"Kamu lagi apa, Nduk?" Bu Fatma muncul tiba-tiba dan membelai kepala Hening, rambut panjang yang terurai itu melambai tertiup angin malam. "Di sini dingin, nanti kamu masuk angin."
Wanita itu duduk di depan Hening, tepat di dekat kaki nya yang tertekuk menatap wajah sang putri tunggal yang tampak berbeda dari biasanya, firasat seorang ibu memang selalu kuat.
"Aku enggak apa-apa, Bu, hanya sedang memikirkan usaha kita saja, lalu mensyukuri segala nikmat yang Tuhan beri hingga kita bisa hidup lebih baik seperti ini," jawab Hening, Bu Fatma tersenyum mendengarnya, senyum yang selalu terasa sejuk sejak dulu.
"Kita memang harus selalu bersyukur, Nak, agar nikmat yang sudah Tuhan beri menjadi lebih berkah. Ini semua berkat kamu, Ibu selalu bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk memiliki kamu," ujar Bu Fatma sembari mengelus pipi sang putri.
"Belakangan ini aku selalu ingat tentang masa lalu kita, Bu. Tentang rumah lama kita, tentang kehidupan kita dulu. Terima kasih karena Bapak dan Ibu telah menjadi orang tua yang terbaik untuk aku," ujar Hening lalu memeluk sang ibu dalam rasa haru, wanita itu mengelus kepala sang putri. Sedewasa apa dan sesukses apapun seorang anak tetaplah seorang anak.
"Aku juga selalu teringat tentang Mas Naka, Bu, cinta dalam hatiku tidak pernah berubah. Hanya saja keadaan yang sekarang telah berubah," ujar Hening, tentu saja hanya di dalam hatinya. Hening tetaplah Hening yang dulu tidak pernah ingin membuat hati orang tuanya risau.
Meskipun dalam diamnya mereka Hening tahu mereka menyimpan sebuah keresahan, tetapi mereka juga sama, tidak ingin membuat keresahan hati mereka menjadi beban dalam hati putri semata wayangnya.
"Bapak mana, Bu?" tanya Hening pada sang ibu.
"Setelah makan malam tadi, Bapak ke rumah produksi, katanya ada sample baru datang dari Jakarta bersama bahan, makanya Bapak mau langsung lihat," jawab Bu Fatma, Hening hanya tersenyum seperti memikirkan sesuatu.
"Bahan yang dari Koh Hendrik?" tanya Hening.
"Bukan, yang dari Koh Hendrik udah Dateng tadi pagi, ini yang dari Tuan Abdul," jawab Bu Fatma, Hening mengangguk mengerti.
Hening benar, apa yang menjadi kehidupan mereka kini memang begitu patut disyukuri karena dirinya tidak perlu lagi melihat sang ayah bekerja keras di sawah atau ladang milik orang lain, tidak perlu manjadi buruh proyek, dan tidak perlu mencari pasir lagi di sungai. Bu Fatma juga benar, jika semua itu adalah hasil dari usaha dan kerja keras Hening selama ini.
Hening yang begitu gigih dan ulet dalam berusaha meski dirinya masih tercatat sebagai seorang mahasiswi, telah menjadi seorang pengusaha sukses sekarang. Awalnya ia bekerja sama dengan seorang pengusaha yang sudah memiliki usaha yang cukup maju, lalu dengan jeli melihat peluang dan memulai usahanya sendiri hingga bisa sesukses sekarang. Hening, seorang pengusaha konveksi besar tetap tidak melupakan cita-cita mulianya menjadi seorang guru, hingga ia meminta Bapak dan ibunya untuk turut menjalankan usahanya sementara dirinya tetap bisa menjadi seorang pengajar.
"Ning ...." Bu Fatma tampak ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. "Besok ibu ada undangan ke acara pernikahan anak teman lama ibu, kamu mau ikut?" tanya Bu Fatma hati-hati.
Hening mengerutkan kening memikirkan sesuatu. "Hem ... besok setelah mengajar aku ada jadwal rapat, Bu. Maaf, ya. Ibu pergi sama Bapak aja, atau minta ditemenin sama Mbak Fitri," jawab Hening menyebut nama asisten rumah tangga mereka.
Dengan penuh pengertian Bu Fatma tersenyum. "Iya, enggak apa-apa. Kalau begitu kamu tidur aja. Ini udah cukup malam. Besok, 'kan, kamu harus bangun pagi buat ke sekolah."
"Iya, Bu," jawab Hening tetapi wanita itu masih tetap berada di tempatnya meski sang ibu telah pergi meninggalkannya.
Hening menyandarkan punggung di sandaran kursi yang ia duduki lalu memejamkan mata.
"Hening, kamu kenapa?"
"Aku enggak apa-apa, Mas."
"Enggak apa-apa, kok, mukanya risau begitu! Kamu harus selalu ingat Hening, aku akan selalu ada untuk menghapuskan semua kerisauan kamu."
"Gombal! Buktinya dari kemarin Mas Naka enggak kelihatan di sekolah."
"Mas ... ada urusan kemarin. Tapi kamu tenang saja, walaupun raga Mas enggak ada di samping kamu tapi hati Mas akan selalu ada untuk menghapuskan kerisauan kamu."
Itulah sekelumit pembicaraan yang kembali terngiang di telinga Hening, dan saat ia membuka mata, ia tersadar jika hati yang Naka janjikan justru malah menjadi sumber kerisauannya.
* Dita Andriyani *
Tet ... tet ... tet ....
"Yyyeeeyyyy ...."
Suara riuh seketika terdengar memenuhi ruangan kelas yang berisi dua puluh enam murid itu, Hening yang tengah menulis sesuatu di white board dengan spidol hitam langsung berbalik ke belakang dan mengatakan sesuatu.
"Baik, anak-anak boleh istirahat. Nanti ini dilanjutkan setelah istirahat, ya." Baru beberapa detik kata itu terucap kini semua anak muridnya kembali bersorak lalu berlomba-lomba keluar dari kelas dengan gembira, wanita itu tersenyum lalu menggelengkan kepala.
Ini lah yang membuat dunia hening lebih berwarna, dirinya lebih memilih menjadi pengajar di sekolah dasar karena menurutnya dunia anak-anak itu indah, dan ia yakin jika indahnya dunia anak-anak juga akan memberi energi positif dalam hidupnya, setidaknya dalam hatinya. Wanita itu lebih memilih untuk melanjutkan apa yang ia tulis sebelum dirinya juga beristirahat di kantor, menikmati teh hangat dan camilan yang telah disediakan di sana juga berbincang dengan rekan kerjanya tentang pekerjaan mereka yang seolah tidak ada habisnya.
"Selesai," gumam Hening lalu menaruh spidol di tempatnya, dan saat ia membalikkan badannya ia melihat seorang murid tidak keluar dari kelas tetapi malah sibuk mencatat apa yang ia tulis di papan.
"Qinara, kamu enggak istirahat?" tanya Hening, apa yang anak itu lakukan membuatnya teringat akan seseorang yang juga selalu melakukan hal seperti itu. Dulu ... Dirinya.
Hanya bedanya, dulu akan ada seorang pemuda yang menghampirinya dan menemaninya, mempelajari sebuah soal bersama, membahas tentang pelajaran atau mengobrol tentang banyak hal. Pemuda itu ... Naka.
"Kamu tidak punya uang untuk jajan di kantin?" tanya Hening lalu detik kemudian ia sadar jika itu pertanyaan konyol, seperti yang sudah-sudah.
Tidak mungkin seorang Naka tidak mampu memberikan uang jajan untuk sang putri, jelas hidup Qinara dan hidupnya dulu jauh berbeda.
"Punya, Bu. Ayah selalu kasih aku yang untuk jajan setiap hari," jawab Qinara, Hening memilih untuk menemani gadis kecil itu kelas, ia duduk di sebelahnya.
"Terus kenapa kamu enggak ke kantin?" tanya Hening pada Qinara yang sedang sibuk menulis.
"Nanti, Bu. Kalau aku ke kantin sekarang, aku bisa jajan banyak. Aku enggak boleh jajan banyak-banyak karena aku harus berhemat, aku harus menabung untuk membeli hadiah ulang tahun Mama, bulan depan Mama ulang tahun," jawab Qinara polos, Hening tersenyum lebar mendengarnya.
"Mama Qinara nanti jemput?" tanya Hening, entah mengapa rasanya ingin ia membicarakan tentang hal itu dengan Qinara.
"Enggak, nanti yang jemput aku Mbak Erni. Kata Mama, hari ini Mama berangkat kuliah," jawab Qinara yang sudah selesai menulis dan menutup bukunya.
"Mama Qinara masih kuliah?" tanya Hening lagi, ia masih begitu penasaran dengan kehidupan Qinara, atau kehidupan Naka tepatnya.
"Iya, Mama kuliah, Mama bilang mau jadi dokter gigi. Aku juga mau jadi dokter gigi sama kayak Mama," ujar Qinara bersemangat, jelas terlihat jika dirinya begitu mengidolakan sang Mama.
"Aku udah selesai nulis, aku mau beli sussu kotak di kantin. Ibu mau? Aku traktir, deh." Hening tersenyum mendengar pertanyaan Qinara, ia sama seperti sang ayah, selalu memikirkan orang lain.
"Enggak perlu, bukankah kamu harus berhemat?" Qinara hanya nyengir kuda mendengarnya.
"Kalau begitu ayo keluar, Ibu guru juga mau ke kantor," ajak Hening sembari bangun dari duduknya, Qinara mengikuti, dan mereka berpisah arah saat di luar kelas.
"Mama Qinara calon dokter gigi?"
Bu Hening bersenandika, ia kembali teringat pembicaraannya dengan Naka dulu.
"Pokoknya aku mau jadi guru, Mas. Buat apa aku sekolah kalau ilmuku tidak bermanfaat untuk orang lain," ujar Hening kala itu, mereka berdua duduk di bangku taman sekolah pada jam istirahat pertama.
"Siapa bilang ilmu kamu tidak bermanfaat? Kamu akan jadi guru untuk anak-anak kita nanti," jawab Naka sambil tersenyum, mendengar hal itu pipi dan perut Hening menghangat bersamaan.
"Berilmu itu harus, Hening. Tapi aku sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi anak dari kedua orang tua yang sibuk bekerja. Karena itu aku ingin istriku nanti hanya berada di rumah untuk fokus mengurus anak-anak, aku juga ingin memiliki anak yang banyak, pasti kamu juga akan lelah mengurus mereka," ujar Naka yang lalu menyadari jika gadis di sebelahnya hanya menunduk malu-malu, mereka baru saja menjalin hubungan tetapi Naka sudah berbicara sejauh itu.
"Bu Hening." Lagi-lagi suara itu membuyarkan lamunan Hening dan lagi-lagi lamunan Hening membuatnya melewatkan kantor yang ia tuju.
* Dita Andriyani *
"Bu Hening, kenapa? Saya perhatikan banyak melamun, apa ada sesuatu yang membuat Bu Hening merasa tidak nyaman di sini?" tanya Bu Eti, guru yang mengajar Pendidikan Agama Islam atau biasa disingkat PAI, mereka duduk bersebelahan meja di kantor. Pertanyaan itu wajar Bu Eti berikan karena Bu Hening yang memang baru mulai mengajar di sekolah itu sejak tahun ajaran baru ini.
"Enggak, Bu. Semua yang ada di sekolah ini membuat saya nyaman, apalagi kota ini adalah kota kelahiran saya. Butuh waktu lama, loh, saya mempersiapkan diri dan segala sesuatunya untuk kembali ke kota ini setelah lama kami tinggalkan," jawab Bu Hening sambil tersenyum meyakinkan rekan kerjanya jika ia baik-baik saja si tempat itu.
"Bu Hening, bagaimana usaha Bu Hening di sini, memindahkan usaha yang sudah cukup besar ke lain kota pasti bukan hal yang mudah, 'kan?" tanya Bu Hesti, guru yang mengajar murid kelas dua.
"Saya sangat bersyukur semuanya berjalan lancar, Bu. Karena seperti yang sudah saya katakan tadi semuanya sudah saya persiapkan sejak jauh-jauh hari, sebelum kami menetap di kota ini, kami sudah lebih dulu memindahkan produksi di desa Sukosari, dan sampai sekarang juga masih ada beberapa yang kami kerjakan di tempat lama, sesekali Bapak yang ke sana," jawab Hening, ia selalu bersemangat menceritakan tentang segala bisnisnya sebuah hal dan pencapaian yang memang sangat membanggakan.
"Bu Hening hebat, masih muda tapi sudah sukses dalam usahanya," puji Bu Eti, Bu Hesti mengangguk setuju.
"Saya menjalankan usaha ini, 'kan, bersama orang tua saya, Bu. Bapak dan Ibu saya yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, mereka adalah penasehat terbaik saya," jawab Hening.
"Lagi ngomongin apa, sih, ibu-ibu cantik ini? Nih, biar ngobrolnya tambah asik ditemenin gorengan hangat!" celetuk Pak Wawan, guru olah raga yang datang membawa sebungkus aneka gorengan hangat dari kantin.
"Terima kasih, Pak, Wawan," ujar Hening, berbeda dengan Bu Eti dan Bu Hesti yang mendekati meja di mana gorengan itu berada, Hening lebih memilih mendekati lemari besar di mana tersimpan semua berkas-berkas tentang data diri semua murid sekolah itu.
Dengan seksama Hening melihat-lihat satu persatu map yang menyimpan data diri murid kelas satu, hingga pandangannya berhenti pada map bertuliskan nama Qinara Juwita Ismoyono lalu mengambilnya.
Tanpa tersadari jemari lentik itu membelai tulisan Ismoyono, nama belakang Qinara yang juga nama belakang seseorang yang begitu dicintainya dulu, atau mungkin juga hingga sekarang.
Hening membuka map berwarna merah muda itu lalu membaca dengan seksama data diri Qinara.
Pandangannya langsung tertuju pada paragraf kedua di mana tertulis data diri orang tua.
Nama Ayah : Kanaka Gandhi Ismoyono
Pekerjaan : Pengusaha
Nomor telepon : Sederet angka yang tanpa Hening ketahui untuk apa ia tulis di dalam ponselnya, seolah hanya menuruti naluri ia melakukannya.
Nama Ibu : Wilujeng Kinasih
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hening tidak lagi meneruskan membaca ia tidak menemukan nama Meisya di nama lengkap ibu Qinara, lalu yang ia lakukan adalah membuka lembar kedua di mana di sana ada foto kopi kartu keluarga Qinara.
Dengan seksama Hening membacanya dan hal yang lebih mengejutkan malah ia temukan, di dalam kartu keluarga itu tidak ada nama Wilujeng Kinasih di bawah nama Naka.
Mungkin benar sebuah ingatan yang telah ia lupakan, wajah Meisya buka wajah seorang pengantin bahagia yang ada di sebelah Naka saat ia diam-diam menghadiri acara pernikahan itu.
"Jadi, Bu Meisya ibu tiri Qinara?" Hening bergumam spontan, beruntung teman-temannya sedang sibuk mengobrol sambil menikmati gorengan dan teh hangat hingga tidak ada yang memperhatikan dirinya.
Dengan tangan sedikit gemetar Hening mengembalikan map itu ke tempat semula lalu kembali duduk di kursinya, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia bahkan merutuki dirinya sendiri mengapa harus larut dalam rasa ingin tahunya hingga membuat dirinya merasakan perasaan aneh seperti ini.
"Mas Naka bahkan sudah menikah dua kali," rintih Hening di dalam hatinya, ia mengambil cangkir berisi teh hangat yang ada di atas mejanya lalu dalam diam meneguk isinya hingga tak bersisa lalu mendengar suara bel berbunyi tanda jam pelajaran akan segera di mulai, semua guru menghentikan aktivitas untuk segera kembali ke kelas masing-masing.
Akan tetapi Hening masih saja larut dalam perasaan yang sia sendiri tidak mengerti maknanya, cemburu?