanya untuk Jun sekarang, dan harus mengalah karena ternyata kebarengan sama teman - teman sekolah Jun yang kebanyakan adalah cewek - cewek. Nggak beda kok, sama yang kejadian pagi ini.
“Akhirnya.” Jun mendesah lega setelah para fans nya keluar.
April di mejanya pura - pura sok sibuk dengan agenda dan email. Dia pura - pura nggak ngeh kalau Jun sedang lihatin dia intens.
“Oke, April, hari ini agendanya apa aja?”
***
Seharian yang super awkward sama Jun. pekerjaan udah nggak terlalu banyak. Bisanya, mereka bakal ngobrol santai di sela - sela kerja pas lagi slow begini, Tapi kali ini April sok serius banget kerjanya. Memang sengaja, biar nggak diajakin ngobrol sama Jun.
Akhirnya karena nggak ngobrol, Jun membuka bungkusan - bungkusan kado yang dia terima tadi pagi dari jajaran para fans di kantor ini. April sempat melirik - lirik sekilas, dan apa yang dia lihat bikin dia auto minder. Fans Jun memang luar biasa royal. Mereka kasih Jun banyak barang dan semuanya bagus - bagus. Mungkin mereka saingan juga sih, nggak mau terlihat kurang modal dari yang lain.
Dan mau nggak mau dia juga jadi membandingkan hadiah mereka dengan hadiah yang sudah disiapkannya untuk Jun. Kalau tadi pagi dia merasa optimis, sekarang dia pesimis luar biasa. Bagaimana mungkin hadiahnya yang cemen banget bisa saingan sama hadiah fans - fans Jun yang lain?
Dia menimbang - nimbang selama sekitar tiga puluh menit berikutnya. Mau di kasih atau nggak ini hadiahnya.
“Udah di beli, kalau nggak di kasih, gue yang mubadzir.” Gumamnya pelan.
“Lo bilang apa?”
“Hah? Oh, nggak. Nggak papa.”
Menjelang pulang, April memantapkan hatinya. Sudah di beli, nggak bisa dibalikin jadi uang lagi. Nggak tau lah ini mau diapain. Suka - suka Jun, kan udah jadi milik Jun juga. Mau dibuang juga….
Yah, kok nyesek. Dia nabung, bela - belain minta tolong Janu buat cari. Muter - muter semalaman demi ini, tapi malah dibuang.
Dia tertawa miris dalam hati. Ya sudah deh, kalau dibuang juga gue bisa apa. Kewajiban gue cuma ngasih, imbuh April dalam hati, membuka laci dan lemarinya untuk mengeluarkan apa yang mau dia kasih ke Jun. Di seberangnya, Jun masih sibuk fokus dengan acara buka kadoya. April juga sudah selesai beberes, habis ini dia mau langsung pulang, Jadi dia nggak akan lihat kalau Jun buang kadonya nanti.
“Nih, buat lo.” Dia meletakkan satu kotak berisi brownies dan satu lagi kotak persegi panjang yang jauh lebih kecil di meja Jun. “Sori seadanya. Gue mampunya cuma ini. Jangan lupa lo ditunggu Mama di rumah. Gue pulang dulu. Sampe besok.”
PS:
Halooowwww
Kayaknya aku belum sanggup untuk double up, jadi kemungkinan double up nya tetap nanti pas week end yaa. Hari ini, aku panjangain aja part nya biar kalian puas bacanya
Ketemu lagi besok yaa sama Vee, Apri, Mei dan Juni
Enjoooy~