Bab 2.

2113 Kata
Karena desakan ibu dan ayah yang berusaha membuatku menerima perjodohan ini, akhirnya kami datang atas undangan makan malam mereka. Undangan makan malam sembari membicarakan kelanjutan perjodohan kami. Di sela acara makan kami yang tengah berlangsung, semua percakapan lebih didominasi oleh ayah dan ibuku. Bukan berarti pihak dari keluarga pria tidak menyukai kami, hanya saja aku tahu, bahwa sepertinya mereka menganut budaya kesopanan dan memiliki tata krama yang tinggi ketika berada di ruang makan. Saat itu aku sedikit merasa malu dengan ayah dan ibuku yang sibuk berceloteh ke sana ke mari seakan tidak peka pada situasi saat itu. Namun aku juga merasa bersyukur bahwa pihak dari keluarga pria sepertinya memang orang yang baik. Aku tahu bahwa mereka berusaha untuk memperlakukan tamu dengan baik dan sesekali menanggapi celotehan kedua orang tuaku meski sedikit enggan. Saat itu aku sempat melirik ke arah pria yang bernama Gio, yang duduk tepat di seberangku. Dia pria yang tampan, dan sangat pendiam. Terlalu pendiam sampai tidak memedulikan keadaan sekitar. Pria itu bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah lain, dan dia juga hanya mengaduk-aduk pastanya saja tanpa berniat untuk memakannya. Aku merasa aneh dengan sikap pria itu. Bukannya sebelumnya tante Ratna, teman lama ibu berkata bahwa Gio menunjukkan ketertarikan kepadaku? Lalu apa yang aku lihat sekarang? Bahkan melirik diriku sedikit pun tidak. Mungkin tante Ratna dan om Andra telah salah menangkap maksud dari hati Gio. Mungkin pria itu tidak bermaksud untuk melanjutkan perjodohan ini denganku. Aku merasa sedikit lega mengetahui hal itu. “Lalu bagaimana dengan Airin, Sayang? Airin?” aku masih tenggelam dalam pikiranku sampai tidak menyadari bahwa tante Ratna tengah bertanya padaku. Sampai akhirnya ibu menyenggol lenganku hingga membuatku sedikit terkejut, barulah aku langsung menoleh ke arah sekitar dengan gugup. “Ah y-ya tante?” tanyaku kemudian. Aku merasa sedikit takut jika tante Ratna merasa tersinggung dengan sikap tidak sopanku saat ini. Namun sepertinya dugaanku telah salah. Tante Ratna melempar senyum lembutnya ke arahku dan mengulang kembali pertanyaannya tadi. “Tante tadi bertanya apa Airin setuju dengan perjodohan ini?” jantungku langsung terasa bertalu dengan cepat. Apa yang harus aku jawab sekarang? Aku menoleh ke arah Gio yang masih menundukkan kepala tidak menoleh sedikit pun padaku, seolah pria itu tidak peduli sama sekali dengan perjodohan ini. Apa yang harus aku jawab sekarang? Aku kembali mengulang pertanyaanku dalam hati. Aku tidak berani berkata tidak di depan tante Ratna dan om Andra yang seakan tengah menunggu jawaban iya dariku. Aku melirik ke arah Ibu yang duduk di sebelahku. Dan aku langsung melihat ibu yang melotot tajam ke arahku. Aku tahu apa maksud ibu itu. Beliau ingin menyuruhku untuk mengiyakan perjodohan ini. Memang semua ini sudah kita bicarakan sebelumnya. Sejak awal ibu dan ayah sudah menyuruhku untuk mengiyakan perjodohan ini. Siapa yang tidak mau dijodohkan dengan pria dari pewaris keluarga kaya seperti Gio. Ibu menuturiku dengan wejangan layaknya orang tua pada umumnya bahwa diriku seharusnya bersyukur dan menerima perjodohan ini. Ini merupakan sebuah keberuntungan yang tidak akan datang dua kali dalam hidupku. Kami memang hidup sederhana selama ini, dan menjadi menantu dari keluarga terpandang seperti keluarga Leksa merupakan sebuah anugerah menurut ibu dan ayah. Karena itu, aku yang hanya berusia 20 tahun saat itu dengan terpaksa akhirnya hanya bisa mengatakan iya, menjawab pertanyaan tante Ratna dan om Andra. Terlihat begitu bahagia sekali raut wajah mereka ketika mendengar jawaban singkatku itu. Aku sedikit tersentuh. Merasa terharu saja melihat ada sebuah keluarga yang terlihat begitu menginginkan diriku yang biasa ini sebagai menantu mereka. Dan saat pertanyaan itu mereka lempar pada Gio, anak mereka, aku langsung menelan ludah dengan susah payah. Sepertinya mereka akan merasa kecewa mendengar jawaban pria itu. Karena aku sudah tahu apa jawabannya setelah ini. “Gio, bagaimana dengan kamu, Nak? Apa kamu suka dengan perjodohan ini, hm?” tanya tante Ratna dengan nada lembutnya. Tante Ratna berbicara seakan seperti mengumpulkan seluruh atensinya pada anaknya itu. Dengan satu tangannya menyentuh lembut pundak Gio. Rasanya suasana di ruangan ini seakan terasa sunyi dan sesak untuk sesaat. Hingga pada akhirnya pria itu hanya menganggukkan kepalanya saja tanpa bersusah payah membuka suaranya. Semua sontak terlihat begitu gembira setelah itu, berbeda sekali dengan perasaanku saat itu. Bagaimana bisa pria itu menyetujui perjodohan ini sedangkan dia sama sekali tidak menunjukkan sikap ketertarikannya padaku sama sekali. Saat itu aku merasa bahwa aku telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku. Namaku Airin. Putri dari keluarga sederhana. Setelah lulus sekolah, aku langsung mencari pekerjaan untuk membantu keuangan keluargaku dan mencari uang sakuku sendiri. Dan di saat usiaku menginjak tahun ke-20, aku terjebak dalam sebuah perjodohan dan akhirnya menikahi seorang pria yang lebih tua 4 tahun di atasku. Pria tampan dengan kelainan mental yang bernama Gio Leksa Permana. Aku baru menyadari kelainan mental Gio setelah malam pernikahan kami selesai diadakan. Apa kalian tahu perasaanku saat itu? Ketika aku dan Gio didudukkan bersama di depan tante Ratna dan om Andra, lalu tante Ratna mengatakan mengenai kesehatan mental Gio secara gamblang padaku, saat itu juga aku berpikir bahwa aku memang telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku. Namanya Gio Leksa Permana. Pria tampan dengan kelainan mental yang akhirnya menjadi suamiku saat ini. Kata mereka, Gio memiliki ketertarikan padaku di awal pertemuan kami, namun sampai sekarang, sedikit pun aku tidak pernah melihat ketertarikan itu di matanya atau bahkan dalam kebersamaan kami selama ini. Yang dilakukan Gio hanya mengurung diri di dalam kamar dan bermain dengan apa pun yang berhasil menarik perhatiannya. Gio tidak suka, ah mungkin lebih tepatnya jika pria itu tidak memiliki rasa keperdulian sedikit pun pada sekitarnya. Sekali Gio tertarik dengan sesuatu, maka pria itu tidak akan melepaskan mainannya sama sekali. Dan ketika dia telah selesai memainkannya ataupun sudah merasa bosan kepadanya, maka dia tidak akan sekali pun melirik objek itu lagi. Dia akan membuangnya, seolah objek itu sudah tidak berguna lagi dalam hidupnya. Gio adalah pria dengan kelainan mental yang luar biasanya juga memiliki salah satu kelebihan. Pria itu seorang Programer. Dan dia pandai sekali bermain komputer. Aku tidak tahu lebih detailnya, tapi aku sangat terkejut ketika mendengar dari tante Ratna bahwa Gio memiliki uang yang dihasilkannya sendiri. Mereka bilang, Gio membuat suatu software atau semacam aplikasi dan menjualnya. Gio juga bisa melukis, dan melakukan sesuatu yang bagus dan bisa dijualnya. Aku tidak tahu pasti berapa penghasilan yang didapatkannya tapi mereka bilang, Gio bisa hidup mewah tanpa campur tangan dari kekayaan keluarganya. Dengan kata lain pria itu bisa menghasilkan uang hanya dengan kecerdasannya. Gio tidak butuh berinteraksi dengan banyak orang hanya untuk mencari uangnya sendiri. Dan Gio juga tidak pernah tertarik dengan masalah perusahaan keluarganya sendiri. Itu adalah salah satu alasan yang membuat tante Ratna dan om Andra berusaha menikahkan Gio dan menjodohkan kami. Gio tidak pernah tertarik dengan orang lain hingga pria itu tumbuh dewasa saat ini. Gio juga tidak pernah tertarik dengan masalah perusahaan. Sedangkan umur semakin menua. Baik om Andra dan tante Ratna membutuhkan seorang penerus untuk perusahaan mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Gio, pria itu menunjukkan suatu reaksi terhadap orang lain, dan itu adalah aku. Hal itu membuat mereka berdua berharap lebih kepadaku. Jika Gio tidak bisa meneruskan perusahaan, maka anak kami yang akan melakukannya. Aku terperangah tidak percaya ketika mengetahui alasan di balik perjodohan kami dari tante Ratna. Meski tante Ratna mengatakan semua itu dengan senyuman lembut dan gerakan yang begitu tenang, namun aku tahu tersimpan suatu harapan besar dalam pernikahan kami. Sekarang, jika aku mengingat semua itu, aku hanya bisa tertawa keras dalam hati. Mereka jelas telah salah besar. Apanya yang tertarik kepadaku? Apanya yang mereka maksud dengan keturunan? Anak kami? Rasanya aku ingin mengumpat dengan memakai toak agar mereka semua tahu bahwa sekali pun dalam 3 tahun lamanya pernikahan kami, Gio tidak pernah berinisiatif untuk menciumku sama sekali. Bagaimana aku bisa hamil? Bagaimana aku bisa memiliki seorang anak dan mereka mendapatkan seorang penerus jika Gio tidak pernah menyentuhku sama sekali. Aku bahkan pernah mencoba merayunya dulu, dan apa yang dia lakukan? Dia menendangku dari kasur. Sejak itu aku mulai menyadari, pria itu tidak memiliki respon sensualitas terhadapku. Bahkan jika aku menari telanjang di depannya sekali pun, miliknya tidak akan menegak untuk meresponku. Gio, tidak pernah tertarik kepadaku. Aku telah masuk ke dalam sangkar emas. Rumah ini penuh dengan kemewahan seperti yang ibuku katakan. Aku bisa membeli baju baru, aku bisa membeli makanan mahal, aku memiliki uang banyak, dan semua itu aku dapatkan dari hasil merawat bayi besar bernama Gio yang telah menjadi suamiku ini. Ya, hidupku sekarang tidak lebih dari seorang nanny bagi Gio, suamiku sendiri. Aku menikmati kegiatanku yang masih mengupas kulit apel dalam diam. Memerhatikan betapa tajamnya mata pisau itu ketika menyobek tiap bagian kulitnya. Aku berpikir, bagaimana jika pisau itu tanpa sengaja mengenai tanganku? Dan lalu aku terkejut ketika sesuatu menyenggol lenganku tiba-tiba. Membuat mata pisau benar-benar menggores jemariku. Aku terpekik, merintih kesakitan sambil meletakkan pisau dan apel yang tadinya aku pegang di atas meja begitu saja. Aku melihat tetes darah mengalir cukup deras dari jemariku yang terluka. Pandangan mataku kemudian bergulir ke arah Gio yang baru saja berdiri secara tiba-tiba hingga tanpa sengaja menyenggol lenganku yang tengah memegang pisau itu. Matanya lurus ke arah bonekanya yang ternyata tengah terjatuh dari kursi. Tanpa kata Gio menghampiri bonekanya dan meletakkan di tempat semula. Gio mengusap-usap boneka itu sejenak dengan sayang sebelum kemudian berbalik kembali ke tempat duduknya, di sebelahku. Aku memerhatikan tiap gerak tubuh Gio yang mendekatiku. Ketika pria itu melangkah mendekat, mata kami sempat bertemu pandang. Aku tahu bahwa pandangan matanya sempat bergulir ke arah jemariku yang sudah dipenuhi cairan darah segar. Ada rasa penuh harap dalam lubuk hatiku ketika Gio melihat luka ini. Apakah dia akan membantuku? Gio berdiri tepat di depanku dengan pandangan mata yang mengarah pada luka di jemariku. Tangannya meraih beberapa lembar tisu di depan kami. Aku berdebar untuk pertama kalinya melihat Gio mulai memerhatikanku. Dan sedetik kemudian harapanku yang sudah melambung tinggi itu, jatuh begitu saja. Gio mengerutkan alisnya terlihat kesal. Tangannya meraih pensil gambarnya yang ternyata menggelinding tepat mengenai genangan darahku. Membuatnya menjadi kotor. Dan Gio mengelapnya sebersih mungkin dengan lembaran tisu itu. Aku terpaku di tempat. Mataku bergulir mengikuti gerak tubuh Gio yang melangkah menduduki kursinya kembali. Pria itu mulai menggambar lagi dengan pensilnya tanpa memedulikan keadaanku lagi. Aku menggigit bibir bawahku sekuat mungkin. Menahan rasa sakit yang terkumpul dalam dadaku. Satu tanganku bergerak meraih beberapa lembar tisu untuk menahan laju darahku sendiri. Begitu kuat aku menekan lukaku dengan tisu-tisu itu sekaligus melampiaskan rasa kecewa yang menumpuk dalam hatiku. Terlihat darahku mulai merembes menembus tisu yang aku pakai. Jemariku begitu sakit. Namun rasanya lebih sakit isi hatiku saat ini. Aku bergerak bangkit berdiri dan melangkah ke samping, mengambil kotak p3k. Aku membawanya kembali ke tempatku duduk tadi dan mulai mengobati lukaku sendiri dalam diam. Tidak apa. Aku bisa melalui ini semua. Sudah 3 tahun aku menjalani hidup bersamanya, jadi aku juga sudah lumayan terbiasa. Seperti inilah Gio. Kelainan mentalnya, membuat pria itu tidak perduli sama sekali dengan sekitarnya, kecuali dengan hal yang bisa membuatnya tertarik. Dan aku, bukanlah salah satu hal yang menarik baginya. Aku dengan pelan mengobati luka goresku sendiri, dan Gio masih tetap fokus pada gambarannya sendiri. Setelah aku menyelesaikan pengobatanku seadanya, aku kembali meletakkan p3k itu ke tempat semula dan meraih apel-apel yang sudah kukupas untuk aku cuci bersih. Aku kembali dengan apel-apel yang sudah kupotong beberapa bagian itu dan duduk di sebelah Gio seperti sebelumnya. Aku tusuk apel itu dengan garpu dan lalu mengarahkannya pada depan bibir Gio. “Gio, aaa... “ pintaku. Tanpa menoleh, pria itu akhirnya membuka bibirnya dan menerima suapan apelku dalam diam. Aku tersenyum tipis. Aku meletakkan satu lenganku ke atas meja dan lalu menyandarkan sisi wajahku untuk menghadap ke arah Gio. Baik tangan dan bibir pria itu sibuk bergerak dan mengunyah. Aku menyadari bahwa Gio tidak memiliki ketertarikan sedikit pun kepadaku. Namun aku merasa sedikit bersyukur bahwa pria itu juga tidak menolak apa yang kuberikan kepadanya. Gio seperti anak kecil yang perlu dilayani oeh ibunya. Dan tugas melayani itu, telah menjadi tugasku sejak kami telah menikah 3 tahun yang lalu. Dengan telaten aku menyuapi kembali Gio dengan apel-apel yang sudah aku kupas. Jika dibilang apakah aku mencintai pria ini? Entahlah, aku tidak bisa menjawabnya. Mungkin lebih tepat jika aku hanya pasrah menerima keadaanku saat ini. Apa yang bisa aku harapkan dengan pernikahan yang berjalan selama 3 tahun tanpa adanya suatu hubungan ranjang sama sekali? Yang aku lakukan selama ini hanya melayaninya layaknya seorang nanny untuk Gio tanpa protes. Kadang aku berpikir, haruskah aku meminta cerai saja? Dan mencari pendamping hidup yang layak untukku? Kenyataannya aku tidak sanggup atau bahkan tidak berani untuk memikirkan hal itu lebih lanjut. Aku hanyalah seorang gadis penakut yang tidak memiliki keberanian lebih untuk menyampaikan pendapat sendiri. Tapi jauh dalam lubuk hatiku, aku sudah mulai merasa bosan dengan hidup yang seperti ini. Ahh betapa buruknya pikiranku sebagai seorang istri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN