“Sibuk, ya. Sibuk teleponan sama gebetan di jam kerja.”
Suara ketus Jun yang mendadak terdengar membuat April menolehkan kepalanya dengan cepat memandangi atasannya tersebut. Gebetan? Siapa? Sejak kapan April punya gebetan? Yang dimaksud Jun gebetan itu… Janu?
April tau kalau sekarang wajahnya nggak enak banget buat dilihat. Mulut sedikit bengong dan mata berkedip cepat. But she can’t help it! Dia kaget! Dan lagi, dia nggak habis pikir. Kok bisa - bisanya Jun mengira….
“Cepet kamu selesein, kalau kerjaan kamu kepending, yang lain juga ikut kepending. Kamu ini kerja tim di sini. Inget tanggung jawab. Jam kerja jangan main hape terus.”
Lah? Kok marah?
Lagian dibandingkan dengan April, intensitas Jun memegang ponsel dan menghabiskan waktu memandangi benda itu, jauh lebih banyak. Kok sekarang jadi April yang kena, sih?
Tapi Karena malas drama dan April masih ingat rasanya BT tadi pagi, akhirnya dia hanya mengangguki saja dan kembali fokus pada pekerjaannya.
“Baik, Pak.”
Kesal? Masih ditanya? Dongkol banget! Rasanya ada batu raksasa yang disumpalkan ke tenggorokannya. Tangannya saja sampai mengepal erat biar dia nggak meraih sesuatu untuk dilempar kepada Jun agar rasa marahnya punya sedikit saja pelampiasan. Tapi April masih tau diri dan tau tempat.
***
Rasanya sekarang seperti ada yang menggoreng sesuatu pas di samping telinga Jun. Berisik dan panas. Dia marah banget sampai nggak bisa berpikir jernih. Salahin April kenapa sampai dia senewen begini.
Semalaman nggak bisa tidur, pagi - pagi ditinggal nggak pamit, terus sampai kantor dicuekin! Nggak cukup itu aja, April bahkan bisa - bisanya barusan ini di depannya malah telponan sama gebetannya! Jun tau kok itu siapa walaupun April sama sekali nggak menyebut namanya.
Itu Janu.
Sebenarnya hubungan April dengan Janu sudah sejauh mana? Apa April sudah nggak menyimpan rasa untuknya lagi? Itu sebabnya dia jadi pasif banget kemarin saat Jun menciumnya?!
Memikirkan kemungkinan itu membuat Jun mengepalkan tangan dan menggebrak meja kerjanya. Pelan, tapi cukup membuat April terlonjak kaget.
"Pak…"
"Mas Juned, sudah siap?!"
April menyegel mulutnya kembali saat pintu ruangannya dan Jun terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Siapa lagi yang manggil Jun Mas Juned kalau iabukan Bu Sabrina? The one and only.
Jun melirik padanya sekilas sebelum menoleh pada pendatang baru di ruangannya. "Rina, kasih contoh yang baik sama junior. Ketuk pintu dulu sebelum masuk."
Duh, April membayangkan kalau dia yang ditegur pasti sudah malu banget sekarang ini. Yang jelas nggak akan bisa senyum cengengesan kaya yang dilakukan oleh Bu Sabrina sekarang ini.
"Hehehe iya. Maaf. Saya khilaf. Pengen cepet - cepet ketemu Mas Juned." Jawabnya ringan.
Jun beranjak memutari mejanya, mengambil dua map dari tumpukan map yang ada di atas mejanya dan menghampiri April.
"Saya sama Sabrina mau survey tempat dan vendor. Berkas ini harus selesai hari ini juga. Kamu bantu saya cek apa saja yang kurang dan minta departemen terkait untuk melengkapi. Sore ini harus selesai."
Capek? Banget! Lahir batin. Kesel? Jangan ditanya. Baru tadi oagi kerjaannya ditambah dengan semena - mena oleh Pak Ano, bahkan belum seperempatnya selesai, sekarang sudah ditambahi lagi. Tapi April hanya mengangguk dan menerima map yang disodorkan Jun.
"Baik, Pak."
"Saya pergi dulu. Kalau ada apa - apa telepon saya, bukan gebetan kamu."
Idih.
***
Jam kantor yang cuma sembilan jam rasanya nggak cukup buat April menyelesaikan pekerjaannya. Dia sampai absen makan siang dan hanya minum traktiran Janu es coklat dari cafe yang baru buka itu saja saking banyaknya pekerjaan.
"Lah lo langsung balik? Nggak makan dulu?" Janu bertanya heran saat dia memberikan es coklat April di pintu lift. Iya, mereka janjiannya di pintu lift. Janu kira April bakal naik, dan dia nanti bisa ikut naik buat sebat gitu sebelum mulai kerja lagi.
"Aduh nggak sempat. Gue harus email dan telponin banyak orang hari ini. Makan siangnya kapan - kapan aja, deh. Oh iya, makasih yaa. Gue duluan!" April menjawab terburu - buru dalam satu tarikan nafas.
Janu mencebik. Makan siang itu tiap siang, bukan kapan - kapan. Kok kocak sih April ini. Tapi dia nggak bisa berbuat apa - apa. Niatnya sih mau beliin April makan siang. Tapi bakal percuma karena ke rooftop dan ke pantry saja April sepertinya nggak sempat. Sedangkan peraturan di kantor, dilarang makan di meja kerja. Minum masih oke, sekedar kopi dan teh, tapi kalau makan, bisa kena denda. Jadi daripada nggak dimakan, buat apa dibeliin.
"Nanti pulang bareng gue, ya!" Serunya saat April buru - buru balik ke ruangannya.
April hanya melambai dan mengacungkan jempolnya, tanda setuju.
Hedeeh, sesibuk apa sih, April?
Inginnya ngintip, tapi nggak etis lah. Dia dan April kan beda departemen. Dan lagi, April satu ruangan sama bosnya. Main ke ruangan antar departemen begitu memang nggak diperbolehkan di sini. Ini dimaksudkan untuk menghindari leaking dan penyusup dari perusahaan saingan.
Perusahaan mereka dibilang ketat, nggak juga. Tapi sudah lewat dari kategori perusahaan yang santai.
Janu menggeleng dan kembali masuk ke lift untuk pergi ke ruangannya sendiri. Sudah waktunya kerja lagi.
Sementara itu di ruangannya, April sudah kembali mumet. Pekerjaan yang diberikan Pak Ano dia pending dulu. Dia lanjutkan dengan pekerjaan yang diberikan Jun padanya tadi sebelum pergi karena itu lebih urgent. Semua oke sih, hanya satu saja yang butuh detail artikel dan copyright, dan dia sudah melanjutkannya pada departemen terkait agar ditindak lanjuti segera dan selesai sore ini juga.
Dia baru saja selesai dengan pekerjaan yang diberikan Jun saat Janu menelponnya dan bilang coklatnya sudah siap tadi. Syukur banget! Aslinya dia sudah lapar luar biasa. Dari pagi emosinya naik turun, dan itu bikin perutnya cepat lapar.
Kalau dibuat kerja begini, dia bisa lupa tentang Jun dan segala kebingungan yang mengikuti di belakang namanya. Tapi bengong sebentar saja, moodnya langsung kacau seketika karena teringat pada Jun. Pada kelakuan absurdnya, pada perasaannya, pada status mereka yang jadi nggak jelas sekarang, dan tentang ciuman itu. Oke, April ngaku, kebanyakan dia ingat sama bagian ciumannya sih. Nggak bohong, April keinget terus, sampai beberapa kali dia harus gigit bibirnya sendiri saking rasanya masih senyata itu.
“Ya ampun, April, m***m banget sih lo!” Dia menegur dirinya sendiri setengah kesal. “Lagian yang inget ciuman itu tuh cuma lo doang. Partner ciuman lo nggak. Lihat, dia dari pagi udah move on sama yang lain. Lo juga dong, move on. Masa sepuluh tahun masih begini - begini amat?!” Dia mengambil kaca kecil yang biasa dia buat untuk touch up, yang tentu saja jarang banget dia lakukan, dan kembali memarahi dirinya sendiri dengan gemas.
Sepuluh tahun niat dan mencoba buat move on, tapi selangkah pun dia nggak move - move. Ini yang salah apanya? Dia yang terlalu mentok sama Jun, Jun melet dia atau dianya aja yang aslinya nggak mau berpaling?! Aneh loh!
“Mungkin gue harus pergi dari kota ini. Gue keseringan ketemu sama Jun nggak, sih? Tapi kemana? Beasiswa gue…. Nggak ada gitu tanda - tanda keterima di sana? Please save me!” Serunya pelan pada kaca yang memantulkan bayangannya.
Sepertinya memang itu jalan satu - satunya. Kalau ternyata dia gagal…. Dia segera meraih ponselnya dan mulai menginstall lagi beberapa aplikasi pencari kerja yang dulu pernah diindtallnya setelah lulus kuliah. Dia harus bikin plan cadangan, kan?