DELAPAN BELAS: UJIAN HATI APRIL

1112 Kata
“Agak kurang efektif. Saya butuh kamu di sini. Akan makan waktu banyak kalau setiap saat saya butuh kamu, saya harus angkat telpon buat minta kamu datang. Jadi, mulai sekarang kamu sama saya di sini.” Jeda. “Pril? Lo kenapa? Muka lo merah banget. Lo sakit?!” April memaki dirinya sendiri yang pikirannya auto travelling kemana - mana saat mendengar Jun bilang ‘Saya butuh kamu di sini’ dan ‘mulai sekarang kamu sama saya di sini’. Itu kalimatnya nggak ada yang lebih ambigu lagi tuh? Nanggung loh ini, tambahin aja dikit dosisnya, biar jantung April kejang - kejang sekalian. Ini aja dia sudah berdetak kencang banget, sampe Aril takut kalau nanti dia buka mulut, bisa - bisa jantungnya loncat keluar dari sana. “Pril?” “Nggak papa. Saya nggak papa, Pak.” Dia terbawa peran, jadi ngobrolnya tetep dengan nada atasan bawahan. “Maaf, saya permisi dulu mau ke toilet Pak.” April langsung ngibrit ke toilet. Dia memukuli kepalanya sendiri di depan kaca toilet sambil merutuku tingkahnya hari ini yang super konyol. Ini kan bukan pertama kalinya dia berada di dalam satu ruangan berdua dengan Jun. Tapi kenapa kali ini rasanya jantungnya kaya kena serangan ayan begini, sih? Kenceng banget detakannya. April nggak habis lari - lari loh. Memang sih, dia sudah sering berduaan dengan Jun di kama April. Dan April tahan - tahan saja selama ini. Buktinya, dia masih hidup tuh. Bernafas, sehat, sampai sekarang. Jadi sekarang apa masalahnya? April juga nggak tau. Setelah lebih tenang, April membasuh wajahnya dan mengeringkannya dengan tissue. Siap kembali ke ruangan Jun untuk melanjutkan pekerjaannya. Tapi baru mau keluar dari kamar mandi, dua orang karyawan yang lebih senior dari dia dan yang dia tahu adalah fans Jun di kantor masuk ke dalam toilet dengan muka yang nggak santai. Merasa nggak punya urusan dengan mereka. April hanya tersenyum menyapa dan tetap beranjak dari sana. Tapi tangannya malah di cekal dan dia didorong kasar sampai menabrak tembok toilet. Apa - apaan?! “Seneng ya, lo!” Salah satu dari mereka memulai dengan judes sebelum April bahkan sadar apa yang terjadi. Kampret! Ini gue barusan diapain! “Nyogok berapa lo sampe bisa diangkat jadi sekertaris Pak Jun?!” Wajah April cengo seketika. Kalo dia sekaya itu buat nyogok, ngapain dia masih kerja di sini? Tolong lah, otaknya dipake. “Nyogok?” “Gue tau lo pasti pake cara kotor. Lo gadai tubuh lo sama Pak Ano sampe bisa dapet posisi ini?!” Astaghfirullahaladzim. Manusia ya! Kalo nggak su’udzon pikirannya kayaknya mereka gatel - gatel. Bisa - bisanya mereka kepikiran hal jahat dan kotor begitu! Emang mereka kira April apaan?! “Sori, gue nggak ada waktu buat ladenin kegajean kalian. Gue ada kerjaan yang harus gue kelarin. Duluan.” Tapi dia lagi - lagi di tarik buat nggak kemana - mana. “Nggak usah sok suci! Lo mending mundur aja! Nggak pantes lo jadi sekertaris Pak Jun!” “Gue nggak sok suci. Tapi gue emang nggak ngerti kalian ngomong apa. Kalo kalian nggak pengen gue ada di posisi ini, ngerasa lebih mampu. Bilang sono sama Pak Ano sama Pak jun. Dikira seneng apa dapet kerjaan baru ribet begini.” “Bacot!” “Lo yang bacot! Gue cuma klarifikasi dari tadi.” April ikutan emosi sampai ngomongnya pakai tunjuk - tunjuk wajah mereka. “Minggir! Gue mau keluar!” Mereka berdua bergeming, membuat April maju dan mendorong bahu mereka nggak sabaran. Bodo amat mau senior mau bukan. Kelakuan kaya anak preman. Keroyokan, di toilet pula. Hih, mana baju April baru, mana mahal, dikasih Jun kemarin lusa. Dongkolnya semakin menjadi - jadi. Sebelum keluar dari pintu toilet dia berbalik lagi pada mereka, kasih pandangan dingin dan berucap. “Kalian itu wanita berpendidikan, ngelakuin hal rendahan kaya gini emangnya nggak malu?!” *** April masih setengah emosi saat kembali ke ruangan Jun. Nafasnya masih sedikit memburu dan wajahnya masih blazing red. Berkali - kali dia menghela nafas dalam untuk meredakan emosinya sendiri. Dia kalau marah memang biasanya diam. Menyendiri gitu sampai dia benar - benar kembali dingin dan tenang. Tapi di kantor begini, mau menyendiri di mana? Tadi saja niatnya menenangkan diri di toilet malah di samperin duo racun. Iya, bener, duo racun. Karena omongannya racun semua. Mereka senior April di kantor ini. Otomatis mereka lebih tua. Karena batch April adalah batch termuda di kantor ini. Tapi ternyata semakin banyak angka di umur seseorang nggak menentukan cara berpikirnya akan dewasa atau tidak. “Lo kenapa, sih?” April kaget. Dia sampai lupa kalau ada Jun di ruangan ini. Dia terlalu fokus pada pekerjaannya dan pada kejadian yang menimpanya barusan. “Eh? Hah? Nggak. Gue nggak papa.” April sampai lupa juga kalau mereka sedang di kantor. Dan menjawab Jun dengan bahasa informal yang biasa dia pakai bersama pria itu. “Kok kayaknya lo emosi banget?” Emang! “Nggak, biasa aja. Lagi mencoba memahami kerjaan yang lo kasih. Kan baru gue hehehe.” Dia tertawa garing. Yang malah justru membuat Jun semakin curiga. April itu nggak bisa bohong. Jun dan juga keluarganya yang lain tau itu. Pupil matanya akan bergetar dan dia punya kebiasaan senyum atau ketawa aneh seperti barusan itu kalau sedang berbohong. Dan April barusan melakukannya, membuat Jun meletakkan mousenya dan tangannya kini bersidekap, terlipat di depan d**a. Mampus gue! Batin April panik. Dia bukan orang yang terbuka. Selama ini, asal dia diam, nggak ada yang cukup peduli pada masalahnya, jadi dia nggak perlu bercerita. Dia itu nggak bisa cerita. Berbelit - belit. Dia lebih suka menulis, makanya, dia unggul di pekerjaannya sekarang. Karena nggak perlu ngomong banyak sama orang lain. Misal ngomong juga hafalan, mengulang apa yang disampaikan padanya. Nggak perlu menambahkan pendapatnya sendiri. “April.” Nah kan bener. “Juni.” Tapi April memang keras kepala. Jadi dia meladeni saja permainan Jun. “Lo kenapa?” “Kenapa lo peduli?” “Mana ada Abang yang nggak peduli sama adeknya?” April memang cari penyakit. Dia beneran harus cepet - cepet move on kalau nggak mau hatinya jadi lebih remuk dari sekarang. Denger sendiri kan tadi Jun bilang apa. Abang sama adek! Itulah hubungan mereka! Bakalan susah buat naik level. Kalau April separuh Mei aja deh cantiknya, pasti lebih gampang. Tapi kan itu cuma kalau. Nggak beneran. Nyatanya, April masih tetep Upik Abu di antara mereka. “April.” Jun memanggil lagi saat April nggak menjawab dan malah autis dengan laptop di depannya. “Apaan, sih. Gue lagi kerja loh. Nanti gue nggak lulus probation.” “Jawab dulu. Lo kenapa?” April menyerah. Dia menurunkan tangannya dari laptop yang sedari tadi dia coba kasih seluruh fokusnya. “Kenapa lo milih gue jadi sekretaris lo?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN