Bab 3.

1280 Kata
Aku melangkah turun ke bawah dengan membawa piring kosong bekas kupasan apel yang telah kusuapkan pada Gio tadi bersama dengan pisau buahnya. Mata bulatku menangkap sosok Mama Ratna, mama Gio sekaligus Ibu Mertuaku yang baik, tengah duduk di ruang makan. Beliau nampak santai membaca majalah fashion dengan secangkir kopi sendirian. Sesekali wanita cantik nan anggun tersebut menyeduh kopinya dengan penuh keanggunan seperti biasa. Nampaknya mama Ratna menyadari kehadiranku lebih dulu sebelum aku menyapanya. Wanita itu langsung menoleh ke arahku dan tersenyum hangat. Tentu saja aku langsung membalas senyuman hangat itu tidak kalah hangatnya. Aku melebarkan senyumanku dan memasang wajah secerah mungkin did epan beliau. “Pagi, Mama. Mama sudah bangun? Bagaimana harimu?” sapaku dengan riang sembari mendekati wanita tersebut. “Pagi, Sayang. Apa kau sedang menemani Gio di atas?” sapa balik Mama Ratna sembari mengulurkan tangan ke arahku. Tanpa kata wanita itu menyuruhku untuk lebih mendekat ke arahnya, dan aku menurutinya. Aku berdiri tepat di sebelah kursinya sehingga tangan Mama Ratna bisa mencapai pinggang rampingku dan mengusapnya dengan lembut layaknya seorang ibu. Aku menikmati sapaan mama Ratna. Di rumah ini, mama Ratna sudah kuanggap sebagai ibu keduaku. Hubungan menantu dan mertua di antara kami terjalin dengan sangat baik. Sejak awal mama Ratna dan Papa Andra menerimaku sebagai menantu mereka dengan baik. Tentu saja karena mereka berdua berpikir bahwa aku adalah satu-satunya gadis yang bisa menggerakkan hati dingin Gio ketika pertama kali kami bertemu. Walau perjalanan rumah tangga kami ternyata tidak ada kemajuan sama sekali setelah itu, namun mereka berdua masih merasa yakin bahwa suatu hari Gio akan kembali tergerak hatinya olehku. Tiap kali memikirkan hal itu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa miris. Aku yakin ini salah. Aku yakin semua itu adalah sebuah kesalah pahaman di antara keluarga ini. Aku yakin Mama dan Papa Gio hanya salah mengartikan sikap Gio yang ditunjukkan setelah pertemuan kami saat itu. Buktinya tidak ada kemajuan apa pun di antara kami berdua. Buktinya tidak ada interaksi lebih jauh di antara kami berdua. Bahkan posisiku di rumah ini tidak bisa melebihi posisi boneka beruang di hati Gio. dan semua itu tidak membuat mama dan papa Gio merasa lucu. Justru mereka berdua masih begitu semangat untuk meninggikan harapan mereka pada pernikahan kami. Bahkan sering kali mama menyemangatiku untuk tidak mudah menyerah menarik atensi Gio demi kelangsungan rumah tangga kami. Asal mama dan papa tahu, bahwa aku mulai merasa lelah dengan kehidupan seperti ini. Aku hanya bisa tersenyum lembut mengiyakan tiap ucapan mereka padaku, sembari berpikir dalam hati, sampai kapan kira-kira aku bisa bertahan melewati semua ini. Umurku masih muda. Aku masih berada di usia 23 tahun, di mana aku bisa mencari seorang kekasih yang lebih baik dari Gio. Setidaknya aku mungkin bisa mencari kekasih yang bisa menunjukkan cintanya kepadaku, bukan seperti Gio yang menoleh kepadaku pun tidak. Aku meletakkan piring kosong beserta pisau itu di atas meja. “Iya, Ma. Pagi-pagi Gio ingin melukis boneka beruang di atas, jadi Airin menemaninya,” jelasku, yang lebih cocok disebut melapor. Aku sudah biasa dengan pertanyaan seperti ini. Mama akan selalu memberiku pertanyaan mengenai apa saja yang dikerjakan Gio sepanjang hari, seolah itu memang tugasku sebagai istri Gio yang harus selalu di samping pria itu dan menjaganya. “Apa Gio sudah sarapan, Sayang?” tanya mama lagi. Aku tersenyum kecut lalu menggelengkan kepala untuk menjawabnya. “Gio tidak mau makan, Ma. Airin sudah mengambilkan makan untuk Gio, bahkan mau menyuapinya. Tapi Gio tetap tidak mau makan. Jadi Airin mengupaskan Apel untuk Gio.” “Hahh dasar anak itu. Kalau sudah fokus dengan apa yang sedang dikerjakannya, Gio pasti tidak akan perduli dengan sekitar. Tapi anak itu masih mau memakan suapan apel darimu kan Sayang?” Aku bisa melihat raut wajah khawatir di wajah Mama ketika mendengar bahwa Gio menolak makannya lagi. Mama Ratna memang sangat menyayangi Gio tidak perduli kerusuhan apa yang telah pria itu lakukan. Aku hanya bisa memakluminya saja. Mungkin karena Gio memang adalah anak kandung satu-satunya yang dia punya sehingga Mama Ratna bisa melakukan atau pun memberikan apa saja yang Gio inginkan. “Iya. Ma. Gio juga menghabiskan semua apel yang Airin kupas tadi. Setidaknya perut Gio tidak sampai kosong,” jawabku yang mengambil tempat duduk di sebelah Mama kemudian. “Itu sangat bagus, Airin. Lebih baik seperti itu. Mama suka khawatir kalau Gio tidak menerima sesuap makanan apa pun dalam tubuhnya. Karena Gio sendiri suka tidak perduli akan kesehatannya sendiri.” “Iya Ma. Airin tahu,” jawabku dengan tenang. Tanganku bergerak meraih apel yang telah disuguhkan di atas meja. Dengan santai aku mulai mengupas apel itu untuk diriku sendiri. “Oh, Airin, ada apa dengan jari tanganmu itu?” celetuk Mama Ratna kemudian yang berhasil menghentikan gerakanku dalam mengupas apel. Aku menoleh ke arah Mama Ratna yang kini terlihat penasaran dengan luka di jari tanganku. Aku terdiam untuk sejenak. Berbicara sampai sejauh ini, wanita itu hanya baru menyadari luka di tanganku sekarang? Hm ya sudahlah. Toh itu memang sudah biasa untukku. Satu hal yang telah kusadari selama aku tinggal bertahun-tahun di dalam keluarga ini. Di balik kasih sayang yang mama Ratna dan papa Andre berikan kepadaku, aku tahu bahwa mereka hanya menganggapku sebagai seorang pendamping untuk Gio. tanpa Gio, aku yakin mereka tidak akan perduli tentangku. Tidak. Bahkan sejujurnya aku telah merasa bahwa mereka tidak benar-benar perduli tentangku. “Aku terkena pisau saat mengupas apel untuk Gio, Ma,” jawabku kemudian. Aku sengaja melempar senyum lembut ke arahnya seolah itu bukanlah masalah untukku. “Astaga Airin. Kenapa kau tidak berhati-hati? Jika kau sedang memegang benda berbahaya, kau harus tetap fokus agar benda itu tidak melukai orang lain nantinya. Bagaimana bisa ini terjadi? Apa yang sedang kau pikirkan tadi sampai terjadi hal seperti ini hm?” Aku tertegun mendengar celotean panjang lebar yang mama Ratna keluarkan itu. Aku tahu, di balik wajah cemas yang dia tunjukkan kepadaku saat ini, dia hanya ingin memberiku peringatan untuk tetap bersikap hati-hati jika aku tengah bersama dengan Gio. Tentu saja karena mama Ratna sangat takut bahwa kecerobohanku ini bisa melukai anak kesayangannya itu. “Apa lukanya dalam? Kau sudah mengobati lukanya dengan benar bukan?” lanjut mama Ratna yang masih memerhatikan jemari tanganku dengan kening berkerut tajam. Aku sudah biasa menghadapi sikap palsunya itu. Setidaknya mama Ratna bukan ibu mertua jahat seperti yang ada dalam film-film biasanya, aku rasa aku masih bisa menahan semua kepalsuan ini. “Maafkan Airin, Ma. Airin tidak menyangka bahwa Gio akan berdiri secara tiba-tiba dan menyenggol lenganku, sehingga pisau itu melukaiku tadi. airin baik-baik saja kok, Ma. Airin juga sudah mengobati luka ini dengan baik.” Ya, aku hanya ingin sedikit memberikan sindiran pada ibu mertuaku itu bahwa semua luka yang selama ini aku dapat, jelas sebagian besar karena ulah anak kesayangannya itu. Aku hanya ingin menyadarkan mama Ratna tentang seberapa besar kesabaranku dalam mengurusi anaknya -Gio, suami yang tidak pernah menganggapku ada itu. Mama Ratna terlihat cukup terkejut dengan jawabanku itu. Aku mengalihkan perhatianku kembali pada apel dalam genggamanku. Aku berpura-pura polos dan bersikap seolah tidak melihat kecanggungan yang tercipta di wajah cantik ibu mertuaku itu. “Airin, kau pasti sangat kesakitan. Maafkan Gio ya? Kau tahu bukan Gio seperti apa? Dia pasti tidak melakukan hal itu dengan sengaja kepadamu, Sayang.” Mama Ratna meraih tanganku dengan hati-hati dan menggenggamnya dengan lembut. Membuatku melirik ke arah genggaman tangan itu. Diam-diam aku tersenyum tipis ketika mendengar suara merdu yang masuk ke dalam indera pendengaranku itu. Tentu saja mama Ratna akan tetap bersikap lembut kepadaku, dan mencooba untuk menyemangatiku lagi. Karena wanita itu tidak ingin aku meninggalkan anak lelakinya yang telah dewasa dan jelas memiliki halangan dalam mencari seorang pendamping yang sabar sepertiku. “Iya, Ma. Mama tenang saja. Airin sudah tahu itu,” jawabku dengan senyuman manis menanggapi ucapan mama Ratna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN