Ssk! Sskk! Ssskk!
Tidak jarang terdengar suara gesekan dari goresan pensil yang saling beradu dengan sebuah kertas gambar. Tidak ada suara lain yang ikut meramaikan suasana di antara kita selain suara dari gesekan pisau yang sedang aku pakai, untuk mengupas buah apel merah dalam genggaman tanganku saat ini. Aku duduk di sebelahnya dengan tenang. Pandangan mataku fokus pada apel merah yang sedang aku kupas. Dan dia, juga duduk di tempatnya dengan tenang. Sibuk dengan tiap goresan pensil yang tengah dibuatnya saat ini. Sesekali matanya akan bergulir pada objek di depannya dan lalu beralih kembali pada kertas gambarnya, dan hal itu dilakukannya berulang-ulang kali.
Seekor beruang berwarna coklat dengan dasi pita di lehernya tengah duduk tegak di atas kursi tunggal, di seberang meja. Sesekali aku juga melirik ke arah pria di sebelahku hanya untuk melihat wajahnya yang terlampau serius dengan apa yang tengah dilakukannya itu. Hidup selama 3 tahun bersamanya membuat aku yang sebelumnya tidak pernah mengenal dirinya sama sekali, menjadi sedikit demi sedikit mengerti tentang semua kebiasaannya. Jika dia sedang memerhatikan sesuatu, kedua matanya akan memandang dengan polos objek yang menarik perhatiannya, bibirnya juga ikut terbuka sedikit menunjukkan keterpanaannya pada objek tersebut. Jika dia tertarik dengan objeknya, maka tidak akan ada yang bisa ataupun boleh mengganggu kesenangannya. Jika dia tengah melakukan sesuatu ataupun sedang tertarik dengan sesuatu seperti saat ini, matanya akan sesekali memicing tajam dan begitu fokus dengan apa yang membuatnya tertarik itu. Seolah dunia miliknya hanya berpusat pada objek yang tengah mencuri perhatiannya. Dia tidak akan memedulikan yang lainnya lagi selain objek yang telah menarik perhatiannya itu.
Untuk saat ini, aku tengah merasa iri sekaligus merasa cemburu, mungkin, dengan objek beruang yang berhasil menarik perhatiannya di depan sana. Dia terlihat begitu fokus dan menikmati apa yang tengah dilakukannya, menggambar boneka beruang itu seakan mereka berdua tengah berkencan berdua saat ini, dan aku adalah obat nyamuknya. Dia tidak memedulikan aku sama sekali yang duduk di sebelahnya, dan hanya fokus pada objek mati yang ada di depannya. Andai aku yang ada di sana. Andai dia bisa tertarik kepadaku walau hanya sekali saja. Haruskah aku mati terlebih dahulu untuk bisa menarik perhatian dia? Dia yang adalah suamiku sendiri. Haha terkadang pemikiran bodoh ini sempat terlintas dalam otak kecilku. Mungkin karena saking terlalu kesepiannya diriku hanya untuk mengharapkan perhatian dari suamiku sendiri, suami yang seakan tidak pernah menganggap kehadiranku ada dalam hidupnya, sehingga membuatku menjadi gersang akan perhatiannya.
Pernikahan kami sudah berlangsung selama 3 tahun lamanya. Aku sadar, pernikahan ini memang bukan didasari dengan perasaan cinta seperti pernikahan pada umumnya. Baik aku dan dia, tidak ada perasaan cinta di antara kami dari awal pertemuan kita. Kita hanya melakukan sebuah pernikahan yang didasari oleh sebuah perjodohan semata. Aku melirik kembali ke arah gambar yang tengah dilukisnya dengan menggunakan pensil itu. Seperti biasa hasil karyanya selalu akan menjadi luar biasa untuk dilihat. Ingatanku bergulir kembali di mana kita awal bertemu dulu, 3 tahun yang lalu. Saat itu di Rumah Sakit aku sedang demam tinggi. Ibu membawaku ke Rumah Sakit untuk diperiksa. Tanpa sengaja ibu bertemu dengan teman lamanya, kedua orang tua pria yang akhirnya menjadi suamiku ini.
Saat itu aku tidak memedulikan sekitar karena kepalaku terasa begitu pusing sekali. Aku hanya bisa menundukkan kepala meresapi betapa peningnya kepalaku saat itu. Aku hanya menunggu dan berharap percakapan di antara ibu dan teman lamanya itu segera berakhir dan kita bisa melanjutkan apa yang harus kita lakukan setelah ini. Aku merasa butuh obat untuk menahan peningku ini. Setidaknya aku butuh tempat duduk untuk beristirahat, bukan hanya berdiri diam mendengar percakapan mereka secara samar-samar seperti ini. Hingga pada suatu titik akhirnya aku tidak bisa menahan tubuhku lagi. Aku merasa dunia terlihat berputar-putar di mataku diiringi tubuhku yang melemas, roboh. Telingaku terasa berdengung nyaring. Aku sudah siap merasa sakit atas jatuhnya tubuhku sendiri, namun ternyata aku salah. Seseorang ternyata sigap menangkap tubuh lemasku. Dalam dekapannya, aku bisa merasakan deru napasku yang memburu. Aku berusaha membuka mataku dan langsung bertemu pandang dengan bola mata hitam legam yang menyorot tajam ke arahku. Setelah itu aku jatuh tidak sadarkan diri. Aku hanya diberi tahu bahwa seseorang yang menolongku saat itu adalah putra dari kenalan ibuku, yang bernama Gio. Lebih tepatnya Gio Leksa Permana, putra dari keluarga Leksa.
Sejak saat itu, ibu selalu menceritakan hal-hal luar biasa dan segala kemewahan dan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Leksa. Ibu bilang biaya pengobatanku saat itu, yang ternyata mengalami serangan tipus sudah ditanggung semua oleh teman lamanya yang bernama Ratna. Saat itu aku sedikit merasa heran, kenapa keluarga Leksa begitu baik terhadapku sampai mau membiayai seluruh pengobatanku. Apa semua itu dilakukan hanya karena beliau adalah teman lama dari ibuku? Mungkin memang begitu. Tapi lalu kemudian ibu mengatakan masalah perjodohan itu. Ibu bilang teman lamanya itu berkata bahwa putra semata wayangnya yang bernama Gio, menunjukkan ketertarikan kepada diriku di awal pertama kita bertemu. Jadi beliau ingin menjodohkan kami berdua. Aku merasa sedikit heran. Apa benar begitu? Aku tidak merasa ingat apa yang terjadi saat kita pertama bertemu saat itu, karena aku tengah sakit, namun aku merasa tidak ada yang spesial yang terjadi di antara kita, selain dia menangkap tubuhku yang hampir jatuh tentu saja. Apa hanya karena itu pria bernama Gio itu merasa tertarik padaku? Aku bukanlah gadis yang begitu cantik. Aku hanyalah gadis dengan penampilan sederhana dan aku rasa aku hanyalah gadis yang terlampau biasa saja. Aku merasa itu sangat tidak mungkin jika pria bernama Gio itu merasa tertarik padaku di awal kita pertama bertemu bukan. Mengingat wajah Gio, aku tidak punya clue sama sekali. Aku sudah lupa bagaimana paras wajahnya saat itu.