April akhirnya berangkat sendiri. Kebiasaan jelek. Selalu saja menghindari masalah tanpa mau membicarakannya lebih lanjut. April punya alasan sendiri kenapa menghindar begini. Baginya, tak akan ada penyelesaian masalah saat masalah tersebut dibahas justru dalam keadaan emosi. Jadi mending pergi dulu, tunggu sampai sama - sama dingin baru ngobrol lagi.
Soalnya kalo April ini, tipenya yang kalau belum siap ngomong udah dipaksa ngomong, yang keluar malah mewek dan malah marah - marah. Yah, manusia kan nggak ada yang sempurna. April punya kepribadian yang baik, tapi punya masalah attitude juga dalam menghadapi problem.
"Woy, pagi - pagi udah ngelamun aja. Kepentok tembok sukurin."
April tersentak mendengar suara bass yang menyapanya saat masuk lobby kantor. Janu. Orangnya sudah pringas pringis di sebelah April, membuat April nggak tahan untuk nggak menampilkan wajah jengah sambil merotasikan mata.
“Lo juga, pagi - pagi udah reseh sama urusan orang.”
“Gusti, ampun! Nyai galak bener. Gimana acara semalam? Ada perkembangan nggak?”
April sudah membuka mulut, siap untuk mengomel pada Janu. Seenaknya dia bikin April ingat kejadian semalam yang bikin dia sukses nggak bisa tidur semalaman padahal dia menghabiskan tiga puluh menit di perjalanan tadi buat lupain. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Janu kan cowok, ya. Kalau ngobrol sama Janu tentang ini dia mungkin bisa kasih masukan? Dia mungkin bisa tau alasan Jun yang mendasari cowok itu melakukan hal tersebut.
April menggumamkan terimakasih pada Janu karena dia sudah menekankan lift untuk April. Sengaja membiarkann lift yang sudah setengah penuh berangkat duluan agar mereka bisa lebih lama ngobrol berdua.
“Jadi tuh semalam….”
“Pril!” Mereka berdua menoleh pada suara yang memanggil April. Wajah asing. Bukan dari devisi penulis dan redaksi. Siapa? April masih belum berhasil mencocokkan nama dan wajah perempuan yang memanggilnya itu saat dia melanjutkan. “Baru dateng, ternyata. Gue cariin ke atas sampe naik turun tangga! Lo diminta Pak Ano ke ruangannya. Iya, sekarang.”
“Okay, Thanks ya.”
Si cewek yang menyampaikan pesan itu hanya mengangkat tangannya, melambai singkat sebelum berbalik dan masuk ke ruangan yang april tau adalah ruang finance.
“Terkenal ye lo. Pagi - pagi udah dipanggil Pak Ano aja.”
“Lo tau dia siapa?”
***
Jun mengernyit heran saat nggak mendapati April di ruangan kantornya juga. Tadi di rumah nggak ada, asumsinya April berangkat sendiri ke kantor. Di telpon juga nggak bisa. Tapi ini di kantor juga nggak ada. Cewek itu kemana?!
Di baru mau keluar ruangan lagi untuk mencari April saat pesawat telepon di mejanya berbunyi. Terpaksa dia menutup pintunya lagi dan duduk di kursinya. Pekerjaannya hari ini lumayan kayaknya, karena kemarin dia fokus buka - bukain kado dari fans - fans nya. Termasuk dari April. Dia mengelus bolpoint hitam berlis emas yang terselip manis di sakunya, sedangkan tangan yang satunya meraih gagang telepon.
“Jun.”
“Pagi, Pak Jun.”
“Oh, iya, Pak Ano? Ada yang bisa saya bantu?”
“Sudah sampai kantor? Bisa turun ke ruang meeting sebentar? Ada rapat pembentukan panitia dan penentuan ide untuk ulang tahun perusahaan empat bulan lagi.”
“Baik, Pak. Sudah sampai kantor kok. Saya turun dalam lima menit.”
Sambungan pun terputus. Dia lupa tentang ulang tahun perusahaan yang diadakan setiap tahun di akhir tahun. Kadang di kota ini saja, sewa ballroom hotel, gala dinner bareng semua karyawan dan mengundang beberapa partner bisnis dan relasi. Kadang juga liburan, tapi kalau liburan nggak satu kantor diangkut, sih. Biasanya diadakan kuis dan misi, lalu seluruh karyawan diwajibkan ikut. Nanti dipilih beberapa orang untuk liburan dan bikin video creative berisi ucapan selamat ulang tahun untuk dikirim ke partner dan relasi bersama hampers akhir tahun.
Sebelum keluar, Jun melirik sebentar meja April. Anak ini kemana? Dia juga melihat ponselnya sekali lagi yang sepi notifikasi, lalu keluar dari ruangannya.
“Mas Juned mau ke ruangan Pak Ano?”
Dia mendongak agak kaget saat melihat Sabrina sudah berdiri di depannya. Sejak kapan?!
“Iya, ada meeting.”
“Meeting anniversary perusahaan, kan? Yuk bareng sama saya. Kebetulan juga saya mau ke sana.” Sabrina langsung menggandeng lengan kirinya dan menempelkan tubuh sintalnya ke sisi tubuh Jun bagian kiri.
Jun langsung nyebut dalam hati. Dia kan bukan santo yang tahan goda. Bukan malaikat yang nggak punya nafsu. Sambil berjalan ke arah lift, dia berusaha melepaskan cengkraman Sabrina yang mirip lilitan ular piton. Risih. Dan nggak nyaman juga tau kalau jalan tapi di tengah - tengah ada yang ngganjel. Kayak bocah habis disunat jalannya ngangkang.
Jun menyerah dan membiarkan saja Sabrina melendotinya seperti beruk yang memeluk pohon kelapa. Capek! Mana nggak lepas - lepas. Nggak seperti Jun yang jelas merasa nggak nyaman, Sabrina malah terus mengoceh dengan suara ceria menceritakan entah apa. Jun nggak memperhatikan. Kepalanya kepalanya bersender dengan nyaman di bahu Jun.
Tapi Jun jadi panik sendiri saat pintu lift yang mereka tunggu terbuka dan April muncul di dalamnya.
“Eh, Pak Jun, Kak Rina. Sudah ditunggu yang lain di ruang meeting.” April mengangguk dan keluar dari lift dengan badan menyamping agar tetap terlihat sopan. Di tangannya dia membawa beberapa map beraneka warna. Setelah beberapa kali mengangguk, dia berjalan cepat ke ruangannya dengan Jun yang terus memandanginya hingga pintu lift di depannya menutup.
***
“Apa? Jam kerja mainan hape mulu.” April menegur tanpa tedeng aling - aling saat ponsel yang dia letakkan di samping keyboard bergetar panjang, menandakan ada panggilan masuk.
“Kan belum ada sepuluh menit. Pelit amat sih.”
April merotasikan matanya gemas. Bibirnya mengerucut, tapi ada kedut geli juga terselip di sana. Orang ini, mood booster sekali. Tapi kenapa harus sekarang, sih?! Pas pekerjaannya lagi seabreg nggak habis - habis?
“Eh, gue diajakin anak IT nyobain cafe yang baru buka deket kantor itu loh, Pril. Mau ikutan nggak?”
“Emang di sana jual makanan berat?” Tanyanya sekilas. Tangannya masih sudah sibuk kembali membalik - balik halaman yang tersusun di dalam map.
“Makanya kan mau dicobain.”
“Pengen ikutan, tapi nggak bisa. Gue lumayan tight nih. Tadi sama Pak Ano dikasih tambahan kerjaaan banyak banget.”
“Ah, nggak asik lo.”
April melotot pada tembok di depannya, mengumpamakan benda datar berwarna putih tersebut sebagai Janu. Nggak asik Janu bilang? Anak itu ya, minta dikemplang biar otaknya warasan dikit. “Lo lah yang nggak asik. Nggak ada tenggang rasanya. Temen lagi sibuk banget bukannya bantuin malah diajakin main.”
“Ya udah, ntar gue bawain lo cokelat.”
“Beneran?! Asyik! Es, ya!” Tepat saat itu pintu ruangannya terbuka dan Jun masuk. Pandangan mereka bertemu dan Jun sedikit mengernyitkan keningnya melihat April yang sedang sedang bertelepon ria di jam kerja. “Udahan ya. Gue sibuk. Dah.” Dia menutup sambungan teleponnya sepihak tanpa menunggu Janu menjawab.
Setelahnya April melirik sekilas pada Jun yang menaikkan sebelah alisnya dan kembali fokus pada pekerjaannya mengirim email pada partner dan supplier, untuk mengajak berpartisipasi dalam merayakan ulang tahun perusahaan mereka. Listnya masih panjang banget!
“Sibuk, ya. Sibuk teleponan sama gebetan di jam kerja.”