SEMBILAN BELAS: JULIDERS MENGGILA

1227 Kata
Setelah lima hari berbagi meja dengan Jun di ruang akuariumnya, akhirnya meja dan komputer April datang juga. Selama itu pula, mereka bekerja dengan tirai yang terangkat supaya semua orang di sana bisa melihat kalau di dalam ruang aquarium ini, April benar - benar bekerja dengan Jun. Bukan malah sibuk merayu Jun seperti yang mereka sangkakan. “Pril, makan siang bareng, ya.” Ajak Jun. April memang sudah lebih santai dibanding awal minggu kemarin. Mereka sudah bisa ngobrol dengan nada yang biasa mereka pakai sehari - hari di sana. Dan langsung switch mode ke atasan dan sekrekaris kalau ada yang lewat atau masuk ke ruangan. “Gue makan sama anak - anak lain aja, deh.” Tolaknya. Ini bukan pertama kali April menolak ajakan Jun untuk makan siang sama - sama setelah dia jadi sekretaris pria itu. Meskipun April sudah nggak sungkan lagi pergi dan pulang bareng dengan Jun, karena alasan, ‘kan gue sekretarisnya’, tapi untuk bab makan siang sama - sama, selama mereka masih di kantor aja, April sengaja menghindari. Jun mengernyit. “Emang masih ada yang mau makan sama lo?” Sepengamatannya, sejak April kerja sama dia, April mendadak jadi terkucil. Lucu, kan? Aneh, kan? Yah, Jun juga nggak habis pikir. Di mana salahnya sih kalau April jadi sekretarisnya. Lagian dia juga milih April bukan asal tunjuk. Tapi direksi yang kasih kandidat buat dipilih, dan kebetulan April memang pekerjaannya bagus. April menyandarkan punggungnya dan menatap Jun datar. Lo kira gue begini itu gara - gara siapa?! Mirror, please, geramnya dalam hati. “Lo jangan ngeledek. Masih ada satu dua yang nggak julid yang masih mau bergaul sama gue. Besok - besok kalau mau rekrut karyawan baru, SK nya ditambahin, dicari yang nggak julid!” Juni hanya tertawa tanpa karena jawaban April. Membuat gadis itu geram setengah mati. Laknat memang, kok cowok satu ini. Dan yang pada ngefans sama yang modelan begini sampai neror dan firnah dia dari belakang, mungkin perlu di rukiyah. “Nanti pulang kita mampir ke stasiun dulu, ya.” April mengernyit lagi. Dia nggak ingat membuat agenda Jun hari ini ke stasiun. Mau ngapain kan cowo itu ke sana? Mau pergi ke suatu tempat? Selama hari kerja, normalnya April harus tau sih, dia kemana saja, termasuk waktu pribadinya digunakan untuk apa. Tapi mungkin Jun masih jaim ya, seminggu ini dia nggak kemana - mana. Di rumah aja. Tapi bukan berarti nggak ada yang dateng kalau malam. Oh, April tau, kok. Jadi sekarang Jun mainnya alim, di rumah saja. “Mau ngapain?” “Jemput Nenek.” *** Seperti yang April bilang, dia memang nggak punya teman yang cukup dekat di tempat kerja. Dan memang sejak dia menjadi sekretaris Jun, semakin sedikit lagi yang mau bergaul dengannya. Rata - rata mereka lebih suka bergabung dengan para juliders karena toh lebih enak ngejulidin orang. Cari - cari jeleknya orang itu nikmatnya tiada tara. Dan seperti yang April bilang juga tadi ke Jun, walaupun yang mau ngobrol sama April berkurang drastis, bukan berarti nggak ada lagi. Ada beberapa orang yang memang nggak cari drama, dan mau berteman dengan siapa saja. Contohnya Septi dan Novi. Kebetulan bukan dari bagian editorial. Mereka dari bagian finance dan logistik. Mereka tetap mau menyapa April dan duduk bersamanya saat makan siang. “Kok mukanya nggak semangat gitu, Pril.’ Tegur Septi. Ibu muda yang umurnya paling sepantaran sama Mei. “Masih suka kepikiran cuitan orang?” Novi menimpali, memakan salad buahnya yang berbalut mayones dan keju tebal. Cewek gempal ini musuhan sama nasi. Katanya sih mau diet, ngurangin karbo, makanya nggak makan nasi. Gantinya, dia makan buah dan sayur. Salad - saladan. Tapi saladnya yang modelan saus mayo kental dan melimpah berduet dengan keju parut yang dibeli dari kios salad pinggir jalan kebanyakan. Bukan bermaksud julid, hanya menceritakan saja. “Nggak sih. Gue mah udah bodo amat. Mulut mereka juga, gue ngapain sok ngatur, kan. Gue cuma lagi bingung. Galau,” jawabnya mengaduk ketopraknya tanpa minat. “Galau kenapa deh.” Septi menyuapkan nasi bentonya ke mulut. Oh, kalau yang ini memang khas mama muda. Bekel bawa dari rumah, dengan tatanan cantik dan menu empat sehat lima sempurna. Katanya sekalian masak buat bekal anak sekolah sama bekal suami di kantor. Bikin sirik, pengen dibikinin juga yang begitu. “April nisa galau juga ternyata.” Novi tertawa saat April menendang betisnya dari bawah meja. “Gue manusia, bukan robot, ye. Nenek gue mau dateng, coy. Tau lah kalau nenek - nenek dateng. Pas kecil sih seneng, kalo udah gede mah…” Curhatnya nggak sepenuhnya benar. Nenek Jun memang sudah dianggap Neneknya juga. Nenek juga dekat dengan keluarga April yang lain. Hanya saja, Nenek nggak terlalu suka sama April. Beda banget kalau sama Mei. Nenek suka kasih jajan Mei, kasih uang saku banyak, muji - muji Mei cantik… lah April apaan. Butiran debu tak terlihat. Dan fenomena itu berulang setiap kali nenek datang. April yang merasa tersisih biasanya hanya ikut datang menyapa, salim, lalu pulang. Soalnya, kupingnya suka panas karena dibandingin terus sama Mei. Mana pakai disindir - sindir. Nggak nyaman pokoknya. “Bener tuh, gue juga gitu kalo pas pulang kampung. Suka banget ditanya kapan merit. Lah iya kalau calon udah ada, kalau masih di langit ketujuh, gue ngepet jodoh dimana?!” Novi menyahut penuh semangat. “Gue juga dulu gitu. Sampai sekarang aslinya gitu, tapi karena udah ada anak, bebannya nggak terlalu gue rasain lagi. Bodo amat udah.” Septi menambahkan. “Lah lo udah nikah udah ada anak juga, apalagi yang mau diteror?” April mengangguki pertanyaan Novi. “Kapan nambah anak? Kok anaknya kurus? Makanya nggak usah kerja, ibu tu di rumah aja ngurus anak. Wanita itu selalu benar cuma kalau di depan pasangannya. Di depan orang - orang, kita serba salah.” Mereka bertiga tergelak mengiyakan. Memang sih, jadi wanita itu serba salah. Lahiran caesar dihujat, asi nggak keluar di kasih sufor di caci, anak aktif sampai makannya nggak ada yang jadi daging, dibilang jahat banget. Maha benar memang Netizen dengan segala sabdanya. Biasanya, mereka yang lelah akan memantrai dirinya dengan, ‘yang waras diem, yang cantik diem’, ‘aku diem aku cantik’ dan jampi - jampi lain semacamnya. *** “Udah jam setengah lima. Yuk siap - siap.” Jun mengingatkan. April mengangguk, mulai mengemasi barang - barangnya. Dia mengecek agenda Jun untuk besok, mencocokkannya sekali lagi dengan yang di inputnya di reminder Jun sebelum mematikan laptop, memakai kembali jaketnya dan mengambil tas. Dia mengikuti Jun di belakangnya ke tempat parkir, dan berdua mereka menuju ke stasiun untuk menjemput Nenek Jun yang datang dari Surabaya. “Kenapa lo? Mendadak jadi pendiem. Laper?” “Lo ye, emangnya kalo gue diem tandanya gue laper doang. Bisa jadi gue ngantuk.” “Ooo jadi lo ngantuk?” April berdecak kesal. “Atau lagi mikirin sesuatu.” “Mikirin apaan, sih? Sampe begitu.” Tenya Jun lembut, yang malah membuat April salah tingkah. Mendingan Juni ngomong ketus bentak - bentak April daripada ngomong lembut penuh perasaan begini. April jadi bingung harus membalas bagaimana kalau sudah begini. “Beneran lagi mikirin sesuatu?” Lagi - lagi Jun bertanya karena April nggak kunjung menjawab. “Biasa sih, cuma grogi ketemu Nenek. Beliau kan nggak terlalu suka sama gue.” “Lo tau itu nggak bener, kan.” PS: Double up nya menyusul agak sorean yak, lagi ada acara di rumah, belum sempet ngetik ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN