Rasanya terjadi kesunyian di antara kita setelah aku mengatakan hal itu. Aku ingin melihat raut wajahnya saat ini, tapi di sisi lain aku juga tidak berani mengangkat wajah ke arahnya. Aku hanya takut Devan tidak lagi tertarik kepadaku, walau sebenarnya aku juga tahu bahwa Devan hanya menganggapku sebagai teman biasa. Ini semakin membuatku patah hati.
“Mertua? Kau sudah menikah?” tanya Devan kemudian. Aku semakin menundukkan kepala dan menjawabnya.
“Um. Aku sudah menikah,” jawabku.
“Airin?” Seketika aku tersentak kaget ketika mendengar suara yang familiar memanggilku. Itu suara Mama Ratna. Aku langsung menoleh ke arahnya dan melihat wanita itu kini tengah berjalan mendekati kami berdua.
“Mama?” gumamku dengan lirih. Rasanya jantungku baru saja meloncat dari tempatnya. Aku menjadi gugup seolah aku tengah ditangkap tengah bermain mata dengan pria lain di belakang Mama. Aku berusaha untuk tetap tenang.
“Apa kau sudah mendapatkan semua bahannya?” tanya Mama yang berhenti di sisiku lalu memerhatikan semua barang belanjaanku.
“Iya Ma. Sudah.”
“Baiklah. Mama juga sudah selesai belanja. Setelah ini kita langsung bayar terus pulang. Kasihan Gio ditinggal sendirian di rumah,” ucap Mama. Lalu wanita itu menoleh ke arah Devan dengan raut wajah penuh tanya. “Loh, siapa ini Airin?”
Aku langsung menoleh ke arah Devan. “Oh ini teman sekolah aku, Ma.”
“Salam kenal, Tante. Nama saya Devan,” sapa Devan dengan senyum manis. Pria itu bahkan mengulurkan tangan dengan sopan pada Mama Ratna.
“Oh, teman masa sekolah? Kebetulan sekali bisa bertemu. Tante, Ratna, Mama mertuanya Airin. Nak Devan sama siapa di sini?” balas Mama Ratna dengan senyum cerah sembari membalas uluran tangan Devan. melihat Mama Ratna tidak menunjukkan tanda kecurigaan atas pertemuan kami, seketika membuatku bernapas lega.
Haha aneh bukan? Padahal jelas tidak ada hubungan apa pun di antara aku dan Devan, tapi rasanya aku seperti tengah melakukan hubungan gelap dengan pria itu di depan Mama. Mungkin karena aku memang memiliki perasaan pada pria itu, sehingga aku merasa bersalah dan takut sendiri jika Mama Ratna mengetahui perasaanku terhadap Devan.
“Saya datang bersama adik sepupu saya, Tante. Dia ada di sana,” tunjuk Devan pada adiknya yang masih berada di depan kasir tengah membayar belanjaan mereka.
“Oh benarkah? Kami akan pulang setelah ini, apa kau mau datang ke rumah kami? Kebetulan hari ini adalah hari ulang tahun anak tante, suaminya Airin. Lebih banyak orang akan menjadi lebih baik bukan?”
Seketika aku menjadi panik. Bagaimana bisa Mama Ratna justru menawarkan Devan untuk datang menemui suamiku? Bagaimana jika Devan bertemu dengan Gio dan mengetahui kondisi suamiku yang di luar normal? Aku ... aku bisa kehilangan muka!
“Mama ...” panggilku dengan sedikit menekan suaraku. Berharap Mama akan mengerti maksud ucapanku.
“Ah mungkin lain kali Tante. Saya masih ada pekerjaan setelah ini.” Tanpa sadar aku bernapas lega dengan jawaban Devan itu. Ditambah adik sepupu Devan kemudian datang ke tempat kami.
“Ayo, Kak,” ajaknya.
“Kalau begitu kami permisi dulu, Tante. Selamat tinggal, Airin,” pamit Devan kemudian yang melempar senyum manis ke arahku. Aku membalasnya dengan senyuman semanis mungkin yang kupaksa. Dalam hati aku merasa getir. Bertanya-tanya, apa yang tengah Devan pikirkan saat ini tentang pernikahanku? Sepertinya kabar tentang pernikahanku tadi tidak membuat perasaan Devan terganggu sedikit pun. Itu sudah menunjukkan bahwa pria itu sama sekali tidak tertarik kepadaku.
Hah, sedih sekali. Sejak awal aku sudah tahu bahwa cintaku telah bertepuk sebelah tangan, tapi melihat responnya secara langsung seperti ini, tetap saja membuatku patah hati. Devan mengatakan selamat tinggal padaku. Bagiku, kalimat itu bagai sebuah tanda bahwa kita tidak akan pernah bertemu lagi. Ada rasa berat yang membebani dadaku. Andai aku mendapat kesempatan untuk berbagi kontak dengannya tadi, jadi aku masih bisa memperhatikan dirinya dari jauh.
Astaga, apa yang telah kupikirkan saat ini?! Ingat, Airin! Ingat, kau sudah bersuami! Masih ada suami yang perlu kau perhatikan di rumah, jadi sekarang lupakan Devan, lupakan! Mengerti?! Akan lebih baik jika kita tidak saling berkontak lagi sehingga aku bisa mengubur perasaan cintaku dalam-dalam terhadapnya, dan fokus pada kehidupan pernikahanku dengan Gio. Itu yang seharusnya terjadi!
“Airin? Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo kita bayar belanjaannya,” tegur Mama Ratna yang ternyata sudah berada di depan. Aku langsung membuyarkan pikiranku dan datang mengikuti langkah Mama Ratna.
Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam tenggelam dalam lamunanku sendiri. Mengingat kembali pada masa-masa remajaku ketika di sekolah. mengingat kembali bagaimana pertemuan pertamaku dengan Devan saat itu. Devan benar-benar pria manis yang baik. Mudah sekali untuk melelehkan hatiku saat itu.
Andai aku memiliki keberanian untuk lebih mendekatkan diri kepadanya, akankah semua berjalan seperti ini? Akankah aku bisa bersama dengan Devan? Akankah aku bisa menikah dengan pria itu? Aku menghela napas dengan panjang. Rasanya hidupku telah berantakan sejak aku bertemu dengan Gio dan harus terjebak menikah dengannya.
Jika saja Gio adalah pria normal sejak awal, mungkin aku tidak akan seberat ini untuk hidup bersamanya. Semakin lama aku menjadi semakin sadar posisiku dalam rumah itu. Hanya sebagai pengasuh, hanya sebagai istri pajangan, hanya sebagai tempat untuk membuat keturunan dalam keluarga itu meski aku merasa ragu apa Gio akan bisa membuatku mengandung anaknya, mengingat Gio sendiri terlihat sangat membenciku.
Aku duduk diam dalam mobil yang melaju sedang. Memerhatikan suasana di luar jendela sembari meratapi nasibku yang berantakan. Hingga tiba-tiba kurasakan ponselku yang bergetar menampilkan sebuah pesan yang masuk. Aku langsung memeriksa pesan tersebut, yang ternyata berasal dari Ibuku.
Airin, Ibu belum membayar tagihan listrik dan arisan. Kapan kamu mengirim uang bulanan buat Ibu? Bapakmu sudah ditagih terus sama Pak Joko.
Seketika aku menghela napas panjang untuk ke sekian kali setelah membaca pesan itu. Tanpa berniat membalas pesan itu, aku mematikan ponsel kembali dan mengalihkan pandang ke luar jendela seperti sebelumnya. Satu lagi yang telah aku sadari mengenai apa posisiku dalam keluarga ini. Hanya sebuah ATM berjalan untuk mereka.
Mobil telah berhenti di pekarangan rumah. Aku dan Mama Ratna turun dengan beberapa pelayan membantu membawa semua barang belanjaan kami. Setelahnya aku dan Mama langsung datang ke dapur untuk memulai acara masaknya. Aku dan Mama mulai membuat kue dengan dibantu Bibi yang telah bekerja lama di rumah ini dalam menyiapkan semua.
Kesibukan dalam membuat kue itu telah berhasil membuat pikiranku akan Devan teralihkan untuk sejenak. Hingga perlu beberapa jam kemudian akhirnya semua telah siap. Kini aku, Gio, dan kedua orang tua pria itu sudah berada di ruang makan dengan kue buatan kami serta beberapa makanan lezat siap tersazi di atas meja makan.
Nampak senyum sumringah di wajah Mama Ratna dan Papa Andra, begitu juga aku yang ikut memasang senyum lebar seolah aku juga menikmati semua acara ini. Sebagai seorang menantu, tentu aku harus bersikap yang paling antusias di antara mereka semua kan, karena ini adalah acara ulang tahun suamiku sendiri. Aku duduk di samping Gio yang masih saja memasang raut wajah datar seolah pria itu tidak tertarik dengan semua persiapan ini.
“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang ... tahun Gio ... selamat ulang tahun! Yeiii!” seru kami setelah menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Gio. Tepuk tangan yang meriah ikut meramaikan acara sederhana hari ini begitu juga dengan aku. Semua terlihat begitu bahagia merayakan acara Gio. Kini aku memimpin acara selanjutnya dengan membawa kue ulang tahun lebih mendekat pada Gio.
“Nah sekarang waktunya untuk meniup lilinnya. Gio, coba make a wish—ah!” Ucapanku langsung terhenti di tempat ketika Gio tiba-tiba menusuk dengan cepat dan kasar kue ulang tahun yang tengah kupegang hingga kue itu terselip jatuh dari tanganku dan hancur di atas meja. Kejadian itu begitu cepat dan membuat semua orang yang ada di sana terpaku di tempat melihat kue ulang tahun yang telah hancur.
Aku bisa melihat senyum riang di wajah Mama Ratna dan Papa Andra langsung menghilang, terganti dengan raut wajah yang membeku di tempat. Sama sepertiku. Aku begitu terkejut dengan apa yang terjadi hingga aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Kue ulang tahun yang sudah susah payah aku buat kini hancur begitu saja di atas meja makan karena ulah Gio. Bukan hanya itu. Seolah merasa tidak bersalah, Gio justru melanjutkan tusukan garpunya pada kue cokelat yang hancur itu dan mulai memakannya dengan santai. Tidak perduli etika dan tidak peduli bahwa mungkin saja kue itu telah kotor.
Aku melihatnya dengan tatapan miris sekaligus bercampur emosi. Sungguh! Haruskah aku menghabiskan sisa hidupku dengan pria tidak normal seperti dia? Haruskah aku membuang cinta pertamaku hanya untuk pria yang tidak kucintai seperti dia? Aku tidak tahu apa salahku di masa lalu hingga aku harus menghadapi kehidupan seperti ini. Aku ingin menangis saja rasanya. Aku hanya ingin bahagia.
“A—ah sepertinya Gio menyukai kue buatan Airin, benarkan Pa?” celetuk Mama Ratna kemudian yang mencoba mencairkan suasana di antara kami. Dari suara dan tawa canggungnya saja aku bisa menyadari bahwa Mama Ratna merasa takut dan hati-hati dengan responku saat ini.
Dari sudut mataku aku bisa melihat Mama Ratna menyikut lengan Papa Andra untuk meminta dukungan agar suasana tidak semakin canggung di antara kita. Tentu saja Papa Andra menyambut kode dari Mama Ratna dengan baik.
“Benar, benar Ma. Gio pasti suka kue buatan Airin hingga dia merasa tidak sabar ingin memakannya. Em ... kalau begitu, haruskah kita lanjutkan acara makannya?” ucap Papa Andra. “Bi, tolong bersihkan sisa kuenya. Dan siapkan bagian kuenya untuk Gio makan di piring ya!”
“Baik, Tuan,” jawab Bibi yang langsung sigap membantu membersihkan kue cokelat itu dan menaruh sebagian kue yang bersih untuk Gio makan di piring. Selanjutnya Gio hanya mengaduk dan memainkan kue itu dengan raut wajah datarnya, sementara Mama Ratna dan Papa Andra masih berusaha mencairkan suasana dengan memuji beberapa masakan yang telah aku buat untuk acara ini.
Mereka terlihat bekerja keras untuk memuaskan suasana hatiku yang sudah jelas terlihat tidak baik-baik saja karena sikap Gio tersebut. Aku sendiri hanya diam sejak itu, merasa sudah tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan acara ini.
Mungkin karena pertemuanku dengan Devan tadi, ditambah dengan pesan dari Ibuku tadi, lalu dengan sikap Gio yang seperti ini, semakin membuat moodku menjadi hancur. Aku hanya ingin beristirahat di dalam kamar untuk mendinginkan kepalaku seperti biasa.