Bab 4.

1592 Kata
Hari ini adalah hari ulang tahun Gio. Aku dan Mama Ratna berencana membuat pesta perayaan kecil-kecilan di rumah, karena itu saat ini kami berdua pergi belanja kebutuhan sekaligus belanja bulanan. Mama berada di bagian sayuran ketika aku berada di bagian bahan-bahan kue. Aku dan Mama berencana membuat kue ulang tahun coklat untuk Gio karena pria itu sangat menyukai rasa tersebut. Lebih tepatnya, Gio senang sekali memakan manisan di usianya yang dewasa. Bahkan lebih suka dibanding aku yang memang suka manisan. Terkadang hal itu membuat diriku takjub ketika melihat bagaimana sukanya Gio pada manisan cokelat hingga kami selalu menyediakan kue atau makanan lain yang berbau cokelat tiap harinya. Hal itu ternyata telah berlangsung sejak Gio kecil. Mama bilang, cokelat membuat Gio lebih mudah untuk berpikir atau lebih fokus dalam melakukan sesuatu. Aku tidak mengerti alasan itu. Awalnya aku hanya berpikir bahwa itu adalah akal-akalan Gio saja untuk mendapatkan manisan yang disukainya. Tapi semakin melihat dan tinggal bersama dengan pria itu, aku semakin berpikir bahwa Gio sebenarnya cukup terobsesi dengan cokelat. Pernah suatu hari aku sengaja tidak memberikan Gio asupan cokelat selama lebih dari tiga hari. Dan apa yang kudapat? Emosi Gio menjadi tidak stabil. Pria itu tidak henti mengigiti buku jarinya hingga terluka dan berdarah. Mama harus membawa Gio ke rumah sakit untuk penyembuhan, dan setelahnya wanita itu marah besar kepadaku. Setelah hari itu Mama akan selalu memastikan aku benar-benar menjaga Gio dengan baik hingga sekarang. Aku meraih permen coklat yang terpajang di rak dan memerhatikan bahannya. Menimbang akan membeli manisan itu atau tidak sebagai hiasan kue nanti, ketika kemudian aku merasa seseorang telah berdiri tidak jauh dariku. “Airin?” Aku menoleh ke arah panggilan itu, lalu terpaku di tempat. Siapa yang sangka aku akan bertemu dengannya di tempat ini. Dia, pria yang pernah memenuhi isi pikiranku beberapa tahun yang lalu. Dia, pria yang telah kulupakan sejak aku telah memilih jalan yang baru bersama Gio. Dia, cinta pertamaku yang bernama Devan. Rasanya waktu telah berhenti di antara kami berdua ketika aku menatap kedua matanya untuk pertama kali sejak perpisahan kami. Aku lihat Devan juga sama terkejutnya denganku terbukti dengan pria itu seolah membeku di tempat sembari menatapku dengan raut wajah seolah tidak percaya bahwa itu adalah aku. Untuk beberapa saat kami hanya saling pandang memandang tanpa kata hingga semua itu akhirnya terpatahkan ketika Devan berinisiatif lebih dulu mendekat kepadaku. “Airin bukan?” tanya Devan sekali lagi untuk memastikan bahwa dirinya tidak salah dalam mengenali orang. Aku mengerjapkan mata untuk memfokuskan diri kembali. “... Devan?” balasku yang juga masih tidak percaya. Pria itu seketika tersenyum cerah sembari menganggukkan kepala, menyadari bahwa dirinya memang tidak salah mengenali orang. Sementara aku, aku tertegun melihat senyum itu lagi. Senyum manis yang selalu berhasil mewarnai hari-hariku di masa sekolah dulu. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa melihat senyum itu lagi setelah lamanya kami tidak bertemu. Devan, nama pria yang telah menjadi cinta pertamaku di masa sekolah dulu adalah pria yang sangat baik. Kami bertemu untuk pertama kalinya di perpustakaan sekolah ketika aku disibukkan dengan tugas sekolah dan mencari satu buku sebagai objek yang ditugaskan. Dan Devan yang saat itu merupakan anggota perpustakaan tiba-tiba datang dan membantuku mencari buku itu. Devan anak yang mudah sekali bergaul dengan siapa pun, dan sejak itu kami menjadi akrab. Aku sering datang ke perpustakaan dan berpura-pura membaca buku, belajar atau pun mengerjakan tugas di sana, kenyataannya aku hanya ingin menjadi lebih akrab dan berbincang atau pun hanya sekedar memerhatikan Devan yang tengah sibuk pada tugasnya di sana. Kami cukup akrab untuk saling berbincang atau pun bercanda satu sama lain sejak itu. Tapi tidak cukup dekat untuk bisa berbagi kontak atau sekedar menghabiskan waktu bersama di luar kegiatan tersebut. Hingga kelulusan sekolah berlangsung, aku tidak berani melangkah lebih jauh dan itu membuatku cukup menyesal, karena setelahnya aku tidak pernah bertemu dengan pria itu lagi. Tentu saja aku sangat terkejut ketika ada kesempatan yang datang padaku untuk bisa bertemu lagi dengan pria itu. Jantungku mulai berdetak dengan cepat. Aku merasa gugup bahkan telapak tanganku mulai berkeringat dingin karena kehadiran pria itu. Perasaan antusias sekaligus pengecut ini masih sama rasanya seperti di saat sekolah dulu. Aku selalu mengagumi Devan dan itu selalu membuatku gugup dan malu untuk berada dekat dengan pria itu. Entah Devan menyadari perasaanku itu atau tidak, yang jelas aku sudah berusaha setengah mati untuk menyembunyikan kegugupanku ini tiap kali berhadapan dengannya. Sama seperti saat ini. Aku menelan air ludah dengan kasar sembari menyiapkan mental. Bersikap sewajar mungkin di depan pria itu agar aku tidak membuat malu pada pertemuan pertama kita setelah waktu yang lama. Apa parfum yang kugunakan hari ini masih tercium harum? Tanpa sadar tanganku bergerak merapikan rambut yang saat ini kuikat menjadi satu dengan tinggi. Berharap ikatannya masih rapi. Tunggu! Wajahku tidak berminyak bukan? Aku sudah berkeliling cukup lama untuk mencari semua bahan yang kubutuhkan tadi, dan itu membuatku takut akan adanya minyak di wajahku atau pun hilangnya lipstik yang kuhiaskan pada bibir karena sering kali aku menggigit dan mengulumnya sepanjang jalan tadi. Ini membuatku nervous. Andai aku tahu bahwa hari ini aku akan bertemu dengan Devan, aku pasti akan berpenampilan lebih baik. Oh tidak, seharusnya aku memakai baju yang lebih modis saja tadi. Apa yang harus kulakukan? Aku menjadi tidak henti mengeluh dalam hati dengan pandangan yang masih menatap lurus ke arah Devan yang juga tengah menatapku saat ini. “Benar, ini aku. Ini sudah lama, aku tidak menyangka aku akan bertemu dengan kamu di tempat ini,” jawab Devan yang terlihat ramah seperti biasanya. Aku menyadari kalau pria itu masih sama baiknya seperti ketika aku mengenalnya dulu. Aku jadi ikut tersenyum senang dibuatnya. “Ya. Aku juga tidak pernah menyangka akan bisa bertemu denganmu di tempat ini. Apa kau ... datang sendiri?” tanyaku dengan hati-hati. Mataku juga mulai menoleh ke sekitar Devan, sembari berharap bahwa pria itu tidak bersama siapa pun dengannya. Bukan tidak mungkin jika pria setampan dan sebaik Devan akan menggandeng seorang gadis cantik kan? Aku merasa hanya belum siap jika harus diperkenalkan dengan gadis beruntung itu. “Oh, aku bersama dengan seseorang,” jawab Devan kemudian. Seketika harapanku meluntur mendengar hal itu. Tentu saja Devan akan menggandeng seseorang. “Ah begitu? Apa kau bersama dengan kekasihmu? Yang mana dia?” tanyaku basa-basi mencari tahu lebih lanjut, sementara dalam hati telah terjadi pergolakan batin antara ingin dan tidak ingin melihat lebih jauh siapa sebenarnya yang akan menjadi gadis beruntung itu. Aku akan menjadi lebih patah hati ketika nanti melihat penampilan gadis itu yang jauh lebih cantik dibanding denganku. Seketika aku merasa aku hanya sekedar rempahan peyek jika harus disandingkan dengan Devan yang sangat luar biasa di mataku. Tidak mungkin Devan akan memiliki rasa kepadaku yang hanya seorang gadis biasa dan miskin ini. Aku menjadi sadar diri. Devan kembali mengulum senyum mendengar pertanyaanku. “Sebenarnya dia—“ “Kak, yang mana yang lebih baik? Yang ini atau ini? Tidak. Sebenarnya apa kau tahu perbedaan di antara mereka? Kenapa ini membuatku bingung sekali,” gerutu seorang pria yang tiba-tiba datang menengahi pembicaraan di antara kami berdua. Dia datang dengan membawa dua kartu ucapan yang terlihat cantik di kedua tangannya dan memperlihatkannya pada Devan. Aku tidak pernah melihat pria itu sebelumnya, karena itu aku hanya memperhatikan dalam diam bagaimana keduanya saling mengeluarkan pendapat mengenai kartu ucapan tersebut, sebelum akhirnya pria asing itu kembali pergi menjauh, meninggalkan kami berdua. Devan lalu melempar senyum maklum kepadaku. “Kau lihat sendiri bukan? Dia adikku. Lebih tepatnya adik sepupu. Aku datang ke sini karena dia menyeretku kemari untuk membantunya menyiapkan kejutan pada ulang tahun kekasihnya nanti malam,” jelas Devan. “Lalu ... kekasihmu ...?” Entah apa yang tenga kupikirkan ini hingga aku berani menanyakan hal itu. Seketika aku mengutuk diri tentang betapa bodohnya aku. Bagaimana jika Devan merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Tapi aku terpaku kemudian ketika Devan justru melempar senyum kepadaku. “Aku belum punya kekasih,” jawabnya dengan mantap. Seketika ada kupu-kupu terbang dalam perutku setelah mendengar hal itu. Terlebih ketika Devan mengatakannya sembari menatapku dengan lembut. Aku langsung menundukkan wajah karena aku yakin bahwa saat ini kedua pipiku pasti telah memerah. Aku bahkan tidak bisa menahan cengiran di sudut bibirku lebih lama karena satu jawaban simpel itu. Apa yang harus kulakukan? Aku merasa ... senang. Aku berharap Devan tidak menyadari kebahagiaanku ini hanya karena mengetahui bahwa dia belum memiliki kekasih. “Lalu bagaimana denganmu? Apa kau datang sendiri di tempat ini?” tanya Devan balik. Aku langsung mendongakkan kepala kembali untuk menjawabnya. “Ah, aku tidak sendiri. Aku bersama dengan Mama—“ Ucapanku seketika mengambang di udara. Baru aku menyadari tentang apa yang tengah kulakukan. Aku telah melupakan satu hal penting. Tidak perduli apa Devan telah memiliki kekasih atau belum, kenyataannya aku tetap tidak seharusnya memiliki urusan dengan hal itu, karena aku telah memiliki status penting sebagai istri dari orang lain. Aku harus menjaga sikapku di depan pria lain. “Mama? Kau bersama dengan Mamamu di sini?” ulang Devan dengan raut wajah heran, mungkin karena nada suaraku yang mengambang di akhir kalimat tadi. Aku seolah baru saja ditampar oleh kenyataan. Aku merasa lemas di tempat. Menundukkan pandangan kembali ke bawah mencoba menjauhi tatapan mata Devan. “Ya, Mama. Mama ... mertua,” ucapku dengan lirih. Aku merasa ingin lari saja karena tidak sanggup melanjutkan pembicaraan ini. Lebih tepatnya aku tidak sanggup mengatakan bahwa aku tengah datang bersama Mama mertuaku, dan harus melihat reaksi ketidak perdulian Devan akan kenyataan itu nanti. Kesempatanku untuk meraih cinta pertamaku rasanya kembali kandas tanpa aku bisa memulai lagi. Ini membuatku merasa frustasi. Andai dulu aku tidak bertemu dengan Gio dan menikah dengannya ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN