"Kamu pake pelet apa, sih, kok bisa deket sama Mas Naka?"
"Hah?"
Hening sampai terperanjat mendengar apa yang mereka berdua tanyakan, mereka bahkan begitu kompak menanyakan hal yang sama dalam satu tarikan napas.
"Pelet?" Hening mengulang kata itu dengan wajah tidak mengerti, kedua gadis di hadapannya mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Aku enggak mungkin ngelakuin hal itu, itu kan dosa," jawab Hening, ia tidak habis pikir bagaimana mereka bisa berpikir seperti itu.
Melihat wajah polos Hening kedua gadis itu tertawa.
"Iya, kami tau, kami cuma bercanda kok. Tapi aku tuh beneran penasaran, deh, kenapa kamu bisa deket sama Mas Naka?" tanya Serli, Murni hanya mengangguk menanti jawaban apa yang akan Hening berikan.
"Ya aku enggak tau," ujar Hening yang kembali melanjutkan kegiatannya memasukkan buku ke dalam tasnya. "Aku sama dia ya sama sepertiku aku sama kalian."
"Aku sama sekali enggak bernyali untuk mendekati siapapun, apa lagi Mas Naka, cuma kamu kebetulan selalu ketemu aja dan kebetulan Mas Naka itu baik. Enggak seperti yang lain," sambung Hening, kalimat terakhir ia ucapkan dengan lirih.
"Jadi menurut kamu, kami juga enggak baik?" tanya Murni, Hening sudah bangun dari duduknya sambil menaruh tas di pundak dan bersiap pergi.
"Kalian baik, cuma aku yang minder buat deket kalian," jawab Hening, kedua gadis yang sudah membawa tas masing-masing berjalan mengikuti langkah Hening keluar dari kelas.
"Kenapa? Kami malah menganggap kamu terlalu pendiam selama ini," jawab Serli, mereka bertiga berjalan bersama menyusuri lorong sekolah, menuju parkiran yang ada di belakang.
"Jadi, kemarin kamu diantar pulang sama Mas Naka?" tanya Murni antusias, Hening hanya mengangguk, ia senang setidaknya kini temannya di sekolah telah bertambah.
"Bukan cuma pulang, Mur, tadi pagi juga mereka bareng lagi." Mulut Serli mengaga mendengar apa yang Murni katakan. "Mas Naka jemput kamu?" tanya Serli pada Hening.
Murni memang tidak melihat Naka memboncengkan Hening tadi pagi, karena dirinya telah lebih dulu datang ke sekolah dan langsung masuk kelas. Gadis itu baru keluar kelas saat mendengar keributan yang sengaja Naka buat tadi pagi.
"Iya, Mas Naka kemarin bilang kalau mau jemput aku, dan dia beneran jemput aku," jawab Hening apa adanya.
"Wah ... kamu beruntung banget bisa deket sama Mas Naka," Murni terlihat begitu gembira padahal bukan dirinya yang dekat dengan Naka.
"Kenapa? Aku juga juga beruntung bisa deket sama kalian, semua orang sama saja bagiku," jawab Hening yang merasa kedua temannya itu berlebihan.
"Ya jelas beda lah kami sama Mas Naka, dia itu kan pemuda idaman, ganteng, pinter, kalem, berprestasi dan kamu tau dia anak siapa?" tanya Serli, Hening menatapnya lalu menggelengkan kepala.
"Yang aku tau Mas Naka itu baik," jawab Hening, Serli dan Murni menepuk kening bersamaan lalu kedua gadis itu bergantian dan saling menimpali menceritakan siapa orang tua Naka kedua orang tuanya adalah orang yang berpengaruh dalam dunia pendidikan di kota itu.
Hening hanya mengangguk pelan setiap mereka menceritakan sesuatu tanpa mereka ketahui jika pikiran Hening justru melayang jauh, memikirkan sepedanya, memikirkan apakah uang yang bapaknya berikan semalam cukup untuk membayar biaya perbaikan sepedanya. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu pak Joyo dapatkan di tempat ketiga yang ia datangi untuk mencari pinjaman.
Melihat kondisi ekonomi keluarga Hening bukan hal yang mudah bagi mereka untuk mendapatkan kepercayaan meminjam sejumlah uang kecuali dengan imbalan tenaga, itu pun jika memang sedang ada kesempatan untuk meladang atau menyawah, jika sedang tidak musim bercocok tanam maka Pak Joyo akan menjadi buruh proyek itu pun jika ada lowongan pekerjaan atau sedang ada yang membangun rumah, jika tidak maka mereka menggantungkan kehidupan pada hasil menanam berbagai umbi dan sayuran di belakang rumah mereka.
Kadang jika musim kemarau orang tua Hening akan mencari pasir di sungai yang mengalir tidak jauh dari rumah mereka lalu menjualnya pada pengepul jika jumlahnya sudah banyak, tidak jarang Hening akan membantu mereka sepulang sekolah.
"Ning." Panggilan Murni membuat Hening tersadar dari lamunan, sedangkan Serli masih saja sibuk memuji-muji Naka.
Entah di mana pemuda itu sekarang sedari tadi Hening tidak juga terlihat, ada perasaan yang kurang saat tidak melihatnya. Bukan merindukannya, Hening berusaha menampik perasaannya sendiri tetapi ia hanya takut jika pemuda itu mendapatkan masalah karena dirinya.
"Eh, iya," jawab Hening, tanpa ia sadari ekor matanya melirik ke tempat Naka memarkirkan sepeda motornya tadi pagi.
"Cie ... nyariin Mas Naka!" ledek Serli sambil menyenggol bahu Hening dengan bahunya.
"Enggak, siapa bilang!" elak Hening, Murni dan Serli menahan tawa.
"Mulut kamu bilang enggak, tapi mata kamu bilang iya!" Kini berganti Murni yang meledeknya.
"Eh, tapi ... Mas Naka ke mana, ya? Motornya udah enggak ada!" gumam Serli membuat Hening spontan menoleh ke tempat sepeda motor Naka, benar, tempat itu telah kosong.
"Tuh, 'kan, nyariin tadi bilangnya enggak!" celetuk Murni, Serli hanya tertawa.
"Apa, sih, kalian. Udah ah aku mau ke bengkel!" Karena tidak tahan merasa malu akibat ledekan kedua gadis itu, Hening memilih berjalan meninggalkan kedua temannya yang masih berdiri mematung lalu langsung mengejarnya.
"Eh, Ning, sepeda kamu di bengkel mana?" tanya Murni, Hening menjawab dengan tangan yang menunjuk satu arah.
"Ya udah, kamu bareng sama aku ke sana. Kebetulan rumahku ke arah sana," ajak Serli.
"Iya bener, daripada kamu jalan kaki ke sana nanti kamu gosong, Mas Naka bisa pangling nanti!" Murni kembali meledek Hening sambil tertawa kecil, Serli yang sedang mengambil motornya juga ikut tertawa.
"Udah, dong, kalian jangan ngeledekin aku begitu terus. Enggak enak didenger orang, nanti Mas Naka juga denger, kasian dia," pinta Hening pada kedua temannya yang sudah menaiki sepeda motor masing-masing.
"Ya udah, biar enggak ada yang denger, nanti kita ngomongnya bisik-bisik aja," jawab Serli yang tengah mengenakan helmnya, Murni mengacungkan ibu jari, setuju.
"Bukan begitu, kalian jangan ngeledekin aku lagi," pinta Hening lebih lembut.
"Ya enggak bisa, wong kita seneng. Soalnya pipi kamu langsung merah kalau denger nama Mas Naka disebut," jawab Murni sambil menahan tawa, Hening langsung memegangi kedua pipinya.
"Masa, kalian ada-ada aja!" gerutu Hening, membuat Murni dan Serli semakin terbahak.
"Udah ayo cepetan, panas, nih." Serli meminta Hening membonceng, gadis menuruti sambil tetap memegangi pipinya. Apa benar yang mereka katakan?
* Dita Andriyani *
"Aku tinggal, ya," ujar Serli begitu Hening turun di depan sebuah bengkel tidak begitu jauh dari sekolahnya.
"Iya, Ser, terima kasih banyak, ya, udah nganterin aki sampe sini," jawab Hening setelah melihat ke arah sepedanya ya g tampak sudah memiliki ban belakang baru, sepeda itu tampak tersandar di dinding sebelah dalam bengkel.
"Iya, sama-sama. Salam buat Mas Naka, ya, siapa tau nanti malam kamu ketemu dia di ...." Hening mengerutkan kening karena Serli tidak melanjutkan perkataannya, sengaja untuk meledeknya.
"Enggak mungkin, ah, aku ketemu dia, wong rumah kami berjauhan. Mau ketemu di mana," jawab Hening sambil menggerutu karena Seli terus menggodanya.
"Di dalam mimpi!" seloroh Serli sambil tertawa.
"Serli!" protes Hening tidak gadis itu dengarkan karena ia sudah menjalankan sepeda motornya.
Hening kembali memegang pipinya yang terasa memanas, apa itu warnanya juga ikut memerah seperti yang teman-temannya katakan. Gadis itu berjalan memasuki bengkel.
"Pak." Lelaki yang sepertinya seusia Pak Joyo yang sedang mengutak-atik obeng itu menoleh mendengar panggilan Hening, bengkel terlihat sepi kali ini hanya ada sepedanya dan sebuah motor yang rodanya sudah terlepas.
"Eh, kamu yang punya sepeda ini, 'kan?" tanya pemilik bengkel itu memastikan.
"Iya, Pak. Sepeda saya sudah jadi, 'kan? Berapa saya harus bayar?" tanya Hening dengan hati harap-harap cemas menanti lelaki itu menyebutkan sebuah nominal, berharap uang yang ia miliki tidak kurang.
"Sepeda kamu sudah jadi, silakan dibawa pulang," ujar lelaki itu ia mengambilkan sepeda Hening dan membawanya ke luar bengkel dan Hening terkejut melihat apa yang terjadi dengan sepedanya.
Buka hanya ban belakang yang baru tetapi ban depan juga, rem tangan yang semula rusak juga telah diperbaiki, sadel yang semula robek-robek juga telah berganti dengan sadel yang baru.
"Pak, sepeda saya kenapa? Kok, jadi begini?" tanya Hening sambil menatap sepeda yang kini bertumpu pada standar besi baru, padahal sebelumnya sepedanya tidak memiliki benda itu, itulah sebabnya ia selalu menyandarkan sepeda ya di bawah pohon mangga.
"Sepeda kamu jadi lebih baik, kenapa kamu begitu terkejut?" Bapak itu malah balik bertanya.
"Iy ... iya, tapi kemarin yang rusak hanya ban belakang saja, kenapa sekarang ban depan juga baru, ini juga, ini juga." Hening sibuk menatap sambil memegang rem dan sadel sepedanya, pemilik bengkel itu tersenyum tidak tahu jika sekarang Hening pusing tujuh keliling memikirkan biaya perbaikan sepedanya.
"Ya karena semua yang bapak ganti itu sudah rusak, sudah tidak layak pakai," jawab pemilik bengkel ringan, Hening hampir menangis menatapnya.
"Tapi ... Pak. Aku ... aku tidak punya uang untuk membayarnya, aku hanya punya uang segini," ucap Hening lirih sambil menunjukkan dua lembar uang yang baru ia ambil dari saku kecil di tas lusuhnya, pemilik bengkel itu malah tersenyum lebar bahkan tertawa.
"Uang segitu mana cukup, itu hanya bisa untuk membayar ban belakang saja," ujar pemilik bengkel sambil tertawa kecil membuat Hening benar-benar ingin menangis.
"Lalu bagaimana?" Tanya Hening lirih.
"Sekarang bawa saja yang itu pulang, naik sepeda kamu, jangan jalan kaki." Lelaki itu malah meledek Hening, membuat gadis itu mengerutkan dahi tidak mengerti.
"Maksud Bapak?" Hening mengejar pemilik bengkel yang kembali masuk dan melanjutkan pekerjaannya.
"Semua sudah dibayar, kamu tinggal membawa sepeda itu pulang," jawab lelaki itu membuat Hening semakin merasa penasaran.
"Siapa yang sudah membayarnya?" tanya Hening, meskipun detik kemudian ia merasa pertanyaan itu konyol, hanya dirinya dan Naka yang tahu sepedanya berada di bengkel itu, sudah pasti jika Naka yang melakukannya.
"Seseorang yang sudah seharusnya membayar, karena dia yang menyuruh bapak mengganti onderdil dan menyervis sepedamu," jawabnya tanpa menatap Hening yang kini sedang menghapus bulir bening yang mengalir di pipi, ia benar-benar menangis.
Air mata bahagia karena lega uang yang ia miliki tidak kurang untuk membayar sepedanya, juga air mata karena rasa malu. Keadaannya sebegitu memprihatinkan hingga ia harus menerima begitu banyak kebaikan dan bantuan orang lain.
"Iya, terima kasih, Pak. Saya pulang dulu," pamit Hening.
"Iya, hati-hati di jalan," jawab pemilik bengkel sekilas menatap Hening yang pergi menjauh dengan sepedanya, sepeda yang lebih mudah dan nyaman untuk dikendarai tentunya.
Dari balik dinding triplek bengkel itu, seorang pemuda tersenyum lega melihat Hening pulang mengendarai sepedanya.
" Dita Andriyani *
"Mas Naka, kenapa kamu begitu baik padaku? kamu tau, kebaikan kamu ini justru membuat aku merasa semakin tidak percaya diri."
Hening bersenandika, ia masih mengayuh sepedanya menyusuri pinggiran jalan raya, berkonsentrasi penuh karena di sana ia berpapasan dengan beragam kendaraan lain. Sepeda, sepeda motor bahkan mobil-mobil yang tampak sibuk mengejar waktu.
Sejak kecil Hening adalah seorang anak yang cerdas, meski dirinya terlahir dari keluarga sederhana tetapi kepintarannya di atas rata-rata. Sejak sekolah dasar dirinya selalu mendapatkan peringkat pertama sehingga dirinya bisa mendapat beasiswa untuk bersekolah di sekolah bergengsi seperti SMA Harapan Bangsa.
Ia tidak menyangka jika memasuki sekolah itu membuatnya seolah memasuki dunia baru, sebelumnya ia bersekolah di sekolah menengah pertama di desanya hampir semua muridnya adalah anak petani seperti dirinya hingga ia tidak kesulitan bersosialisasi tetapi di SMA kini semuanya terasa berbeda, meskipun begitu Hening tidak pernah bercerita apapun pada kedua orang tuanya, ia tidak ingin keduanya turut bersedih.
Hening yang anak tunggal adalah satu-satunya lentera hati orang tuanya, butuh waktu lebih dari lima tahun untuk mendapatkan Hening, hal itu membuat dirinya terus bertekad untuk selalu membuat kedua orang tuanya bangga dan bahagia. Hidup Hening adalah perjuangan untuk meraih cita-cita yang bisa membanggakan, tujuannya adalah meraih prestasi untuk kebahagiaan kedua orang tuanya.
Tetapi kini ketika sebuah rasa lain mulai mengetuk pintu hati, semuanya justru dimulai dalam situasi yang begitu sulit.
Ia sangat tahu jika Naka adalah pemuda yang sangat baik, ia juga menyadari jika ada yang berbeda dari pemuda itu terhadapnya tetapi semua cerita Serli dan Murni tentang Naka kembali berputar di kepalanya dan hal itu menyadarkan jika mereka terlalu berbeda.
Malu, itulah yang kini Hening rasakan.
Tanpa terasa kini sepeda yang ia kayuh sudah memasuki jalan menuju desanya, jalan yang sudah tidak sehalus jalan beraspal tadi hingga Hening harus lebih fokus berkendara rimbunnya pepohonan yang tumbuh di kanan dan kiri jalan membuat sinar matahari tidak terasa seterik sebelumnya.
Angin yang membelai wajah cantik itu terasa menenangkan hatinya yang semula gusar.
Tetapi ....
Kini yang terasa berbeda dengan kala itu, angin yang membelai wajah cantik itu justru mengusik sebuah ketenangan. Mengungkit rasa yang semula telah padam.
Hening duduk menekuk kaki di sebuah kursi santai yang ada di balkon kamarnya, menatap bintang-bintang di angkasa yang seolah hadir menemani keresahan jiwanya.
"Apa yang harus aku lakukan? Kenapa kamu selalu muncul diingatan sedangkan aku selalu berusaha melupakan. Mas Naka, namamu terukir terlalu dalam."