DUA PULUH: NENEK DATANG

1123 Kata
Walaupun sepanjang jalan ke stasiun Jun berbicara panjang lebar demi meyakinkan April bahwa sangkaannya itu nggak benar, tapi kenyataannya toh memang seperti yang April pikirkan. Nenek nggak suka sama April. Setelah mereka sampai di stasiun, Nenek yang sudah menunggu di luar langsung melambai heboh saat melihat sosok Jun datang menjemputnya. Wanita itu langsung memeluk dan menciumi cucu lelakinya itu. Sedangkan pada April, hanya disalami setengah hati saja seperti pada orang asing. Ya memang sih, teknisnya memang nenek itu Nenek kandung Jun. Ibu dari Ayah. April memang bukan siapa - siapanya. Saudara juga bukan. Cuma kebetulan tetangga yang akrab aja. Nenek April sendiri ada di Semarang. Sudah terlalu sepuh dan terlalu sakit untuk bepergian jauh. April memanggilnya Uti. Sekarang beliau tinggal bersama salah satu Om dan Tantenya. “Nenek sehat, kan?” Juni bertanya setelah serangan Neneknya berhenti. Juni memang tipe yang nggak risih mempertontonkan keakraban atau bahkan kemesraan di depan umum. Dia memang orangnya sepede itu. “Sehat, sehat. Bunda mu sehat?” “Sehat kok. Ini juga lagi nunggu Nenek di rumah. Yuk pulang.” Ajaknya. April membantu membawakan barang bawaan Nenek. Biasa lah, khas Nenek - nenek. Kalau berkunjung ke rumah anak atau cucu atau saudara. Bawaannya biasanya seabreg. Apa saja yang ada di rumah maunya dibawakan untuk orang yang ditujunya. April baru membuka pintu kabin penumpang saat suara Nenek yang keras menegurnya. “Lho, kalo kamu duduk di situ aku duduk mana?” Suara Nenek yang kencang dan bernada keras khas orang - orang jawa timur membuat beberapa orang yang ada di dekat mobil mereka ikut menengok dengan wajah kepo ingin tahu. Wajah April sontak memerah malu karena menjadi pusat perhatian saat dia salah. Dia hanya menunduk sambil menggumam, “Bukain buat Nenek, silakan.” Setelah Nenek masuk, dia buru - buru masuk ke kabin belakang. Beberapa kali dia melihat Jun mencoba melakukan kontak mata dengannya, tapi dia tidak membalas. Sengaja. April memang sensitif, tapi April nggak mau dikasihani. *** “Eh. eh kamu mau kemana? Nyelonong aja.” April menghentikan langkahnya yang sudah separuh jalan menuju rumahnya. Dua langkah lagi dia sampai di halaman rumahnya. Tapi panggilan Nenek menghentikannya. Dia menoleh heran, mengangkat alisnya saat bertanya, “Ya, Nek?” “Bantuin dulu ini. Udah dikasih tumpangan gratis kok asal nyelonong.” Dada April melecos mendengar kalimat Neneknya. Sambil menunduk, dia kembali menghampiri mobil Jun yang bagian bagasinya kini terbuka. Jun sudah masuk duluan tadi, membawa barang - barang sebisanya. “Loh pril? Kok masih di sini?” Dia cuma senyum aja mendengar sapaan Jun. Jun yang kaget hanya bisa diam, memproses kira - kira ada apa gerangan. April? Senyum? Sama dia? Kalau dia nggak habis melakukan kesalahan fatal, pasti habis ada sesuatu. Yakin banget dia. Dan jawabannya datang seketika itu juga. “Biar dibantu. Dia kan udah numpang mobil kamu tadi pas pulang, bayar begini doang ndak masalah, tho.” “Astaga, Nek. Nggak gitu. Pril, biar gue aja.” Dia gelagepan. Pantesan April wajahnya tegang, ketat banget begitu kaya celana dalam baru. Ternyata Nenek penyebabnya. “Biarin aja. Dia mau bantu kok kamu nggak bolehin. Lagian lho nggak berat itu. Nenek aja tadi bisa bawa sendiri.” Neneknya menambahkan. “Iya, Nggak papa, gue bantuin.” Katanya dan langsung berlalu ke dalam rumah. Jun menggaruk kepalanya gusar. Repot nih, repot. Seminggu ini April sudah sukarela ikut mobilnya saat dia menghampirinya di pagi hari dan saat pulang kantor. Dia yakin, besok pasti drama lagi. Dia harus cari cara lagi biar April mau bareng dia. Lagian kenapa sih, dia peduli banget April mau bareng dia atau naik apapun ke kantor? Kan yang penting sampai kantor? Ya, memang seharusnya begitu. Memangnya April siapanya? April sih, bukan siapa - siapanya. Cuma tetangga yang sudah benar - benar anggap adik. Beneran. Dia hanya nggak tega lihat April jalan, panas - panas, kadang hujan - hujanan jalan dari halte ke kantor, halte ke rumah bolak balik begitu. Dia merasa bersalah kalau denger Bunda cerita Mama habis curhat sama Bunda katanya Kaki April lecet lah, kesleo lah. Dasarnya April juga yang keras kepala, susah dibilangin. Dia cuma nggak ingin merasa bersalah. Dia sama sekali nggak merasa terbebani kok. Dia peduli juga sama April, nggak mau lihat April susah. Jun mengangkat sisa barang bawaan Nenek ke dalam, setengah melamun, yang punya ngintil di belakangnya.. Di dalam, April sedang pamit sama Bunda. “April pulang, ya Bund.” Dia mendengar April pamit pada Bunda. Lalu berjalan melewatinya tanpa memandang Jun, langsung ke Nenek yang masih menyalami April dengan setengah hati. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumsalam.” *** “Pril?” “Ya, Ma?” “Katanya Nenek dateng, ya, hari ini.” April baru selesai mandi. Keramas sekalian karena kepalanya panas sekali. Sebenarnya yang panas itu hatinya, tapi hatinya kan nggak bisa dikeramasin. Jadi kepalanya aja lah. Dia sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk dan duduk di meja makan, melihat Mama menyiapkan makan malam untuk mereka. Mei katanya sudah di jalan pulang. Papa sedang mandi. “Iya, Ma. Barusan tadi sebelum Maghrib.” “Mama belum menyapa ke sana.” Kata Mama. Sudah April bilang kan, tadi. Mereka semua dekat dengan Nenek. Tapi hanya padanya Nenek bersikap ketus. Nggak jarang membandingkannya juga dengan Mei. Malah kadang sampai fisik segala. Bikin April makin down. Tanpa disebutkan saja, dia sudah merasa insecure dengan Mei. Kepercayaan dirinya aslinya nggak tinggi banget. Sikap galaknya adalah kamuflase agar orang - orang nggak mendekat padanya dan berujung menyakitinya. Lumayan berhasil. Tapi dia belum bisa menyingkirkan satu - satunya orang yang paling berpotensi membuatnya sakit hati. Bukan cuma sakit hati, tapi sakit hati yang luar biasa. Siapa lagi kalau bukan Junaidi Salim. Cinta monyetnya yang belum bisa dia lupakan. Dia masih saja selalu gagal move on dari Jun. Sepuluh tahun setelah patah hati pertamanya dan dia masih jalan di tempat. Parah banget, memang. Entah cintanya ke Jun memang sebesar itu, tekadnya yang selemah itu, atau Aprilnya jangan - jangan ini yang bermasalah? “Oh, Iya, Ma.” “Nanti habis makan aja, kali ya. Bareng - bareng sama Mei sama Papa.” Ajak Mama, tangannya dengan cekatan mematikan kompor setelah air yang akan digunakan untuk menyeduh kopi Papa mendidih. Dia bergeming. Boleh nggak dia nggak usah ikut? “Eh… Ma? Boleh April nggak usah ikutan?” Akhirnya dia memberanikan dirinya meminta ijin. Di belakang kepalanya, jari telunjuk dan jari tengahnya bertaut, bertaut, memohon agar doanya diijinkan. Tangan Mama yang sedang mengaduk kopi Papa terhenti. Kepalanya menoleh dan menatap April dalam. “Kenapa?” April jadi gelagapan sendiri. Nggak ada alasan. Dia nggak mau aja. “Ee…” Tapi dia harus punya alasan. Otaknya berputar cepat mencari ide. “E… kan tadi April ikut jemput nenek di stasiun sama Juni. Jadi April udah nyapa. Ehehehe… iya, gitu, Ma.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN