Bab 7

2028 Kata
"Hening, boleh aku tanya sesuatu mengenai masalah pribadi?" tanya Naka begitu ia menjalankan sepeda motor menjauh dari rumah Hening. "Masalah pribadi?" Hening tidak menjawab pertanyaan Naka, malah bergumam menebak-nebak apa yang akan pemuda itu tanyakan padanya. "Iya, aku mau tanya karena aku sempat dengar kemarin sebelum aku pulang. Ibu kamu tanya kenapa ban sepeda kamu bisa rusak, tapi jawaban yang kamu kasih bukan yang sebenarnya terjadi. Yang mau aku tanyain, kenapa kamu bohong sama orang tua kamu?" Hening tersenyum mendengar pertanyaan Naka, tadi ia sempat dag dig dug menerka apa yang akan Naka tanyakan padanya. "Orang tuaku sudah cukup lelah bekerja, pusing memikirkan biaya sekolah dan hidupku, sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya tidak ingin menambah beban mereka dengan kekhawatiran, jika mereka tau kalau semua orang tidak menyukai aku dan berbuat tidak baik padaku pasti bapak dan ibu akan cemas. Aku bohong demi kebaikan, setidaknya itu yang bisa aku lakukan. Agar mereka tidak mencemaskan aku setiap aku berangkat ke sekolah," jawab Hening, Naka mengulum senyum sepertinya Hening tidak pernah berhenti membuat dirinya terkagum-kagum. "Kamu tenang saja, kamu tidak perlu lagi berbohong pada orang tua kamu, karena mulai sekarang anak-anak di sekolah akan benar-benar baik padamu, yah ... minimal mereka tidak akan berbuat buruk lagi padamu," kata Naka penuh percaya diri, sedangkan Hening malah sangat tidak mempercayai hal itu. "Bagaimana bisa, sepertinya itu tidak mungkin," jawab Hening ia menatap wajah Naka dari spion tanpa ia duga jika Naka melakukan hal yang sama lalu keduanya sama-sama malu saat beradu pandang atau ketahuan mencuri pandang. "Kamu percaya saja padaku." Naka masih tetap berusaha membuat Hening yakin pada ucapannya. "Mas Naka enggak perlu berbuat macam-macam, aku tidak ingin Mas Naka terkena masalah karena aku," ujar Hening, ada rasa tidak rela jika sampai terjadi sesuatu pada Naka, terlebih lagi jika itu karena dirinya. "Kamu tenang aja, lagi pula, siapa pun korbannya, pelaku kejahatan memang harus mendapat hukuman," pungkas Naka, Hening tidak lagi mendebat karena apa yang pemuda itu ucapkan benar. Hampir semua murid yang melihat Hening ada di boncengan motor Naka pasti menatap mereka, ada juga beberapa yang saling berbisik entah membicarakan apa, ada juga yang terang-terangan meledek mengatakan jika mereka berpacaran. "Sudah jangan dihiraukan," ucap Naka begitu ia menghentikan sepeda motornya di tempat parkir. "Terima kasih, Mas, aku masuk dulu," ucap Hening, tanpa menunggu jawaban Naka ia langsung melenggang. Itu karena rasa malu, banyak mata yang memperhatikan mereka berdua sekarang. "Tunggu." Hening menghentikan langkah saat mendengar suara Naka lalu menoleh memastikan pemuda itu benar-benar memanggilnya. "Ada yang harus kita lakukan," kata Naka menjawab tanya yang tidak Hening ungkap. "Apa?" tanya Hening begitu Naka mendekat. "Ayo ikut aku." Hening hanya mengikuti langkah jenjang Naka tanpa lagi bertanya, langkah pemuda itu membuat Hening sedikit kewalahan mengimbangi hingga gadis itu harus berlari kecil. Ternyata Naka berjalan ke tengah lapangan yang ada di tengah-tengah bangunan sekolah, lalu mengambil batu dan memukul-mukul tiang bendera hingga mengakibatkan suara nyaring dan menarik perhatian. Semua murid kini memperhatikan mereka begitu juga para guru baik yang sudah di kantor ataupun yang baru saja datang. "Mas, kamu apa-apaan, sih?" tanya Hening, ia melihat sekeliling di mana semua mata kini tertuju pada mereka penuh tanda tanya padahal dirinya juga tidak tahu apa maksud perbuatan Naka. "Semuanya dengerin aku, semua murid sekolah harapan bangsa yang terhormat dan membanggakan. Kemarin terjadi kerusakan pada ban sepeda Hening, tukang tambal ban memastikan jika itu akibat sayatan benda tajam dan aku dapat memastikan jika hal itu terjadi di dalam sekolah ini, kalian juga pasti tau jika tidak ada orang luar yang bisa masuk ke dalam area parkiran sekolah. Maka tidak ada alasan jika itu ulah orang luar, sekarang akui saja siapa yang telah melakukan hal itu!" ucap Naka lantang, seketika semua murid saling berbisik dengan teman yang ada di sebelahnya. "Mas, udah, enggak perlu ngelakuin semua ini, aku udah memaafkan siapapun yang melakukannya," ujar Hening, meminta Naka tidak lagi meneruskan kata-katanya. "Enggak Hening, masalahnya tidak akan selesai begitu saja, apa maaf yang kamu berikan akan menjamin pelakunya tidak akan berbuat jahat pada kamu atau orang lain lagi?" Hening menggeleng pelan. "Ayo, siapa yang telah melakukannya? Sebaiknya mengaku saja, atau siapa yang mengetahui tentang hal itu sebaiknya mengatakan yang sejujurnya." Naka kembali mengeraskan suaranya tetapi masih saja tidak ada yang menjawab. "Apa benar yang kamu katakan itu, Mas Naka?" tanya seorang guru yang berjalan mendekat. "Apa Bapak pernah mengetahui kebohongan saya?" Dengan berani Naka menjawab pertanyaan guru berkumis tebal itu. "Bapak sangat percaya pada Naka, maka ayo, siapa yang melakukan hal itu akui saja perbuatan kamu, jangan membuat malu mana sekolah jika hal ini sampai tersebar keluar!" Guru itu ikut berkata dengan keras. "Aku pastikan Kalian akan mendapat hukuman jika tidak ada yang berani bersuara, kalian semua akan menanggung kesalahan seseorang jika tidak ada yang berani mengatakan apa yang kalian ketahui." Semua sudah tahu siapa Naka, dan tentu saja ancamannya itu akan dengan mudah menjadi nyata. "Mas Naka." Seorang murid wanita kelas sebelas mengangkat tangan, sontak semua mata tertuju padanya. "Aku melihat hal itu kemarin," sambung gadis dengan rambut di kepang dua. "Hem ... Nuri, nama kamu Nuri, bener?" tanya Naka, gadis itu mengangguk. "Ayo Nuri, katakan apa yang kamu ketahui, Bapak juga enggak mau sekolah kita kena masalah," ujar guru wanita yang ada di dekatnya sambil melirik Naka lalu mengajak gadis itu ke tengah lapangan. "Kemarin, aku mau ke toilet, terus aku papasan sama Rania yang lagi jalan ke belakang. Tadinya aku kira Rania mau bolos, makanya aku buntutin, tapi ternyata Rania ke parkiran dan nusuk ban sepeda Hening dengan pisau kecil, terus pisau itu di buang ke tempat sampah." Dengan takut-takut gadis bernama Nuri itu menceritakan apa yang dirinya lihat. "Rania, benar apa yang Nuri katakan?" tanya guru berkumis tebal. Tet .... Alarm tanda jam pelajaran pertama akan segera dimulai, semua murid tidak langsung berhamburan masuk kelas seperti biasanya mereka semua masih penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka semua tidak menyangka jika Naka akan begitu membela Hening. Sedangkan Rania? Siapa yang tidak tahu betapa urakannya gadis itu. "Kalau begitu, Mas Naka, Mbak Hening, Mbak Nuri dan Mbak Rania ikut Bapak ke ruangan BP, yang lainnya masuk kelas masing-masing dan belajar seperti biasa." Guru berkumis tebal yang bernama Tanuri itu berkata, sontak semua siswa yang sedang menonton apa yang akan terjadi selanjutnya melenguh kecewa. Terlihat dari pinggir lapangan Rania berjalan tersungut-sungut sambil menghentakkan kakinya menuju sebuah ruangan yang sebenarnya sudah sering ia datangi, Hening meremas jemarinya sendiri karena rasa takut melihat hal itu Naka tersenyum tenang. "Kamu kenapa?" tanya pemuda itu menyejajari langkahnya. "Aku takut, Mas." Hening melirik Rania yang berjalan tidak begitu jauh dari mereka lalu melirik Nuri yang juga berjalan ke arah yang sama mengikuti Pak Tanuri. "Kenapa harus takut? Kamu enggak salah apa-apa," jawab Naka tenang pemuda itu berjalan santai sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana coklatnya. "Nanti masalah ini malah tambah besar," gumam Hening jelas dari nada bicaranya ia begitu khawatir. "Masalah ini atau masalah apapun pasti tambah besar kalau kita biarkan orang seperti dia bebas melakukan apapun, Hening. Semua murid di sekolah kita berhak mendapatkan perlakuan baik yang sama." Naka agak mengeraskan suaranya agar Rania mendengar. Satu persatu mereka masuk ke ruangan BK, sudah ada beberapa guru di sana dan semuanya sudah mengetahui apa permasalahan yang sedang terjadi, apa yang Naka katakan di tengah lapangan tadi cukup jelas untuk di dengar. "Benar apa yang Nuri katakan tentang kamu Rania?" tanya seorang guru yang biasa memberikan Bimbingan Penyuluhan. "Enggak, Nuri pasti bohong. Dia juga enggak punya bukti apa-apa, 'kan, udah nuduh aku begitu." Nuri membelalakkan kedua mata mendengar apa yang Rania katakan, ia menyangkal padahal jelas-jelas Nuri melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang telah Rania lakukan. "Buat apa aku bohong tentang kamu, aku berkata jujur karena tidak ingin kita semua terkena masalah karena perbuatan kamu. Kamu yang nakal masa' kami yang dihukum!" Nuri melirik sinis pada Rania, teman seangkatan yang berbeda kelas dengannya. "Nuri, jam berapa kamu melihat Rania melakukan itu?" tanya Guru BP. "Jam pelajaran kedua, Pak. Waktu itu aku ijin ke toilet, terus lihat Rania seperti yang udah aku ucapkan tadi," jawab Nuri yakin. "Buktinya mana? Kamu enggak punya bukti, jangan asal nuduh!" Rania memelototi Nuri sambil berkata dengan sinis, Hening semakin takut akan ada pertengkaran antara mereka berdua. "Kamu tau kalau bukti sudah sulit dicari karena tadi pagi semua tempat sampah sekolah sudah dibersihkan, bukan?" Semua mata menatap Naka yang berbicara dengan suara datar. "Tapi kamu harus tau, kalau hal itu bukan masalah sulit buat seorang polisi, aku dan teman-teman sekelas juga bisa menjadi saksi kalau pada jam pelajaran jam pelajaran kedua kamu ijin pergi ke toilet." "Pp ... polisi?" Rania tergagap. "Betul 'kan, Pak Guru, karena ini juga sudah masuk ranah kriminal karena sebuah senjata tajam telah digunakan, siapa yang bisa menjamin kalau di hari yang akan datang tidak akan ada hal buruk yang terjadi lada Hening, jika sekarang ban sepeda Hening yang menjadi sasaran bukan tidak mungkin nanti-nanti keselamatan Hening yang menjadi incaran," ujar Naka, Rania terlihat berbeda, raut wajahnya sudah tidak seangkuh tadi sedangkan Nuri melirik sinis penuh kemenangan. Hening? Diam sambil meremas jemari lentiknya sendiri, ia terlihat semakin bingung dan ketakutan. "Bapak rasa tidak perlu sampai sejauh itu, Mas Naka, ini hanya masalah kenakalan anak-anak," ujar Pak Tanuri lembut ia tahu siapa Naka dan pengaruh yang dia bawa. "Kenakalan bisa berubah menjadi kejahatan jika didiamkan, Pak," jawab Naka tegas. "Bagimana, Rania?" Naka menatap tajam gadis berambut panjang itu. "Iy ... iya aku ngaku, aku yang udah rusak ban sepedanya Hening." Naka tersenyum miring, ia sudah menduga semuanya dirinya hanya menunggu pengakuan keluar dari mulut gadis itu. "Rania ... kenapa kamu melakukan itu?" tanya guru BP geram, sudah berkali-kali dirinya memberikan bimbingan pada Rania tetapi gadis itu tidak juga berubah, sangat cocok dengan pacarnya. Hanya saja kali ini terasa berbeda, karena biasanya Naka tidak pernah ambil pusing pada kenakalan Rania, dan sekarang Naka ikut ambil peran dan itu cukup membuat pihak sekolah merasa ketakutan. Naka adalah putra dari Heru Burhanudin ketua dindikbud, menjabat memang belum terlalu lama tetapi cukup dikenal dan ketegasan dan pengaruhnya. "Aku ... aku enggak suka sama Hening, dia jelas jauh segalanya dibanding aku, dia juga dari keluarga miiskin tapi pacar aku naksir dia karena dia cantik, aku pengen dia enggak betah sekolah di sini," jawab Rania sambil melirik Hening lalu melirik Naka ketakutan. Naka menggelengkan kepalanya. "Kami jadi semakin tau sepicik apa pikiran kamu, Rania. Satu hal yang harus kamu tau, Hening memang tidak kaya harta seperti kamu, tapi dia jauh lebih kaya hati dan kaya akhlak dibandingkan kamu. Hening juga tidak akan pernah menyukai pacar kamu itu." Rania hanya menunduk, tidak berani menjawab apa-apa lagi. "Pak, karena Rania sudah mengakui kesalahannya, kami kembali ke kelas dulu, terserah dia mau Bapak apakan, aku rasa dia sudah terbiasa dengan hukuman sekolah ini. Hanya ada satu yang ingin aku tekankan, jangan pernah lagi ada yang berani mengusik Hening atau akan berurusan langsung denganku!" tegas Naka, baik Hening, Nuri, Rania dan semua guru yang ada di ruangan itu menatap Naka dengan pandangan yang sulit diartikan. "Saya permisi." "Iya, Mas Naka." Jawaban itu kompak terdengar, lalu Naka mengajak Hening keluar dari ruangan dengan Nuri membuntuti sedangkan Rania jelas belum bisa keluar dari sana. "Mulai sekarang tidak akan ada lagi yang berani mengganggumu, sekarang masuklah ke kelasmu," kata Naka pada Hening. "Sekali lagi terima kasih," ucap Hening sebelum pergi dari hadapan Naka, walau ia tahu berkali-kali mengucapkan terima kasih juga tidak akan cukup, entah mengapa ia merasa jika Naka terlalu baik padanya. Akan tetapi tanpa kebaikan Naka juga pasti semuanya tidak akan selesai semudah itu, ia yakin jika dirinya akan terus diganggu oleh orang-orang Yanga jelas tidak menyukainya. * Dita Andriyani * Jam pelajaran terakhir telah usai, guru bahasa Inggris yang baru selesai mengejar telah meninggalkan kelas. Kini hanya tinggal para murid yang tengah merapikan buku masing-masing lalu bersiap-siap pulang. Hening mendongakkan kepala melihat dua orang gadis teman sekelasnya yang selama ini tidak pernah akrab dengannya hanya sekedar saling melempar senyuman atau bertegur sapa ringan saja. "Hening, kita mau tanya sesuatu," ujar seorang gadis yang Hening tahu bernama Murni. "Tanya apa, Mur?" tanya Hening sejenak menghentikan kegiatannya memasukkan buku ke dalam tas. Murni dan teman sebangkunya yang bernama Serli saling berpandangan. "Kamu pake pelet apa, sih, kok bisa Deket sama Mas Naka?" "Hah?" 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN